Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Sipansihaporas merupakan proyek berkapasitas 50 megawatt yang dibangun dalam kawasan hutan lindung di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Perusahaan negara ini juga memanfaatkan aliran air sungai dari kawasan Ekosistem Batang Toru, yang jaraknya dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Sipansihaporas sekitar satu kilometer. Bagaimana perusahaan ini menjaga kelestarian hutan dari kerusakan?
Proyek yang ditargetkan mampu memproduksi energi sebesar 203,6 GWh per tahun ini, dipastikan menjadi andalan listrik wilayah Sumatera Utara dan Provinsi Aceh. Dike Satya Laksamana Putra, Staff Junior Engineer Lingkungan dan K2 PT. PLN (Persero) Unit PLTA Sipansihaporas, kepada Mongabay Indonesia mengatakan, pembangkit ini beroperasi sejak 2002.
Menjaga keseimbangan lingkungan dan kebutuhan air PLTA adalah fokus utama. Pihaknya, menurut dia, melakukaan berbagai hal seperti menanam bibit pohon hingga sosialisasi pentingnya menjaga lingkungan yang dilakukan tiap satu semester.
Baca: Orangutan Tapanuli, Spesies Baru yang Hidup di Ekosistem Batang Toru

Dike mengatakan, penyadartahuan terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar hutan lindung dan kawasan Ekosistem Batang Toru, penting dilakukan. Air yang diambil dan dimanfaatkan dari wilayah tersebut bisa memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Jika hutan rusak akan berpengaruh pada ketersediaan air. “Hutan harus tetap dijaga dari segala kerusakan,” jelasnya.
Menurut Dike, penanaman pohon setiap tiga bulan sekali dilakukan, dengan jenis terbanyak mahoni. Sekali tanam setidaknya 1.000 bibit. Ini dilakukan dalam kawasan lindung yang dipakai PLTA Sipansihaporas. “Penjagaan berlapis diterapkan juga agar tidak ada yang merusak. Ada lima pos pengamanan,” jelasnya baru-baru ini.
Baca juga: Mengintip Hutan Batang Toru, Sumber Hidup Warga Tiga Kabupaten

Gabriella Fredriksson, Koordinator Program Batang Toru-Program Konservasi Orangutan Sumatera (SOCP, PanEco – YEL), mengatakan kalau diambil langkah mundur, sisa hutan di Sumatera hanya 30 persen. Deforestasi secara luas dalam kurun waktu 20 hingga 30 tahun terakhir menyisakan hutan di pegunungan.
Di kawasan Batang Toru, menurutnya, ada daerah aliran sungai (DAS) Sipansihaporas. DAS ini tidak terlalu besar, sekitar 25 ribu hektar, dengan kapasitas listrik sekitar 50 megawatt. Dari data yang ada, DAS Sipansihaporas 90 persen masih berhutan, namun 10 persen bagian hulunya telah dibuka. “Ini berbahaya jika tidak disikapi serius.”
YEL sendiri, menurutnya sudah memberikan data dan analisis ke pemerintah daerah maupun PLN, daerah mana yang gundul dan mesti direhabilitasi. “Jika melihat pemanfaatan hutan dari sisi ekonomi, ini sudah menjadi kepentingan publik. Bukan saja masyarakat di hilir yang membutuhkan air untuk keseharian. Ini kebutuhan listrik tingkat Sumatera yang dibutuhkan jutaan manusia, ” jelasnya.

Lebih jauh Gaby mengatakan, untuk Ekosistem Batang Toru, deforestasi paling pesat terjadi di Kabupaten Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah. Di dua kabupaten ini, harus ada upaya pengelolaan lapangan serius.
“Paling penting untuk diperhatikan saat ini adalah Kabupaten Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan. Pembukaan hutan untuk berbagai kepentingan harus terus dipantau,” jelasnya.