Maleo waigeo (Aepypodius bruijnii), sebagaimana namanya adalah jenis yang memang hanya ada di Waigeo. Dimanakah itu?
Waigeo, pulau seluas 301.127 hektar ini berada di utara Raja Ampat, Papua Barat. Sejatinya, ia merupakan pulau yang berbatasan dengan kawasan Wallacea, daerah peralihan yang merupakan pertemuan dua biogeografi berbeda, Asia dan Australia. Cagar alam mendominasi di Waigeo Barat seluas 95.200 hektar dan Waigeo Timur sekitar 119.500 hektar yang keduanya dipisahkan Teluk Mayalibit.
Maleo waigeo adalah burung berukuran 41-46 sentimeter yang berasal dari Suku Megapodiidae. Kulit mukanya gundul dengan bagian badan bawah berwarna coklat kadru. Sang jantan biasanya memiliki gelambir tiga buah.
Sejatinya, maleo waigeo sudah dikenal sejak 1880 saat pertama kali ditemukan Anton August Brujin. Dalam rentang 1880 hingga 1904, sebanyak 21 spesimennya berhasil dikoleksi. Namun, sejak 1948 hingga tahun 2000 berbagai ekspedisi gagal merekam kembali jenis ini. Hingga akhirnya, pada tahun 2007 keberadaannya dilihat lagi yang mengawali pertemuannya selanjutnya di 2010 dan 2013, di alam liar.
Maurits Kafiar, Biodiversity Officer Fauna & Flora International – Indonesia Program (FFI-IP) di Papua mengatakan, jenis ini sensitif terhadap suara dan gerakan sehingga sulit dilihat langsung. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukannya di 2002, ia pernah melihat sebanyak 8 individu. Berikutnya, di 2010, di pedalaman Gunung Danai, ia menemukan 42 sarang aktif dan 5 sarang rusak.
“Kehidupan maleo waigeo memang lebih banyak di pegunungan untuk berbiak dan bersarang. Namun begitu, saya juga pernah melihat individu muda bermain di pesisir. Ancamannya di alam adalah babi dan biawak, yang sering memakan telurnya,” jelasnya baru-baru ini.
Maurits menuturkan, ada kekhawatiran tentang rencana pembangunan jalan lingkar Waigeo di pesisir yang bakal memotong pulau. Dipastikan, efek bising akan mengancam jenis ini. “Kami sangat mendukung pemerintah dalam mengembangkan pariwisata bahari. Namun begitu, baiknya konsep pembangunan disesuaikan dengan budaya masyarakat yang menggunakan laut dan sungai sebagai sarana transportasi. Kehidupan satwa, pastinya diperhitungkan juga,” jelasnya.
Berbagai ancaman kehidupan yang ada membuat maleo waigeo dimasukkan dalam status Genting (Endangered/EN) dalam Daftar Merah IUCN (International Union for Conservation Union). Jumlahnya, diperkirakan berkisar pada 980 individu dewasa.
Untuk menyelamatakan jenis ini, berdasarkan keterangan Birdlife International (2016), perlu dilakukan tindakan konservasi berupa perlindungan kawasan terintegrasi dengan taman nasional. Berikutnya, kampanye penyadartahuan dilakukan beserta survei keseluruhan untuk mengetahui kondisi aktualnya.
Kaya hayati
Berdasarkan Buku Ekologi Papua (2012), Waigeo menjadi salah satu kepulauan yang mendukung keanekaragaman satwa endemik. Karena kekhasan dan kekayaan jenis yang tinggi seperti amfibi dan reptil, Waigeo ditetapkan sebagai wilayah endemik penting. Keputusan ini berdasarkan lokakarya Penetapan Kawasan Konservasi Keanekaragaman Hayati Irian Jaya (CPSW) 1997.
Menurut Heri Wibowo, Kepala Bidang Teknis Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua Barat, banyak peneliti datang untuk mempelajari detil mengenai satwa dan tumbuhan yang ada. Jenis tersebut mulai maleo waigeo, cenderawasih merah (Paradisaea rubra), cenderawasih wilson (Cicinnurus respublica), juga anggrek waigeo (Cypripedium praestans).
“Untuk menjaga keragaman hayati tetap bersemi di alam, BBKSDA Papua Barat juga melakukan pendekatan dan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Upaya ini dinilai cukup efektif karena bila masyarakat merasa memiliki dan mendapatkan manfaat dari kawasan hutan, baik langsung maupun tidak, seperti wisata alam terbatas maupun plasma nutfahnya, mereka akan menjaganya,” jelasnya.
Heri berharap, Cagar Alam Waigeo memberikan fungsi perlindungan terhadap tumbuhan dan satwa serta jenis endemik papua lainnya. “Tentunya, memberikan manfaat juga bagi masyarakat sekitar kawasan dengan pengelolaan yang arif dan berkelanjutan,” terangnya.
Penelitian yang dilakukan Fauna & Flora International Indonesia Program dan BBKSDA Papua Barat, September hingga Oktober 2016, menunjukkan kekayaan hayati Waigeo. Tercatat, 127 jenis burung teridentifikasi di Waigeo Barat dan Waigeo Timur. Jenis-jenis tersebut teramati di Saporken (Cagar Alam Waigeo Barat), Warsanbin (Cagar Alam Waigeo Timur), dan Warimak.
Donny Gunaryadi, Head of Biodiversity Fauna & Flora International – Indonesia Program, mengatakan jenis terbanyak yang didapati dari Suku Columbidae atau merpati-merpatian. Sebanyak 54 jenisnya, dilindungi PP 7 Tahun 1999 dan masuk CITES serta daftar merah IUCN. “Bila dilihat kurva pertambahan jenis yang cenderung naik, artinya masih banyak yang belum tercatat selama pengamatan,” jelasnya.
Selain jenis burung penetap, tim peneliti FFI-IP juga menjumpai 14 jenis burung migran yang berasal dari belahan bumi utara dan selatan. Jenis tersebut seperti cekakak australia (Halcyon sancta), tiong-lampu biasa (Eurystomus orientalis), dan kicuit batu (Motacilla cinerea).
Herpetofauna
Waigeo juga memiliki catatan penemuan jenis baru. Masih dari Buku Ekologi Papua, koleksi amfibi dan reptil Papua, nyatanya pertama kali dilakukan di Pulau Waigeo pada 1824 oleh René-P. Lesson yang dideskripsikan oleh Pierre-Adolphe Lesson pada 1830. Penelitian kembali dilakukan pada 1923 oleh van Kampen yang mencatat akan empat jenis katak. Berikutnya, 1915 dan 1917, peneliti bernama de Roiij mencatat 25 jenis reptil. Lalu, Richards et al. pada 2005, meliputi kepulauan Raja Ampat. Sebanyak 12 jenis katak dan 23 jenis reptil di ditemukan, tepatnya di Waigeo.
Ekspedisi keanekaragaman herpetofauna di Pulau Waigeo kembali dilakukan Mei hingga Juni 2007 oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang merupakan bagian dari “Ekspedisi Widya Nusantara LIPI 2007”. Metode yang dilakukan dengan survei dan mengoleksi spesimen dari jenis-jenis yang didapat di sekitar Teluk Mayalibit, Waigeo Barat.
Amir Hamidy, ahli herpetologi dari LIPI menjelaskan, dari hasil survei dan koleksi telah didapatkan 12 jenis amfibi dan 32 jenis reptil. Untuk amfibi, terdapat kemungkinan besar dua jenis baru (katak pohon hijau besar dan katak Callulops) dan enam jenis catatan baru yang kemungkinan, satu di antaranya teridentifikasi sampai kategori genus. Sedangkan reptil, satu jenis ular kemungkinan jenis baru, 14 jenis sebagai catatan baru yang tiga jenisnya teridentifikasi sampai kategori genus.
“Hasil yang didapat selama penelitian sangat membanggakan ilmu pengetahuan. Jenis-jenis yang unik hingga saat ini tidak lain karena adanya kemampuan beberapa herpetofauna dalam bertahan hidup. Misal, terbawa air melalui kayu ke pulau lain, kemampuan parthenogenesis yaitu induk betina mampu memproduksi sel telur tanpa melalui fertilisasi, hingga indukan betina mampu menyimpan sperma di kantong sperma hingga dapat membuahi sel telur saat lingkungan sesuai,” jelas Amir.
Amir menambahkan, kecepatan dalam hal identifikasi jenis dan publikasi harus lebih cepat dari ancaman kepunahan. Jangan sampai, jenis yang didapat sudah punah terlebih dahulu. “Taksonom muda sangat diperlukan. Kerja sama berbagai lembaga untuk penelitian di lokasi-lokasi terpencil harus dilakukan. Data yang telah diperoleh dapat diinformasikan kepada Bappenas dalam rangka pemilihan jenis prioritas yang perlu dikonservasi dan atau yang bisa dimanfaatkan,” terangnya.
Andri Irawan, Biodiversity Officer Fauna & Flora International Indonesia Program di Jakarta, menambahkan, 61 jenis herpetofauna yang terdiri dari 28 jenis amfibi dan 33 jenis reptil tercatat di Waigeo, saat survei 2016 lalu. Sebanyak 26 jenis, harus diperiksa dan dibandingkan lagi dengan literatur dan koleksi spesimen yang diperoleh LIPI pada ekspedisi sebelumnya.
“Identifikasi jenis amfibi dan reptil Waigeo merupakan aktivitas menantang. Buku dan literatur untuk identifikasi jenis masih sedikit. Hingga saat ini, konsultasi dengan peneliti Amir Hamidy terus kami lakukan terkait akurasi identifikasi,” tandasnya.