Pendataan ulang, verifikasi, dan sekaligus validasi kapal-kapal cantrang yang ada di Kota Tegal, Jawa Tengah, terus dilakukan Tim khusus Peralihan Alat Tangkap yang Dilarang Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Proses tersebut dilakukan untuk segera mengganti alat cantrang yang dinilai tidak ramah lingkungan.
Ketua Tim Khusus Peralihan Alat Tangkap yang Dilarang Widodo menjelaskan, tim khusus bekerja untuk memantau sejauh mana kapal-kapal yang diperbolehkan kembali beroperasi oleh Presiden RI Joko Widodo. Kapal-kapal tersebut, tetap boleh beroperasi tetapi harus melaksanakan proses pergantian alat tangkap ke yang ramah lingkungan.
“Jadi, selama masa peralihan alat tangkap menjadi ramah lingkungan, kapal cantrang masih diperbolehkan untuk beroperasi,” ungkap dia saat di Tegal, Jateng, akhir pekan lalu.
Widodo mengatakan, selama proses peralihan dilakukan di Kota Tegal, sudah tercatat sebanyak 156 nelayan yang menyatakan kesanggupannya untuk mengganti alat tangkap dari cantrang ke yang ramah lingkungan. Mereka semua sudah menandatangani surat pernyataan kesanggupan yang dibuat oleh tim khusus.
“Namun, selama proses tersebut, ada 31 kapal yang menolak untuk mengganti alat tangkap,” tutur dia.
Saat melakukan pendataan di lapangan, Widodo mengungkapkan, pihaknya menemukan ratusan kapal yang diduga kuat melakukan mark down atau ukuran kapal yang asli lebih besar dari ukuran yang tertulis resmi dalam surat. Aksi kecurangan tersebut, harus ditiadakan karena merugikan banyak pihak, termasuk nelayan lain dan Negara.
“Jadi di dalam surat tertera 30 GT (gross tonnage), padahal aslinya ada yang 50. Ada yang 100 GT bahkan 155 GT,” sebut dia.
Menurut Widodo, kapal-kapal yang melakukan mark down tersebut bisa mengacaukan pengawasan yang dilakukan Pemerintah. Hal itu, karena Pemerintah menerapkan regulasi untuk setiap ukuran kapal. Salah satu contohnya, adalah regulasi izin untuk kapal berukuran lebih dari 30 GT yang seharusnya dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat.
“Tetapi, karena melakukan mark down, kapal yang seharusnya ukuran lebih dari 30 GT, kemudian menjadi di bawah 30 GT. Akibatnya, izin kemudian dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah,” tegas dia.
Widodo menyebutkan, hingga Minggu (4/2/2018), terdapat 197 pemilik kapal yang sudah mengikuti proses pendataan. Dari jumlah tersebut, baru 131 pemilik yang sudah melakukan cek fisik untuk 241 kapal milik mereka.
Mengingat pentingnya pendataan kapal, Widodo meminta kepada semua pemilik kapal untuk mendaftarkan diri ikut proses pendataan dengan cara mendatangi langsung lokasi pendataan. Kehadiran pemilik, sangat dinantikan karena itu bisa memastikan akurasi data yang dibutuhkan.
“Jadi pendaftarannya ini, pemiliknya yang kita harapkan datang langsung. Tatkala bukan pemiliknya , kami minta harus ada. Karena kita ingin data-data yang akurat dari kepemilikan kapal ini,” tegas dia.
Lebih jauh Widodo menegaskan, pendataan ulang kapal menjadi bentuk komitmen KKP dalam menjalankan perintah Presiden RI Joko Widodo pada 17 Januari 2018 lalu. Setelah dilakukan pendataan, KKP baru akan memberikan rekomendasi untuk berlayar atau tidak. Cara tersebut sesuai dengan arahan Presiden yang meminta agar nelayan cantrang tetap bisa melaut selama proses pergantian alat tangkap.
Selain di Kota Tegal, Widodo menyebutkan, pendataan ulang, verifikasi, dan validasi kapal cantrang juga dilakukan di Batang, Pati, Rembang, Lamongan, dan Pekalongan. Proses yang sedang berlangsung tersebut sudah dimulai sejak Kamis (1/2/2018) lalu.
Ramah Lingkungan
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pada akhir pekan lalu mengatakan, tim khusus yang diterjunkan langsung ke daerah-daerah di kawasan Pantai Utara Jawa, bertujuan untuk mencari kapal-kapal yang sudah sesuai dengan Peraturan Menteri No.2/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (trawl) dan Pukat Tarik (seine nets) atau tidak.
“Jadi, kita mendata, melakukan verifikasi, dan validasi semua kapal nelayan yang ada di Pantura. Kita tentukan mana yang ramah dan tidak ramah lingkungan,” ucap dia.
Mengingat pendataan kapal sangatlah penting, Susi meminta kepada semua nelayan dan pemilik kapal untuk jujur dalam memberikan data dan juga saat berada di laut. Jika itu dilakukan, maka pengawasan akan lebih mudah dan manfaat juga akan dirasakan nelayan karena laut bisa lebih tertib.
“Nelayan harus jujur. Kalau punya kapal besar jangan ngaku punya kapal kecil,” ujarnya.
Bagi nelayan yang bersedia mengganti alat tangkap menjadi ramah lingkungan, Susi juga kembali mengingatkan bahwa mereka akan mendapatkan kemudahan berupa fasilitas pembiayaan dari lembaga perbankan. Fasilitas tersebut, akan membantu kebutuhan permodalan yang nilainya tidak sedikit harus dikeluarkan oleh pemilik kapal.
“Kita udah nyediain fasilitas pinjaman dari bank. Itu bisa digunakan,” lanjutnya.
Salah satu lembaga perbankan yang sudah menyatakan kesiapan, kata Susi, adalah Bank BRI yang siap mendukung penuh fasilitas peminjaman modal untuk mengganti alat tangkap. Untuk wilayah Pantura, BRI sudah menyatakan kesiapannya melayani kebutuhan nelayan untuk fasilitas pembiayaan.
Wakil Pemimpin Wilayah BRI Semarang Sunar Hartono mengaku, nelayan yang melakukan peminjaman sangat tertib menaati aturan yang ada dan jarang mengalami kredit macet. Kepatuhan tersebut, diharapkan bisa diikuti oleh semua nelayan yang memanfaatkan fasilitas perbankan dari BRI.
Sementara, pada pertengahan Januari lalu, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Luky Adrianto sempat mengatakan bahwa penggunaan cantrang sebagai alat tangkap, dewasa ini memang sudah jauh dari fungsi dan bentuk awal. Sekarang ini, cantrang fungsi dan wujudnya sudah diubah menyerupai alat tangkap trawl atau pukat harimau.
Menurut Luky, karena perubahan fungsi tersebut, dia menilai penggunaan cantrang untuk saat ini sebaiknya harus ditertibkan. Karena modifikasi cantrang menjadi pukat harimau jelas bisa merusak ekosistem karena penggunaannya langsung dengan menggunakan pemberat di dasar laut.
“Cantrang itu sekarang tak ubah seperti Trawl. Itu karena cantrang yang dulu muncul di awal, kemudian dimodifikasi hingga seperti Trawl,” tutur dia.
Penyebab dilakukannya modifikasi cantrang oleh nelayan dan pemilik kapal, Luky mengungkapkan, karena para pencari ikan sudah tidak menemukan tangkapan di kedalaman tengah atau antara dasar dan permukaan laut. Mengingat tidak ada lagi tangkapan atau sudah overfished, maka pencarian diarahkan langsung ke dasar laut.
“Sekarang, dengan penggunaan cantrang yang menyerupai Trawl, maka pencarian dipusatkan di dasar. Karena itu, alat tangkapnya ditambahkan pemberat yang bisa menarik jaring. Sekali tarik, semua spesies dan biota laut yang ada akan ikut terbawa,” tutur dia.
Luky menambahkan, penangkapan ikan dengan menggunakan cantrang yang sudah dimodifikasi tersebut, rerata dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pembuatan surimi yang dilakukan sejumlah pabrik besar di pulau Jawa. Bahan baku surimi, kata dia, memang harus diambil dari ikan segar yang baru ditangkap dan juga dengan harga terjangkau.
“Oleh itu, karena cantrang dilarang, (pabrik) Surimi banyak yang terpukul usahanya. Itu karena pasokan sudah tidak ada. Kalaupun diambil dari Indonesia Timur, pengusaha tidak mau. Selain harga yang mahal, juga karena ikan yang dikirim sudah tidak segar karena (pengiriman) perjalanan yang lama,” tegas dia.
Luky menerangkan, di negara seperti Jepang, Malaysia, dan Australia, penggunaan alat tangkap trawl hingga saat ini masih diperbolehkan oleh otoritas Pemerintah setempat. Tetapi, penggunaan alat tangkap tersebut dilakukan melalui pengaturan zonasi wilayah dan juga penegakan hukum yang ekstra ketat. Dengan demikian, selain tidak bisa digunakan di sembarang perairan, jika ada pelanggaran, maka penegakan hukum akan dilakukan.