Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) Makassar menolak Rancangan Perda (Raperda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Sulawesi Selatan.
“Raperda RZWP3K Sulsel, belum menjamin keberlangsungan lingkungan hidup wilayah pesisir dan pulau kecil serta belum menjamin keberlangsungan pengelolaan sumber daya pesisir oleh masyarakat. Pertimbangan dalam penyusunan RZWP3K cenderung mengabaikan ruang-ruang pengelolaan masyarakat dan mengedepankan rencana pembangunan infrastruktur yang mengancam lingkungan,” ungkap Asmar Exwar, Direktur Eksekutif WALHI Sulsel, mewakili ASP dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di kantor DPRD Sulsel, Makassar, Senin (5/3/2018).
baca : Dokumen KLHS Zonasi Pesisir Sulsel Rampung Ditengah Polemik. Bagaimana Tanggapan Aktivis?

Menurutnya, penyusunan RZWP3K harus mempertimbangkan aspek keserasian, keselarasan dan keseimbangan dengan daya dukung lingkungan, ekosistem, fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan.
Begitu juga dengan dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan serta keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber daya, fungsi, estetika lingkungan, dan kualitas lahan pesisir.
Termasuk, kewajiban mengalokasikan ruang dan akses masyarakat dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai fungsi sosial, budaya dan ekonomi.
“Untuk konteks Sulawesi Selatan, kami melihat lebih jauh lahirnya kebijakan-kebijakan daerah pada sektor pembangunan infrastruktur serta pengelolaan sumber daya alam yang memberikan ruang yang cukup luas bagi perluasan investasi tidak ramah lingkungan,” tambahnya.
baca : Ternyata Banyak Masalah Dalam Raperda Zonasi Pesisir di Sulsel. Apa Saja?

ASP antara lain menyoroti besarnya ruang untuk pertambangan pasir laut dalam Raperda RZWP3K tersebut, yaitu seluas 26,262.54 hektare. Khusus kabupaten Takalar, alokasi ruang tambang pasir laut blok Spermonde seluas 9,348.69 hektare. Alokasi ruang zona jasa dan perdagangan yang secara khusus diarahkan untuk mengakomodir rencana dan proyek reklamasi di Sulsel seluas 3.849,98 hektare.
Sementara untuk Kota Makassar seluas 3.133,29 hektare yang diperuntukkan untuk mengakomodir proyek reklamasi pesisir dan rencana pembuatan pulau- pulau reklamasi. Sedangkan luasan konsesi pertambangan pasir laut di Takalar saat ini dari 5 IUP yakni sebesar 10.938,95 hektare.
Menurutnya, politik penguasaan dan pengelolaan wilayah di semua lini tanpa pertimbangan azas kehati-hatian justru semakin meningkatkan konflik tenurial, sosial, HAM dan menciptakan kemiskinan serta kerusakan lingkungan hidup.
baca : Dari Diskusi Mongabay: Mengkritisi Draft Perda Zonasi Pesisir Sulsel

Dalam pertemuan ini, ASP juga memaparkan sejumlah keganjilan dalam proses penyusunan RZWP3K ini, termasuk dampak yang akan ditimbulkan nantinya.
“Ranperda ini tidak menempatkan nelayan tradisional dan masyarakat adat sebagai subyek penting dalam pemanfaatan ruang sumber daya pesisir. Dokumennya pun disusun secara diam-diam, tidak transparan dan partisipatif.”
ASP juga menilai Raperda ini lebih sebagai ruang legitimasi investasi yang merusak dan meminggirkan nelayan tradisional dan masyarakat Adat. Termasuk menimbulkan terhadap biodiversity wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, serta hilangnya wilayah kelola rakyat pesisir dan pulau-pulau kecil.
baca : Sarat Masalah, Aktivis Minta Pembahasan RZWP3K Sulsel Ditunda
ASP selanjutnya memaparkan fakta-fakta yang terjadi di area laut penambangan pasir, yang pelaksanaannya terakomodir dalam RZWP3K ini.
Misalnya, sejumlah desa, seperti Tamasaju, Sampulungan, Popo, Bonto Marannu, Mangindara, Bontosunggu, dan Kalukubodo, umumnya mengalami abrasi pantai yang sangat meluas dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
“Kekeruhan air laut juga terjadi di wilayah tangkap nelayan, terutama di perairan Desa Tamasaju, Popo, Bontomarnnu, Bontosunggu, Mangindara dan Palalakkang.”
baca : Kontroversi di Balik Reklamasi Pantai Makassar, Antara Kepentingan Rakyat dan Pengembang

Dampak lain juga dirasakan pada nelayan Pulau Tanakeke, yang sebagian besar warganya merupakan nelayan tradisional.
Penambangan pasir sekitar Pulau Tanakeke dimulai sekitar bulan Juli 2017 dampaknya mulai terasa oleh warga. Desa-desa yang terancam akibat penambangan pasir laut di perairan sekitar pulau Tanakeke yakni Desa Tompotana, Maccini Baji, Rewatayya, Mattirobaji dan Balangdatu.
“Beberapa nelayan mengatakan bahwa dampak yang terlihat saat ini adalah keruhnya air laut sekitar pulau. Keruhnya air laut tersebut mulai dikeluhkan warga karena berdampak pada rumput laut warga. Air keruh yang masuk pada area penanaman rumput laut membuat kualitas rumput laut milik warga menurun yang mengakibatkan rumput laut gagal panen,” jelas Exwar.
Tidak hanya itu, tambahnya, penyelam penangkap gurita juga mengeluh, karena area penyelaman penangkapan gurita merupakan lokasi penambangan pasir, berdampak juga pada berkurangnya hasil tangkapan di sekitar pulau.
baca : Aksi Warga Takalar Menolak Tambang Pasir: Jangan Paksa Kami Menjadi Teroris

Sempat terjadi ketegangan ketika Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DPK) Provinsi Sulsel, Sulkaf S Latief menolak tudingan seorang penanggap, yang menyatakan RZWP3K ini sebagai pesanan pihak tertentu.
Menurutnya, RZWP3K tersebut dibuat semata-mata karena perintah undang-undang dalam mengatur pengelolaan laut, bukan karena pesanan dari pihak-pihak tertentu.
“Saya tegaskan Raperda RZWP3K ini dibuat bukan karena orderan siapa pun, ingat itu. Saya berani pertaruhkan jabatan ini kalau itu dianggap orderan,” tegasnya.
RZWP3K menurutnya dibuat semata untuk pengelolaan apa yang ada di laut. Selama RZWP3K ini belum ada maka pihaknya tidak bisa melakukan apa pun di wilayah laut.
Fachruddin Ragga, Ketua Pansus Raperda RZWP3K yang memimpin RDP tersebut meminta semua pihak untuk berkepala dingin dalam mencari solusi terbaik.
“Kami berharap semua pihak baik NGO, perwakilan masyarakat Galesong, akademisi, dinas terkait, Otoritas Pelabuhan, Pelindo, pengelola Reklamasi CPI memberikan masukan positif agar semua berjalan dengan baik. Rapat Dengar Pendapat ini pembahasannya akan terus dilanjutkan, bukan hari ini saja,” ungkapnya, sebagaimana dikutip dari Antara.
baca : KKP Surati Gubernur Sulsel, Minta Tambang Pasir di Takalar Dihentikan

Aksi Menolak Tambang Pasir Berlanjut
Sepekan sebelumnya, Kamis (1/3/2018) ratusan warga Takalar yang tergabung dalam Masyarakat Galesong Raya melakukan aksi unjuk rasa menolak penambangan pasir di Kantor DPRD Sulsel.
Dalam pernyataan sikapnya, koalisi ini menyatakan bahwa Tambang pasir laut di Galesong Raya – Sanrobone telah menjadi masalah serius bagi masyarakat Takalar sejak pertengahan tahun 2017 silam.
Penambangan pasir laut ini dilakukan Kapal PT Boskalis Indonesia sebagai pemenang tender untuk kepentingan proyek reklamasi dikerjakan bersama Jasmin-PT Ciputra Grup seluas 157 hektare. Hasil reklamasi ini nantinya akan dibagi, sebanyak 50 hektare diberikan pemerintah provinsi dan kota, sedangkan sisanya 57 hektare untuk kepentingan bisnis.
“Kegiatan tersebut hingga kini telah memberi perubahan yang signifikan terhadap perekonomian masyarakat. Bukan cuma itu, kondisi lingkungan hidup juga mulai mengalami perubahan yang drastis.”
baca : Tolak Tambang Pasir, Masyarakat Galesong Utara Lapor ke KPK
Aktivitas penambangan pasir ini telah dilakukan sejak 2017 lalu dan telah seringkali mendapat penentangan dari masyarakat Takalar. Tidak hanya unjuk rasa, mereka juga melakukan pengejaran terhadap kapal penambang pasir di perairan Galesong.
Mereka menyayangkan sikap pemerintah yang dinilai tidak memberi respons positif terhadap aksi penolakan tersebut.
“Sebaliknya, pemerintah malah berusaha mengkriminalisasi masyarakat yang menolak tambang. Buktinya, selama aksi penolakan berlangsung pada tahun 2017, kurang lebih 4 warga Galesong telah mendapat panggilan polisi dengan tuduhan melakukan pengrusakan,” ungkap Daeng Mone, salah seorang tokoh masyarakat Galesong.
baca : Penambangan Pasir di Perairan Galesong Terus Berlanjut, Warga Ultimatum Pemprov Sulsel

Aksi juga menyoroti isi dari RZWP3K yang dinilai malah akan menambah kerusakan bagi kampung-kampung masyarakat di Galesong, karena Raperda tersebut menyertakan alokasi ruang tambang pasir laut seluas 19.000 hektar di perairan Galesong.
“Bagi kami, menyetujui rencana Perda tersebut sama saja membuat kampung nelayan Galesong rusak, dan menambah penderitaan masyarakat Galesong,” ujarnya.
Peserta aksi kemudian menyampaikan tuntutan kepada Gubernur Sulsel melalui DPRD Sulsel antara lain, menghapus alokasi ruang tambang laut pasir di RZWP3K Sulsel.
“Kami juga meminta agar seluruh penambangan pasir laut di Perairan Takalar dihentikan, begitu pun dengan seluruh aktivitas reklamasi di pesisir Sulsel terkhusus di Kota Makassar.”