Rahmad Hidayat Batubara, keluar dari ruang sidang Sari II. Ria Ayu Rosalin, turun dari lantai II ruangan majelis hakim. Meni Warlia menyapa dua anggota majelis hakim itu dari pintu ruangan panitera.
“Sudah siap?”
Dari arah berbeda, mereka kompak masuk ke ruang sidang Cakra.
Meni Warlia, Ketua Majelis Hakim, yang akan memimpin sidang pidana dengan terdakwa KUD Pematang Sawit, diwakili Hairul Pagab, Wakil Ketua Koperasi. Jaksa penuntut umum mendakwa KUD ini melanggar izin perkebunan, dalam UU No. 39/2014, tentang Perkebunan, Pasal 105 jo Pasal 47 ayat 1 jo Pasal 113 ayat 1.
Rabu penghujung Januari 2018, jelang pukul 12.00 siang itu, mestinya majelis hakim mendengar keterangan dua saksi meringankan.
Libertus Jehani, penasihat hukum terdakwa mengatakan, hanya satu saksi yang beri konfirmasi kesediaan hadir. “Kami putuskan tidak menghadirkan saksi, yang mulia.”
Sidang perkara pidana perkebunan ini selesai lebih cepat dari agenda seharusnya. Meni meminta, Marthalius, JPU Kejaksaan Negeri Pelalawan menyiapkan berkas tuntutan. Dia minta waktu satu minggu.
“Harus koordinasi ke Kejaksaan Agung, yang mulia.” Meni kemudian menutup sidang dengan ketukan palu tiga kali.
KUD Pematang Sawit, berdiri pada 22 September 1998, melalui SK Menteri Koperasi Usaha Kecil dan Menengah No. 28/BH/KDK-4/I/IX/1998. Ia berkedudukan di Desa Segati, Kecamatan Langgam jenis usaha hasil hutan dan pertanian.
Untuk menjalankan usaha itu, pada 1996 KUD Pematang Sawit memperoleh lahan dari pemangku adat Petalangan Datuk Antan, sekitar 9.000 hektar. Itu dibuktikan dengan surat pernyataan. Kata Syamsuarlis, Ketua KUD Pematang Sawit, lahan itu tanah ulayat yang diserahkan Ninik Mamak Desa Segati yang dikelola melalui anak kemanakan untuk ditanami sawit.
Mereka kemudian membuka lahan pada 2003 dan mulai giat menanam pada 2007 hingga 2008. KUD Pematang Sawit, tak punya dana untuk membeli bibit sawit hingga harus mencari pemodal.
Adalah Deddy Altina, orang pertama yang memberikan modal pada 11 Februari 2008 dan 10 Maret 2010. Perjanjiannya, bila panen, KUD Pematang Sawit dapat bagian 40%, Deddy 60%. Total areal ditanam dari kerjasama itu 265 hektar.
“Sejak itu mitra kami makin bertambah, sekitar 60 orang,” kata Syamsuarlis. Dia menyebut beberapa nama, yakni, Agustriawan, Sunarto dan Hariadi. Kesepakatannya tetap 40%: 60%.
Deddy, pemilik Swalayan Pesona di Pangkalan Kerinci. Minatnya memberi modal setelah bertemu dengan Hairul Pagab, wakil Syamsuarlis.
Pagab sering belanja di swalayan Deddy dan kerap menawarkan untuk investasi penanaman sawit. Bahkan, Deddy juga membiayai pembuatan parit, pembersihan lahan hingga pemupukan. “Uangnya langsung saya serahkan pada Pak Pagab,” ujar Deddy.
Keduanya jadi akrab, bahkan Suharti, istri Deddy, diminta jadi bendahara koperasi. Suharti mengaku, hanya diminta sementara karena bendahara sebelumnya mengundurkan diri. Dia tak pernah pegang dan mengelola uang koperasi.
“Tapi pernah diminta Syamsuarlis dua kali menandatangani nota keuangan,” kata Suharti.
Deddy punya kuasa penuh atas lahan sawit yang dia modali. Bila panen, dia langsung menjual pada PT Mitra Unggul Pusaka (MUP) lewat CV Karya Bersama milik Djon Rinaldi, untuk mendapatkan surat pengantar tandan buah segar terlebih dahulu. Selama proses penjualan, Djon Rinaldi dan Goh Bun Hock, manajer penjualan PT MUP yang berkomunikasi. Goh mengaku tak mengenal KUD Pematang Sawit.
Deddy pun dibantu karyawannya, Tommy Frangky Pandiangan. Dia cukup menunggu uang hasil penjulan masuk ke rekening. “Tugas saya mengumpulkan buah sawit dan membawa surat pengantar buah dari CV Karya Bersama untuk dijual ke perusahaan,” katanya yang bekerja sejak di swalayan.
Setelah buah dijual, Deddy juga yang membagikan langsung hasil penjualan. Dia mengirim uang bagi hasil 40% untuk KUD Pematang Sawit langsung ke rekening Syamsuarlis.
Syamsuarlis berkilah, belum pernah menerima uang bagi hasil sepersen pun dari semua mitra. “Mitra kami tak mau nyetor bagi hasil karena status lahan itu bermasalah,” katanya saat bersaksi di persidangan.
Namun, Deddy punya bukti transfer uang ke rekening Syamsuarlis dan menyerahkan pada majelis hakim saat memberi keterangan dalam persidangan di hari berbeda.
“Kalau begitu, saya minta penuntut umum menghadirkan kembali Syamsuarlis,” kata Meni.
Selama budidaya sawit, KUD Pematang Sawit tak memiliki izin usaha perkebunan. Hal ini disampaikan Heri Hadiasyah Putra, saat menjabat Kepala Seksi Bina Usaha Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pelalawan.
Dia juga pernah mengirim surat teguran pada pengurus koperasi. Padahal, dalam UU Undang 39 tahun 2014 tentang perkebunan menjelaskan, budidaya tanaman perkebunan dengan luasan skala tertentu wajib punya izin usaha perkebunan.
“Yang dimaksud dengan luasan skala tertentu, di atas 25 hektar,” kata Heri.
Sengkarutnya pengelolaan sawit tak hanya soal kepemilikan izin, tetapi berimbas pada status lahan. Jafri, pensiunan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Pelalawan mengatakan, lahan kelola KUD Pematang Sawit berada dalam hutan produksi tetap.
Dia mengetahui, setelah menemani penyidik Bareskrim Polri dan ahli dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengambil titik koordinat pada areal tanam sawit.
Titik koordinat diploting ke dalam peta perubahan peruntukan kawasan hutan jadi bukan kawasan hutan Riau, berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK.314.menlhk/Setjen/PLA.2/4/2016, tertanggal 20 April 2016. Total 304,37 hektar dalam hutan produksi tetap.
Ribut-ribut pengelolaan sawit KUD Pematang Sawit, setelah Amran Attas, Direktur PT Nusantara Sentosa Raya (NSR), melapor ke Mabes Polri, 29 Maret 2016. Dia melapor karena sawit berada dalam areal hak penguasaan hutan tanaman industri milik perusahaan dia.
NSR punya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.550/MENHUT-II/2012 tertanggal 4 Oktober 2012 ,seluas 23.000 hektar. “Gara-gara itu, kami tak bisa mengelola areal sepenuhnya,” kata Amran.
Areal NSR dulu milik PT Siak Raya Timber (SRT). Peralihan ini terjadi di Jakarta pada 2008. Kata Amran, sejak dikuasai SRT, wilayah itu mulai dirambah beberapa kelompok tani. Tumpang tindih penguasaan lahan juga pernah mereka laporkan pada Pemerintah Pelalawan.
Beberapa kali mediasi namun tak menemukan solusi, sampai akhirnya penyidik Bareskrim Polri mengusut perkara ini.
Lebih satu tahun laporan Amran diproses penyidik hingga naik di PN Pelalawan. Baik Syamsuarlis mapun Hairul Pagab merasa itu tanah ulayat milik Ninik Mamak dan pemangku adat Desa Segati.
“Dulu kami tak pernah bersinggungan seperti ini. Masyarakat menanam tanpa ada konflik. Kami baru tahu ada PT Nusantara Sentosa Raya setelah di pengadilan ini,” kata Hairul Pagab sebelum sidang mulai.