Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Utara (Walhi Sumut), tengah mempersiapkan berkas dan dokumen gugatan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Gugatan dilakukan karena KLHK dianggap lalai terhadap terjadinya konflik satwa liar, yaitu matinya harimau sumatera jantan di Desa Bankelang, Kecamatan Batang Natal, Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara, Minggu (04/3/2018) pagi.
Dana Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Sumut, kepada Mongabay Indonesia mengatakan, saat ini timnya tengah mengumpulkan semua berkas, bukti, dan fakta yang nantinya dilampirkan untuk menggugat KLHK. Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara (BBKSDA Sumut), juga akan digugat, karena dianggap berperan terhadap matinya harimau tersebut.
“Terkait kematian harimau di Madina, saat ini pemerintah dan perwakilannya menyalahkan masyarakat yang melakukan pembunuhan terhadap harimau yang diduga terluka itu,” terangnya Selasa (06/3/2018).
Menurut Dana, konflik manusia dengan harimau bukan kali pertama terjadi di Sumatera Utara. Sebelumnya, terjadi di Tapanuli Utara, Toba Samosir, Labuhan Batu Utara, dan Simalungun. “Ini persoalan sangat serius, bukan sebatas harimau dibunuh. Masalah sebenarnya adalah alih fungsi lahan di Mandailing Natal.”
Baca: Sadis! Harimau Terluka Dibunuh, Bangkainya Digantung untuk Tontonan
Di sana ada konsesi tambang PT. Sorikmas Mining seluas 24 ribu hektar di blok B dan 30 ribu hektar lebih di blok A. Belum lagi, perkebunan sawit di Madina dan Tapanuli Selatan (Tapsel) beserta hutan tanaman industri.
Deforestasi menyebabkan konflik manusia dengan satwa liar, khususnya harimau sumatera terus terjadi. “Harimau turun ke permukiman karena habitatnya hancur akibat izin konsesi yang diberikan pemerintah dalam hal ini KLHK,” jelas Dana.
BBKSDA Sumut yang merupakan perpanjangan KLHK juga jangan melihat sebatas konflik. Akar masalahnya harus diketahui yaitu deforestasi. Bila masalah ini diatasi, konflik tidak akan terjadi lagi.
Mewakili masyarakat yang terancam dan satwa yang habitatnya rusak, kami menggugat pemerintah dan pemegang konsesi di sana. Alasannya, karena menjadi penyebab hancurnya habitat satwa liar, termasuk harimau sumatera, sehingga terusir dari rumahnya sendiri.
“Selain KLHK dan BBKSDA Sumut, kami akan gugat PT. Sorikmas Maining, dan perkebunan sawit. Tambang-tambang yang sudah dicabut izinnya di kawasan Mandailing Natal dan Tapanuli Selatan juga harus bertanggung jawab. Walhi memiliki legal standing mewakili lingkungan, baik itu harimau, gajah, dan masyarakat untuk melakukan gugatan. Hak mereka harus dilindungi,” terang Dana.
Baca juga: Melihat Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Harimau Sumatera 2018-2028. Seperti Apa?
Kepala Departemen Kajian, Pembelaan, dan Hukum Lingkungan Walhi, Zenzi Suhadi menyatakan, Walhi bisa mewakili lingkungan dan masyarakat, sehingga pihaknya mempersiapkan gugatan ke KLHK. Termasuk, BBKSDA Sumut.
Merurut dia, dalam perspektif dan opini, seolah kasus matinya harimau sumatera di Madina, masyarakat yang sengaja membunuhnya. Pemerintah dan banyak organisasi tidak melihat kejahatan yang sesungguhnya. Sebenarnya, konsesi pertambangan dan monukultur adalah predator utama ekosistem, yang secara langsung maupun tidak telah mengusir satwa dari habitatnya.
“Kami mewakili harimau dan masyarakat yang jadi korban konflik, akan menggugat penyebab utamanya. Yaitu, pemerintah yang menerbitkan izin kepada perusahaan tambang emas, batubara, hutan tanaman industri, perkebunan kelapa sawit, dan perusahaan lain yang dapat konsesi,” ujarnya.
Perspektif ini, harus diluruskan kepada publik dan negara sendiri. Mengapa? Persoalan satwa akan semakin luas bila negara tidak mengambil posisi yang lebih tepat.
“Yang kami gugat selain KLHK, adalah mereka yang merubah bentang alam secara langsung yaitu perusahaan. Sekarang lagi dikumpulkan izin, nomor SK perusahaan, dan nama perusahaan yang merubah langsung bentang alam. Ini kami sebut kejahatan luar biasa terhadap lingkungan, mendorong orang lain menjadi tersangka dalam hal ini komunitas,” terangnya.
Uji koreksi ini akan dilakukan terhadap pemerintah pusat, dalam hal ini KLHK, pemerintah daerah, dan BBKSDA Sumut. Mengapa mereka? Seharusnya, mereka yang melindungi hutan, bukan memberikan izin kepada perusahaan untuk menghancurkannya.
“Pemerintah daerah juga akan kita uji, karena beberapa komoditi sektoral izinnya dikeluarkan oleh pemerintah daerah seperti pertambangan,” papar Zenzi.
Terkait kasus matinya harimau sumatera di Mandailing Natal, BBKSDA Sumut mengakui adanya dugaan illegal logging di lokasi terjadinya konflik satwa dengan manusia tersebut. Ini terungkap melalui surat BBKSDA Sumut dengan nomor S. 899/K3/BIDTEK/KSA/02/2018 yang ditandatangani oleh Kepala BBKSDA Sumut, Hotmauli Sianturi. Ditujukannya, kepada Kapolda Sumatera Utara, yang isinya meminta bantuan penyidikan terkait adanya kejahatan kehutanan di sana.
Dalam surat itu, Hotmauli menyatakan ada pihak yang sengaja memprovokasi untuk membunuh harimau sumatera yang terpantau di area penebangan liar dalam kawasan ilegal di KPHP IX dan Taman Nasional Batang Gadis. Sehingga, BBKSDA Sumut meminta bantuan kepolisian untuk mengusut penebangan liar dan konflik satwa dengan modus-modus tertentu.
Foto utama: Harimau sumatera. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com