Seekor mamalia laut jenis Dugong (Dugong dugon) atau duyung terperangkap jaring nelayan di perairan Pulau Laut, Natuna, Propinsi Kepulauan Riau (Kepri), pada Selasa (30/01/2018). Dugong seberat 100 kilogram dan panjang 2 meter ini tertangkap tidak sengaja (bycatch) dengan jaring permukaan (gillnet) di perairan pantai berpasir yang dipasang 500-an meter dari bibir pantai.
Hasrin, Kepala UPTD Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Pulau Laut Pemkab Natuna menjelaskan duyung tersebut pertama kali ditemukan oleh seorang nelayan yang hendak mengangkat jaringnya yang dipasang pada malam hari. Awalnya duyung dikira potongan kayu.
Melihat kejadian itu, beberapa nelayan disitu langsung menghampiri duyung itu, diangkat ke tepi lalu dibawa ke rumah pemilik jaring untuk dipotong-potong menjadi beberapa bagian. Kemudian dagingnya dijual kepada masyarakat seharga Rp30 ribu/kilogram.
“Saya melihat nelayan tersebut melepaskan dugong dari jaringnya, kemudian membawa ke tepi,” ujar Hasrin yang melihat langsung kejadiannya karena dekat dari rumahnya.
baca : Dugong Ditemukan Mati dan Dipotong-potong di Sungai Sempur Rupat Riau
Hasrin tak bisa berbuat banyak karena nelayan pemilik jaring tersebut menganggap satwa laut yang terperangkap di jaringnya adalah miliknya.
“Sebagai petugas saya paham bahwa Dugong jenis mamalia laut dilindungi, begitupun masyarakat disini sebagian juga tahu. Namun sifat orang disini jika (ikan) sudah terjaring berarti itu rezekinya dan tidak akan dilepaskan. Kalau dicegah mereka pasti marah, apalagi mitos orang pantai disini jika duyung ketepi berarti ia sudah mau mati, sehingga lebih baik dimanfaatkan,” ungkap Hasrin saat ditelepon Mongabay, Kamis (01/2/2018).
Di pulau Laut sendiri, jelas Hasrin, sekitar Desember – Januari tiap tahun ditemukan Dugong terdampar. Tetapi sejak ia bertugas di Pulau Laut, belum pernah dilakukan sosialisasi oleh DKP tentang pelestarian atau penyelamatan Dugong.
baca : Dugong Kembali Terjerat di Solor Barat. Bagaimana Akhirnya?
Nelayan Tidak Tahu Duyung
Ditempat terpisah, Kistono, anggota Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kalimantan Barat mengatakan Duyung juga terdapat di perairan Kepulauan Karimata yang berhadapan dengan Kepulauan Natuna.
Pergerakan dugong yang lambat menyebabkannya mudah terjerat jaring nelayan. Berbeda dengan lumba-lumba, dugong cenderung menghindari pertemuan dengan manusia. “Selain itu, nelayan hanya mengetahui beberapa jenis satwa air yang dilindungi, seperti penyu, atau buaya. Sebatas satwa yang ada di sekitar domisilinya,” katanya ketika dihubungi Mongabay dari Pontianak, Kalbar.
baca : Ada Apa dengan Dugong?
Nelayan kebanyakan tidak tahu jenis satwa tertentu yang habitatnya bukan di sekitar domisili mereka. Kistono mengatakan pengetahuan nelayan pantai dengan nelayan perairan pedalaman sangat berbeda. Nelayan sulit membedakan antara dugong, lumba-lumba atau pesut. Bagi nelayan, semua tampak sama, disebut lumba-lumba. Terlebih ketiga spesies itu pun kini sulit untuk dijumpai.
“Nelayan perlu peningkatan pemahaman terhadap satwa air langka dan dilindungi,” ujar Rohiza, anggota yang lain. Selain itu, nelayan juga perlu dibekali pengetahuan untuk tindakan jika mengalami kasus jaringnya terjerat satwa air dilindungi. “Apa yang harus dilakukan, dan siapa yang dihubungi,” tambahnya.
baca : Ekspansi Industri di Teluk Balikpapan Ancam Kehidupan Dugong
Pada Rabu (24/01/2018), seorang nelayan di Rantau Panjang, Kabupaten Kayong Utara, Kalbar, menemukan satwa air yang mereka sebut pesut. Satwa ini tersangkut di pukat seorang nelayan. Menurut warga, saat tersangkut sudah dalam keadaan mati.
“Akhirnya pesut tersebut dibawa ke darat. Maksudnya untuk dijual. Namun tak seorang pun yang mau,” ungkap Mursal, kepada media setempat. Mereka mengklaim satwa tersebut adalah pesut, karena satwa sejenis kerap dilihat nelayan melompat-lompat sambil menyemburkan air. Satwa jenis ini, diyakini warga merupakan penolong, sehingga mereka tidak mau mengkonsumsinya.
Kepala Polsek Simpang Hilir, Iptu Aris Pamuji mengatakan pesut mati yang awalnya akan dijual, namun kemudian kembali dilarungkan ke laut karena tidak laku. “Dari laporan yang kami dapat, nelayan melepaskan kembali di muara Rantau Panjang,” katanya. Menurut Aris, warga telah mengetahui bahwa pesut tersebut satwa dilindungi sehingga tidak ada yang memakan dagingnya.
bacaa : Duyung, Mamalia Laut Yang Perlu Perhatian
Pulau Kaya Tapi tak Tersentuh
Harfiandri Damanhuri, Peneliti Penyu dari Universitas Bung Hatta Padang, Sumbar, yang pernah melakukan penelitian Potensi Perairan Pulau Laut, Natuna pada 2015 dan 2016 menyebutkan Pulau Laut Natuna adalah salah satu pulau terluar atau pulau terdepan yang menjadi batas antara perairan Indonesia dengan Laut Cina Selatan dan berbatasan dengan Malaysia serta Brunei Darussalam.
Pulau ini merupakan lokasi habitat yang sangat disukai oleh Duyung karena perairannya cukup dangkal dan terdapat padang lamun dari jenis Thalasia sp sebagai sumber pakan. Perairannya juga menyimpan potensi perikanan besar, seperti berbagai jenis ikan karang, seperti ikan kerapu pasir, ikan kue/mayok, ikan mancong, ikan barakuda dan ikan napoleon. Juga terdapat banyak kima dan teripang.
Meski berpotensi besar, sebut Harfiandri, Pulau Laut seperti tidak tersentuh oleh pemerintah setempat, termasuk sosialisasi terkait perlindungan biota laut, karena letaknya di paling terluar dengan jarak tempuh yang jauh, ditambah ombak yang besar untuk sampai ke pulau tersebut.
“Dari program yang pernah dibuat DKP Kabupaten Natuna, seperti kegiatan Coremap dan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), bisa dikatakan tidak pernah menyentuh Pulau Laut. Bahkan ada anggota dinas DKP yang wilayah kerjanya masuk ke kawasan Pulau Laut, tidak pernah datang ke lokasi. Ini tentu sangat disayangkan mengingat Pulau laut menyimpan potensi besar,” tambahnya.
baca : Indonesia Terus Berupaya Lestarikan Dugong dan Padang Lamun dari Kepunahan, Bagaimana Caranya?
Pembiaran oleh Pemda
Sementara itu, Kepala Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (BPSPL KKP) Padang, Muhammad Yusuf mengaku baru mengetahui ada dugong di Pulau Laut tersebut pada Kamis (1/2/2018), setelah terpotong-potong dan dijual.
Yusuf menyesalkan aksi itu oleh masyarakat Pulau Laut, mengingat Dugong merupakan salah satu jenis mamalia laut yang dilindungi UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dan PP No.7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Ia juga menyesalkan pembiaran oleh otoritas pemerintah setempat atas kejadian ini, apalagi kejadian ini disaksikan langsung oleh petugas DKP Pulau Laut Pemkab Natuna.
“Sangat disayangkan pembiaran yang dilakukan oleh semua otoritas setempat, harusnya petugas negara mengawal semua perlindungan jenis satwa dilindungi, siapapun itu mulai dari petugas DKP, Kepolisian dan Aparat desa setempat,” ucapnya saat dihubungi Mongabay pada Kamis (01/2/2018).
Ia menambahkan mestinya otoritas setempat bekerjasama dan berkoordinasi untuk melarang dan mencegah perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Jika dalam upaya penegakan hukum tersebut petugas mendapat perlawanan, petugas bisa minta pengawalan dari pihak kepolisian.
“Saya memahami jika petugas yang dimaksud bermukim dan hidup disitu, bisa jadi ia takut terjadi konflik dengan masyarakat, tapi itu bukan alasan untuk membiarkan. Seharusnya jika kondisinya sudah begitu, ia bisa menghubungi BPSPL Padang Satker Tanjung Pinang (Propinsi Kepri), agar petugas disana yang minta bantuan kepada polisi,” terangnya.
Yusuf sendiri mengakui jika selama ini, BPSPL Padang yang wilayah kerjanya meliputi Propinsi Kepri dan Pemkab Natuna, memang belum pernah melakukan sosialisasi atau penyadartahuan di Pulau Laut terkait perlindungan mamalia laut. Hal ini dikarenakan kurangnya informasi konflik di kawasan itu, sehingga sosialisasi diprioritaskan di lokasi rawan seperti kepulauan Mentawai, Sumbar. Namun setelah kejadian ini, pihaknya dalam waktu dekat segera ke Pulau Laut untuk melakukan sosialisasi agar hal serupa tidak terulang kembali.
“Dalam waktu dekat kawan-kawan BPSPL Padang Satker Tanjung Pinang bersama BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam), Gakkum KLHK (penegakan hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan PSDKP (Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP) yang ada di Natuna akan kesana melakukan sosialisasi,” sebutnya.
baca : Penanganan Dugong Terdampar: Diteliti Dulu atau Langsung Dikubur/Ditenggelamkan?
Penyelamatan Duyung
Sedangkan Danielle Kreb dari Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI) juga menyesalkan pemotongan dan penjualan Duyung di Pulau Laut itu. Seharusnya masyarakat menyelamatkan satwa dilindungi itu dengan melaporkan ke pihak terkait untuk dilakukan penanganan dan pelepaliaran kembali secara benar dan tepat.
“Ini sangat disayangkan, memang penyadaran masyarakat perlu dilakukan oleh dinas terkait termasuk BKSDA dan Polisi, karena spesies ini dilindungi hukum jadi pasti ada sanksi hukum jika membunuh/mengkonsumi satwa ini. Dengan kejadian seperti ini berarti masyarakat kurang paham,” ungkapnya. Kedepan, Danielle mengatakan akan membahas masalah ini di forum yang berisi stakeholder konservasi satwa laut agar bisa memberi masukan kepada pemerintah.
Danielle mengatakan pihaknya seringkali melakukan kegiatan penyadartahuan dan penyelamatan satwa laut dilindungi seperti Teluk Balikpapan Kaltim yang tingkat konsumsi cukup tinggi, dan sekarang sekarang tidak ditemukan lagi kejadian seperti ini.
Sementara itu, Dwi Suprapti Marine Species Conservastion Coordinator WWF-Indonesia mengatakan hingga kini, status populasi dugong di Indonesia belum diketahui secara pasti karena minimnya survei yang dilakukan serta luasnya perairan Indonesia. Hal ini menyebabkan upaya penerapan konservasi dugong menjadi lebih sulit.
Berdasarkan data yang dikumpulkan WWF Indonesia bersama Whale Stranding Indonesia (WSI) dan Dugong and Seagrass Conservation Project (DSCP) Indonesia diketahui bahwa keberadaan Dugong hampir tersebar dari Aceh hingga Papua. Namun dari data yang tersedia berdasarkan laporan yang dikompilasi menunjukkan belum adanya laporan perjumpaan Dugong di wilayah utara Kepulauan Riau khususnya pulau Laut. “Oleh karena itu, melalui informasi yang disampaikan kemarin (01/02/2018) akan menambah data dan informasi tentang sebaran Dugong di Indonesia khususnya keberadaan Dugong di Pulau Laut, Kabupaten Natuna,” pungkasnya.
Kejadian bycatch Dugong di Pulau Laut adalah bukan yang pertama di Indonesia. Berdasarkan data yang dikumpulkan WWF Indonesia bersama WSI dan DSCP Indonesia menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 2 tahun terakhir setidaknya terdapat 53 kasus Dugong yang terdampar, diburu, dan terjerat jaring (bycatch) baik dalam kondisi hidup maupun mati. Dari 53 kasus terdapat 18 kasus yang akibat bycatch dan 3 kasus diantaranya terjadi di Provinsi Kepulauan Riau (2 kejadian di Bintan dan 1 kejadian di Lingga). Dengan demikian informasi bycatch di pulau Laut ini menambah informasi baru jumlah kejadian bycatch di Kepulauan Riau.
Saat ini, populasi dugong di Indonesia juga terancam akibat aktivitas manusia, yaitu perburuan liar untuk dimanfaatkan tubuh dan produk turunannya seperti daging dan tulang. Tidak hanya itu, dugong juga diburu untuk cairan lendir yang dikeluarkan oleh kelenjar air matanya ketika satwa itu sedang tidak berada di dalam air. Cairan lendir tersebut dikenal sebagai “air mata duyung” yang dipercaya memiliki khasiat sebagai pemikat hati seseorang dan memperbesar organ kemaluan manusia. Padahal hingga saat ini, belum ada fakta ilmiah yang dapat menjelaskan fungsi dari “air mata duyung” tersebut.
Duyung merupakan satu dari 35 spesies mamalia laut yang dapat ditemukan di Indonesia. Satwa yang makanan utamanya adalah lamun (seagrass) ini secara genetis berkerabat dekat dengan gajah dan merupakan satu-satunya mamalia anggota ordo Sirenia yang hidup di laut.
Sebagai spesies mamalia, dugong bernapas dengan paru-paru dan mampu menahan 8 menit napasnya selama di dalam air, sehingga biasa hidup di perairan dangkal sedalam 5-50 meter, seperti di area padang lamun yang merupakan habitat pakannya.
“Dugong dapat ditemukan di perairan dangkal di sekitar Samudera Hindia dan Samudera Pasifik,” jelas Dwi. Di Indonesia, duyung ditemukan di hampir semua kawasan pesisir di Indonesia, antara lain Bintan (Kepulauan Riau), Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Maluku, dan Teluk Cendrawasih (Papua).