Berbicara soal tambang emas Poboya, Palu, Sulawesi Tengah, mesti dilihat berbagai sisi dan para ‘pemain. Begitu ungkapan Alkiya J. Dariseh, dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng. Dia mengatakan, tambang emas di Poboya setidaknya perlu dilihat dari dua sudut pandang, antara perusahaan tambang tanpa izin dengan yang bekerja di konsesi PT Citra Palu Minerals (CPM).
Baca juga: Kabar Teranyar dari Tambang Emas Poboya (Bagian 1)
“Aktivitas di Poboya, ada dua, perusahaan perendaman emas dan konsesi CPM yang izin sudah operasi produksi,” katanya.
Saat ini, katanya, ada beberapa perusahaan beroperasi. Pada September 2017, perusahaan-perusahaan telah dilaporkan ke Direktorat Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Antara lain, pelanggaran mereka masuk dalam Taman Hutan Rakyat (Tahura) Sulteng.
Berdasarkan pantauan Jatam, pada Februari 2018, ada proses berita acara pemeriksaan (BAP) baru tiga perusahaan, antara lain, PT Panca Logam Utama, PT Mahakam dan PT Indo Asia Kimia Sukses, terkait pertambangan ilegal.
Jatam Sulteng peroleh informasi lapangan soal PT Dinamika Reka Geoteknik (DRG), perusahaan sub kontrak CPM yang bekerja di dalam tahura.
”CPM punya MoU dengan DRG, dan UPT Tahura untuk rehabilitasi tahura, bukti lapangan, DRG adalah perusahaan penyuplai bahan. Praktiknya, DRG menjual bahan material ke empat perusahaan lain,” katanya.
Baca juga: Tahura Poboya-Paneki Terusik Tambang Emas, Bagaimana Ini?
Jatam menemukan fakta, DRG bertugas membagi material pada empat perusahaan yang sudah menyiapkan kolam perendaman. Titik galian yang diambil oleh DRG masuk dalam tahura. Pada Februari 2018, Polda Sulteng, menyita 31 kilogram merkuri, operasi setop. Tak ada lagi alat berat berganti tenaga manusia.
Sebelumnya, 23 Desember 2017, Polda Sulteng mengamankan lima kilogram merkuri dan menghentikan aktivitas di lokasi pertambangan emas Poboya.
Ancaman baru
Kontrak karya CPM nambang emas Poboya mulai 1997 saat itu penandatanganan persetujuan oleh presiden. Melalui surat presiden No No. B-143/Pres/3/1997 tertanggal 7 Maret 1997, CPM resmi jadi perusahaan pemegang kontrak karya generasi VI, dengan bahan galian utama emas dan mineral ikutan.
Melalui East Kalimantan Coal Pte. Ltd, Rio Tinto menguasai 90% saham CPM. Saham sisa sebanyak 10% dimiliki PT Arlia Karyamaska. Kontrak CPM seluas 561.050 hektar membentang dari Kabupaten Buol, Tolitoli Donggala, dan Parigi Moutong– sekarang masuk kabupaten baru mekar, Sigi Biromaru.
Muh Masykur M Wakil Ketua Komisi III DPRD Sulteng mengatakan, sejak awal rencana pertambangan Poboya oleh CPM sudah menuai pro dan kontra.
Dia mengingatkan, pemerintah agar memikirkan baik-baik sebelum mengambil keputusan soal masa depan tambang Poboya.
“Bahaya, ancaman terhadap kondisi sosio-ekologi menjadi keresahan dominan karena jarak lokasi kontrak hanya sekitar 10 kilometer dari pusat Kota Palu,” kata mantan Direktur Perhimpunan Bantuan Hukum Rakyat ini.
Dia mencatat, masalah di Poboya, bukan barang baru dalam perdebatan kalangan aktivis maupun pengambil kebijakan di Sulteng.
Masalahnya, berdasarkan perkembangan kini, tampak ada skenario besar sedang bekerja. Kalau dia lihat, ada tiga pihak jadi pemain utama dalam areal pertambangan itu, yakni, masyarakat, penambang kelas menengah dan CPM sebagai pemilik kontrak karya.
“Pemain tambang sebetulnya sudah jelas, tapi seolah-olah ada pembiaran. Di sana, ada perusahaan besar memegang izin kontrak karya dengan izin usaha produksi khusus, penambang rakyat dan perusahaan skala menengah juga turut jadi pelaku.”
Dia bilang, salah satu masalah krusial ketika izin usaha produksi khusus (IUPK) terbit tanpa ada pertimbangan dampak bagi warga Palu.
CPM mendapatkan IUPK berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 422.K/30.DJB/2017. Dalam Kepmen ESDM itu, memuat beberapa hal seperti tahap kegiatan operasi produksi CPM pada wilayah seluas 85.180 hektar.
Dalam laporan studi kelayakan, CPM menyatakan, mampu produksi 600.000 ton bijih emas per tahun. Penambangan belum bisa dilakukan dalam waktu dekat.
Rencananya, CPM mau membangun fasilitas pertambangan dan pengolahan hasil tambang selama tiga tahun ke depan.
Masa komersialisasi produksi tambang bisa mulai akhir 2020 dengan izin produksi dari ESDM selama 30 tahun alias sampai 2050.
Dalam laporan tahunan CPM disebutkan, BRMS sebagai pemilik saham mayoritas CPM melansir, hingga kuartal III 2017, kondisi keuangan perusahaan membaik. Anak usaha Bumi Resources ini berhasil mencetak pendapatan US$5 juta, melonjak 130,16% dari periode sama 2016, sebesar US$2,17 juta. Tercatat, rugi bersih perusahaan turun dari sebelumnya US$150,25 juta jadi US$92,11 juta.
Walhi Sulteng, kampanye sebagai protes terhadap penerbitan IUPK karena melihat potensi ancaman kalau CPM beroperasi. Walhi bahkan gugat Menteri ESDM agar mencabut izin perusahaan ke PTUN Jakarta Timur.
Stevandi, Manager Kampanye Walhi Sulteng mengatakan, model operasi besar-besaran CPM akan berdampak pada sesar Palu-Koro.
“Kita tidak ingin kejadian seperti di Sidoarjo berulang di Kota Palu. Dalam sejarahnya Grup Bakrie punya pengalaman buruk dalam proses eksplorasi yang keliru merendam Sidoarjo, justru negara yang menalangi hal itu,” katanya. Sejak 1997-2017, CPM tak ada aktivitas, di wilayah izin justru ada penambangan rakyat.
Aris Bira, Direktur Walhi Sulteng, Aris mengatakan, berdasarkan overlay peta wilayah kontrak karya CPM seluas 85.180 hektar, terdapat 27.132 hektar dalam kawasan hutan—sebagian di Tahura Sulteng 4.907 hektar, hutan lindung 11.075 hektar, hutan produksi terbatas 5.504 hektar serta area peruntukan lain (APL) 5.645 hektar.
“Konsesi CPM penuh masalah. Entah dari mana datangnya keyakinan menerbitkan IUPK. Kebijakan ini bertentangan dengan aturan melindungi kawasan hutan,” katanya.
Bambang AS, Kepala UPTD Tahura Sulteng mengatakan, dalam kawasan Tahura ada areal kontrak karya CPM sekitar 5.000 hektar.
“CPM tak bisa melakukan kegiatan tambang dalam kawasan itu walaupun sudah berizin operasi produksi. Saat ini, mereka sudah memiliki amdal dengan pengelolaan di APL, di luar tahura,” katanya.
UPT Tahura telah mengikat kerjasama lewat memorandum of understanding (MoU) dengan CPM, sebagai pemilik konsesi kontrak karya pertambangan untuk rehabilitasi lahan kritis lima tahun ke depan.
Fokus kegiatan, katanya, rehabilitasi eks pertambangan tanpa izin seluas 70 hektar. Kegiatan ini meliputi tanam pohon hutan dan tahunan seperti, kemiri, jati, mahoni, dan mangga.
“Saat ini, sudah ada 2.000 pohon ditanam di lahan sekitar satu hektar,” ucap Bambang.
UPT Tahura di bawah Gubernur Sulteng. Dalam pengelolaan, tak ada subsidi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Di bawah Dinas Kehutanan Provinsi berdasarkan UU Pemerintahan Daerah. Kami tak memiliki garis hubungan dengan KLHK.”
Tahura Sulteng seluas 7.128 hektar membentang dari utara ke selatan, yakni dari Kota Palu ke Sigi. Saat ini, tantangan mereka, banyak tambang ilegal beroperasi, terutama di Kelurahan Poboya, Palu.
Pertambangan emas ilegal, katanya, sudah sejak 2007, sebagian besar dalam tahura.
Tahura, katanya, sudah lakukan berbagai pendekatan kepada masyarakat tetapi sulit karena ketergantungan ekonomi tinggi terhadap pengelolaan emas. Masyarakat, katanya, selalu beralasan perut dan terpaksa menambang.
“Kami turun lapangan. Juga sudah sampaikan ke instansi terkait yakni Polda dan Dinas Kehutanan. Alhamdulillah, 23 Desember 2017, Polda sudah penutupan tambang.” (Selesai)
Foto utama: Penggalian material tambang untuk perendaman emas di Poboya. Foto: Jatam Sulteng/ Mongabay Indonesia