Limbah merupakan masalah kronis Sungai Citarum. Sejak industri berkembang pada 1970-an, perubahan penampilan mulai terjadi pada sungai kenamaan Jawa Barat ini. Limbah tanpa diolah hasil kreasi sejumlah pabrik nakal, telah bersemayam dan meracuni air sungai sepanjang 297 kilometer tersebut.
Tak ada terik mentari di Rabu (14/2/2018) siang. Komunitas Elemen Lingkungan (Elingan), organisasi yang fokus pada pecemaran, memandu saya menelusuri Sungai Citarum sepanjang 10 kilometer. Tepatnya, di Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Targetnya sederhana, mencari tahu di mana titik awal pencemaran.
Penelusuran dimulai dari jembatan di Desa Ciwalengke. Di kiri dan kanan sungai, tampak berjajar pabrik tekstil yang berbaur dengan padatnya permukiman penduduk. Begitu perahu karet kami menjejak tanah, seorang security pabrik menghampiri. Menanyakan perihal kegiatan yang kami lakukan.
“Dulu, pabrik kadang menyewa preman ketika kami menelusuri sungai. Namun, sekarang tidak lagi,” kata Wandi, anggota Elingan.
“Dengan maksud apa?,” tanya saya.
“Entahlah, barangkali soal limbah,” jawabnya.
Kami pun menelusuri sisi lain Sungai Citarum yang debitnya sedikit surut. Rupanya, hujan tidak turun hampir tiga hari. Perahu melaju pelan, sampah, kotoran ternak dan manusia terlihat di sekeliling. Pemandangan yang tak bisa disangkal, Citarum memang sungai kotor.
Komunitas Elingan membawa saya ke tempat outfall, lokasi pabrik membuang limbah. Baru setengah perjalanan mengarungi sungai, bau busuk kental menyengat hidung. Nampak dari belakang pabrik, lubang yang sengaja dibuat untuk mengeluarkan aliran pekat ke sungai.
“Segini teh lumayan tidak terlalu parah. Biasanya, berwarna mencolok seperti merah, biru, atau ungu dan kadang panas. Apalagi saat sungai pasang, limbah akan dikeluarkan besar sekali,” ucap wandi menjelaskan.
Bahkan, pihak pabrik dengan sengaja memasang CCTV dekat outfall. Menurut Wandi, hal itu dilakukan untuk memantau situasi. “Ketika dirasa aman dan tidak ada masyarakat, limbah dibuang langsung. Sengaja dipasang, untuk menghindar apabila ada pengamatan atau sidak,” lanjutnya.
Perahu kami, setidaknya melewati beberapa outfall tersembunyi yang membuang limbah langsung ke sungai. Di sisi lain masyarakat tidak menutup mata. Mereka tahu betul tentang limbah, namun dibuat tak berdaya. Sebab, sebagian dari mereka bekerja di perusahaan tersebut.
“Bau kang, di dinya tah liang limbahna. Osok kaluar pami nuju wengi, hampir unggal dinten sapertos kieu. Teu kiat bauna, (Bau kang, di sana itu lubang limbahnya. Suka keluar kalau malam, hampir setiap hari seperti ini. Tidak kuat menghirup baunya,” teriak pria paruh baya saat perahu kami melintas.
Hampir tiga jam kami mengarungi sungai, melihat langsung pencemaran. Bukti yang terpantau dari titik outfall, buangan limbah perusahaan tanpa diolah.
Mengakar
Koordinator Elingan, Deni Ruswandi menyebut, sebagai kawasan industri pertama di hulu Citarum, persoalan limbah sudah mengakar di Kecamatan Majalaya. Hampir sebagian besar industry, tidak menggunakan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dalam proses produksinya.
“Pada prinsipnya, pabrik bukan tidak memiliki IPAL, pasti ada. Sebab berkaitan dengan persyaratan izin. Cuma, IPAL dijalankan atau tidak itu yang jadi masalahnya,” ucapnya.
Aturannya, limbah harus diolah terlebih dahulu dalam IPAL agar mengalami proses fisik, kimia, dan biologi sebelum dibuang ke lingkungan atau badan sungai. Kenyataannya, limbah buangan sering dikeluhkan masyarakat, karena dampak negatif yang ditimbulkannya seperti bau, warna, dan gangguan kesehatan.
Berdasarkan data 10 besar penyakit, di Puskesmas Majalaya dan Puskesmas Cikaro, diketahui bahwa masyarakat mengeluhkan penyakit kulit, saluran pernafasan dan pencernaan. Setiap tahun, angka kunjungan masyarakat ke puskesmas mencapai 7.357 orang.
Deni menuturkan, masalah utama mengatasi persoalan limbah adalah tidak adanya ketegasan dan tumpang tindih aturan pemerintah. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bandung, Majalaya memang diperuntukkan sebagai wilayah pengembangan sentra industri tekstil.
Namun, perkembangannya tidak dibatasi. Kini, kecamatan seluas 590 hektar telah disesaki 187 pabrik yang didominasi teksil. Pengendalian pencemaran intensif perlu dilakukan. Lantaran, kawasan tersebut memiliki daya tampung beban pencemaran air (DTBPA) Rendah.
“Sehingga, untuk menindak pencemaran mesti menggunakan metode lain seperti penutupan outfall pabrik. Kalau pakai jalur hukum, proses birokrasinya lama, belum tentu juga menang di pengandilan. Setahu saya, upaya pengawasan dan pengecekan lapangam pun sering dilakukan instansi terkait. Namun, pencemaran tetap berulang,” terangnya.
Sebelumnya, 3 Febuari 2018, sidak dilakukan Dirjen Gakkum Kementeriam Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jawa Barat yang melibatkan Kodam III/ Siliwangi serta Polda Jawa Barat. Ada 39 pabrik di Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Bandung, dan Kota Cimahi yang didatangi.
“Setelah sampel diujikan ke labolatorium, hasilnya menunjukan limbah 13 pabrik di atas baku mutu. Hasil ini juga akan diserahkan ke pemerintah kabupaten/kota selaku pemberi izin. Selanjutnya, pabrik dapat diberikan sanksi administrasi hingga pidana, apabila sebelumnya sudah diperingatkan tetapi tidak ada perbaikan,” kata Kepala DLH Jawa Barat Anang Sudarna, ditemui di kantornya.
Anang mengatakan, parameter pengukuran baku mutu dilihat dari pengujian derajat keasaman (PH), zat padat tersuspensi (TTS), biochemical oxygen demand (BDO), chemical oxygen demand (COD) serta anomia (senyawa kimia). Bahkan, salah satu pabrik kadar TTS-nya 60 kali di atas baku mutu.
Dia melanjutkan, pemerintah dapat memberikan sanksi administratif berupa teguran tertulis ataupun penutupan saluran outfall limbah. Langkah itu, sepenuhnya diserahkan ke instansi terkait di kabupaten/kota.
“Pemerintah daerah yang memiliki wewenang karena berkaitan dengan penerbitkan izin. Penutupan saluran outfall mungkin bisa dilakukan. Namun, ada kekhawatiran akan berujung pada pemutusan hubungan kerja karena bisa mengganggu proses produksi. Tetapi, itu sebuah risiko untuk menyelamatkan jutaan orang dari pencemraran Sungai Citarum,” jelas Anang.
Berdasarkan data yang dihimpun, peraturan mengenai pengendalian pencemaran telah tertuang dalam UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, juga UU No 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air dan UU No. 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian. Namun, aturan penegakan hukum ini masih sulit membendung pencemaran Sungai Citarum yang telah berlangsung hampir 30 tahun. (Bersambung)