Kawasan perairan Teluk Depapre merupakan salah satu kawasan perikanan produktif yang memasok ikan bagi Kabupaten Jayapura dan sekitarnya. Karena kekayaan alamnya, wilayah Teluk Depapre, dengan kampung-kampungnya yang menghadap lautan Pasifik seperti Tablasupa dan Tablanusu di Distrik Depapre pun didorong untuk menjadi kawasan ekowisata yang berorientasi pada pengelolaan alam berbasis masyarakat.
Pada tahun 2015 Pemerintah Kabupaten Jayapura merekomendasikan wilayah ini sebagai kawasan konservasi perairan. Kondisi tersebut didukung oleh ekosistem pesisir dan laut seperti terumbu karang, mangrove, dan padang lamun yang relatif masih banyak yang belum terungkap secara ilmiah.
Hal ini pulalah yang mendorong Yunus Paulangan, dosen Ilmu Kelautan Fakultas MIPA Universitas Cendrawasih Papua, dibantu oleh mahasiswanya Robert Munua melakukan penelitian kondisi gambaran lingkungan perairan dan tutupan karang hidup di Pulau Dua kampung Tablanusu dan Tanjung Sarebo kampung Tablasupa.
Hasil penelitiannya menunjukan terdapatnya fenomena tingginya pemutihan karang, karang mati dan patahan karang (rubble) di kedua lokasi di Tablasupa dan Tablanusu, yang diduga akibat pemanfaatan sumber daya ikan dengan menggunakan bahan peledak, yaitu bom dan penggunaan akar tuba atau yang disebut bahasa setempat sebagai seido.
“Salah satu ciri khas untuk mengenali kerusakan karang akibat penggunaan racun potassium cyanida maupun akar tuba yakni karang mati yang masih berdiri dan belum hancur menjadi patahan-patahan karang atau rubble,” ungkap Yunus kepada Mongabay Indonesia pertengahan Januari 2018 lalu.
Menurutnya kematian karang di Tanjung Sarebo, kampung Tablasupa yang mengalami pemutihan terjadi berbagai jenis Acropora, seperti untuk kelompok Acropora branching, Acropora tabulate bahkan jenis-jenis coral masive.
Berdasarkan penelusurannya, masih banyak dijumpai praktek penggunaan bahan peledak oleh nelayan lokal maupun nelayan dari luar. Selain itu penempatan jangkar oleh nelayan juga masih sering dilakukan di daerah yang ada terumbu karangnya.
Selain itu, penggunaan akar tuba masih sering digunakan oleh masyarakat, saat sebagian masyarakat masih berasumsi bahwa penggunaan tuba tidak akan berdampak pada kondisi terumbu karang.
Sistem Tiatiki
Penelitian Yunus pun menyebut Tiatiki, suatu sistem kearifan lokal dalam melindungi sumberdaya perairan yang dilakukan oleh masyarakat di Teluk Depapre, dapat menjadi solusi dalam turut melindungi terumbu karang.
Tiatiki (tiyatiki) terbagi dua, yakni umum dan khusus. Tiatiki umum merupakan penutupan area oleh pemilik hak ulayat atau suku, sedangkan Tiatiki khusus adalah penutupan area oleh pemilik keluarga tertentu. Tiatiki berlaku untuk jenis-jenis ikan target tertentu dan suatu lokasi hak ulayat komunitas atau keluarga.
Hasilnya menunjukan bahwa tutupan karang hidup di lokasi Tiaitiki lebih tinggi dibanding dengan lokasi non Tiaitiki, dalam kategori yang sama yakni kategori sedang di kedalaman 3-5 meter, dan kategori baik di kedalaman 10-13 meter.
Selain itu, patahan karang di kedua lokasi, yakni berkisar 8-13 persen di lokasi Tiaitiki, dan 13-17 persen di lokasi non Tiaitiki.
Yunus yang melakukan penelitian selama bulan Juli sampai November 2017 itu menjumpai 101 jenis ikan karang di kedua lokasi. Tercatat 63 jenis di lokasi Tiaitiki dan 69 jenis di lokasi non Tiaitiki dengan rata-rata kelimpahan yang hampir sama; yaitu di lokasi Tiaitiki dijumpai sebanyak 372 jenis pada kedalaman 3-5 meter dan 114 ekor di kedalaman 10-13 meter.
“Sedangkan di lokasi non Tiaitiki dijumpai 262 jenis pada kedalaman 3-5 meter dan 215 ekor pada kedalaman 10-13 meter.”
Menurut Yunus, tipe terumbu karang di Teluk Depapre merupakan tipe terumbu karang tepi (fringing reef), yakni tipe karang penerus yang berkembang di mayoritas pesisir pantai dari pulau-pulau besar. Perkembangannya bisa mencapai kedalaman 40 meter dengan pertumbuhan ke atas dan ke arah luar menuju laut lepas.
“Berdasarkan pengelompokan famili, lokasi Tiatiki dan non Tiatiki didominasi oleh famili Pomacentridae, Acanthuridae, Chaetondontidae, dan Scaridae.”
Yunus menjelaskan sistem Tiaitiki dalam perlindungan sumber daya karang khususnya ikan-ikan dan biota yang bernilai ekonomis pada prinsipnya telah menerapkan nilai-nilai konservasi.
Namun dalam penerapannya, dia menyarankan perlu adanya pertimbangan ilmiah sehingga kedepannya dapat mendukung upaya konservasi sumber daya berkelanjutan. Salah satunya pengaturan penggunaan akar tuba, dan penentuan musim buka dan tutup kawasan Tiaitiki, serta penentuan lokasi yang ideal untuk kawasan Tiaitiki.
“Hal ini dilakukan untuk mencegah semakin rusaknya terumbu karang di lokasi ini, diperlukan pengelolaan karang, terutama untuk mengontrol praktek pemanfaatan yang merusak,” ucap Yunus.
Banner: Yunus Paulangan saat menunjukan patahan karang yang ada di perairan Teluk Depapre. Foto: Chris Paino/Mongabay Indonesia