Seekor harimau sumatera yang memiliki janggut dan surai yang lebat, dan biasa dipanggil “puyang” oleh masyarakat karena setiap generasi selalu melihatnya di kawasan hutan. Dia terlihat sendirian di tepi sungai. Matanya nanar. Dia membaca wajahnya di air sungai (puisi “Puyang” oleh T. Wijaya)
Indonesia, bukan saja mengalami kerusakan lahan gambut. Sejak puluhan tahun lalu, wilayah dataran tinggi, dan laut pun mengalami kerusakan. Banyak bentang alam di Indonesia mengalami kerusakan. Apa pun alasannya, manusia Indonesia telah gagal menata bentang alam untuk memenuhi semua kebutuhannya, karena bencana alam, wabah penyakit, kemiskinan, konflik sosial, muncul sebagai akibat rusaknya hutan, laut, rawa gambut, bukit, pun sungai.
Sebab manusia bukan hanya butuh makan, juga butuh udara yang sehat, terpenuhi air yang sehat, iklim yang normal, serta terhindar dari berbagai bencana alam dan penyakit.
Setahun lalu, selaku pekerja teater bersama Teater Potlot, kami mengusung Rawa Gambut. Pertunjukan yang telah ditampilkan di Palembang, Lampung, dan sejumlah kota di Sumatera, yang coba mengungkap bagaimana kerusakan rawa gambut; bukan hanya merusak bentang alamnya juga mengancam jejak peradaban luhur bangsa Indonesia yang sangat menjaga keharmonisan alam semesta.
Baca juga: Berharap Lahirnya Gerakan Kebudayaan dalam Mengatasi Persoalan Ekologi di Indonesia
Kami berusaha masuk ke dalam jejak peradaban luhur tersebut. Mencoba membaca dalam alam kegelisahan seekor harimau sumatera pada hari ini. Untuk itu kami mengusung Puyang yang ditampilkan di Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya bersamaan dengan pencanangan Forum Dangku-Meranti, yang digagas KLHK, Pemprov Sumsel, Pemkab Muba, dan KELOLA Sendang.
Lansekap Puyang
Puyang adalah dialek masyarakat Sumatera Selatan untuk kata Poyang, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1991) yang artinya nenek moyang, datuk atau leluhur. Tapi, pada masyarakat melayu, menyebutkan puyang (poyang) juga berarti menyebutkan seorang dukun, buyut, sakti, atau pawang.
Dalam mitologi masyarakat Sumatera Selatan, puyang bukan hanya diperuntukan bagi manusia, juga harimau sumatera atau satwa lainnya yang dipercaya memiliki kesaktian atau menguasai satu wilayah hutan dan rawa gambut.
Harimau sumatera bagi kami adalah puyang. Karena beribu tahun harimau sumatera mampu menjaga leluhur kami, juga bentang alam dari kerusakan. Setiap wilayah jelajah harimau sumatera yang membentang dari dataran tinggi, dataran rendah, hingga rawa gambut, kondisi ekosistemnya tetap terjaga.
Namun sejalan dengan kebutuhan manusia, ekosistem yang terjaga tersebut mengalami kerusakan. Bahkan harimau sumatera yang berjasa menjaga ekosistem dan tidak menempatkan manusia sebagai sumber makanan, justeru ikut terrnusnahkan atau terancam hidupnya.
Apa yang dipikirkan harimau sumatera hari ini? Itulah yang menjadi tema besar dalam pertunjukan Puyang; mengembalikan lanskap atau wilayah hidup puyang yang hilang itu. Sebuah bentang alam untuk semua makhluk hidup.
Bentang alam untuk semua makhluk hidup ini seperti yang diamanahkan Raja Sriwijaya saat membangun Taman Sriksetra, sebuah lanskap, yang diperuntukan untuk semua makhluk hidup, seperti terbaca dalam Prasasti Talang Tuwo (684 M).
Bagaimana mengembalikan bentang alam yang hilang itu? Bagi kami, melalui pertunjukan puyang, pesannya hanya dengan mengembalikan koridor harimau sumatera, maka bentang alam itu terkembalikan.
Kehadiran harimau sumatera itu pun akan mengembalikan nilai-nilai aturan atau hukum (adat) yang selama ratusan tahun menjadi keyakinan masyarakat dalam memaknai sebuah bentang alam sehingga lestari. Misalnya masyarakat yang hidup di wilayah dataran tinggi membuat aturan warganya dilarang masuk ke kawasan hutan yang menjadi koridor harimau sumatera, yang disebut sebagai “hutan larangan”. Sementara di rawa gambut atau dataran rendah disebut “tempat keramat”.
Dengan aturan tersebut, hutan larangan maupun tempat keramat, akhirnya terjaga bentang alam bersama flora dan faunanya.
Bagaimana jadinya jika keinginan tersebut tidak didukung manusia hari ini, apa yang akan dilakukan harimau sumatera yang tersisa?
“Kenapa manusia itu ingin membunuhku? Menembakku? Apa salahku? Puyang tidak punya niat menyerang manusia. Dia teringat dengan pesan orangtuanya agar menjaga manusia. Manusia adalah saudara tua yang harus dijaga, dilindungi, seperti di istana Tuhan. Di istana Tuhan, dia kembali bertemu dengan manusia yang wajahnya bercahaya. Dia tetap rindu kita, dia mencari kita. Mencari wajah kita yang bercahaya, ” kata puyang dalam pertunjukan tersebut.
Melalui kemasan sastra tutur Guritan Besemah, kami berpikir hanya kearifan manusialah yang dapat menjaga harmoni dan keseimbangan. Saling menjaga, mengingatkan, dan melindungi semua makhluk hidup di bentang alam puyang tersebut.
* Conie Sema, penulis adalah pekerja budaya, aktif berkesenian di Teater Potlot