Indonesia sebenarnya berpotensi besar dalam menerapkan energi baru dan terbarukan (EBT). Namun, potensi EBT yang sudah dimanfaatkan masih sangat kecil. Hingga 2017, baru sekitar 12 persen potensi EBT di Indonesia yang digunakan sebagai sumber energi listrik oleh perusahaan listrik negara (PLN).
Menurut PLN, potensi EBT di Indonesia mencapai sekitar 443 gigawatt (GW). Potensi itu antara lain berasal dari energi bayu dengan kekuatan mencapai 207.898 megawatt (MW), disusul hidro (94.476 MW), matahari (60.647 MW), bioenergi (32.654 MW), panas bumi (29.554 MW), dan laut (17.989 MW). Namun, pemanfaatan potensi EBT di Indonesia hingga tahun lalu masih berkisar pada 8 GW. Data lain bahkan menyebutnya lebih kecil, hanya sekitar 6,5 GW.
Dewanto, Deputi Manajer Energi Alternatif, Divisi EBT PLN Kantor Pusat, mengatakan pembangkit listrik (PLT) Indonesia masih didominasi energi fosil, seperti uap, gas, dan diesel. Total pembangkit listrik terpasang hingga 2017 adalah 52.231 MW atau sekitar 52 GW.
baca : Catatan Akhir Tahun: Menanti Keseriusan Pemerintah Utamakan Energi Terbarukan
Menurut Dewanto jumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Indonesia mencapai 48 persen dengan daya sebesar 24.483 MW. Setelah itu adalah tenaga gas dan uap (PLTGU) dengan kekuatan 11.262 MW (22 persen), tenaga diesel (PLTD) sebesar 5.771 MW (11 persen), tenaga gas (PLTG) sebesar 3.994 MW (8 persen), tenaga air (PLTA) sebesar 4.010 MW (8 persen), tenaga mikrohidro (PLTM) sebesar 381 MW (1 persen), tenaga bayu (PLTB) 189 MW (0,03 persen), dan tenaga surya (PLTS) sebesar 16 MW (0,03 persen).
Dengan potensi mencapai 443 GW, Indonesia memiliki kesediaan EBT yang melimpah ruah. Jumlah itu mencapai lebih dari delapan kali lipat dari seluruh pembangkit listrik yang terpasang saat ini, 52 GW. Artinya, di masa depan Indonesia sangat bisa memenuhi kebutuhan energi listriknya dari EBT.
Masih kecilnya jumlah pembangkit listrik EBT itu, menurut Dewanto, terjadi karena saat ini Indonesia masih masuk fase anomali dalam pengembangan EBT. “Kondisi Indonesia saat ini masih anomali karena kita kan relatif baru dalam EBT. Berbeda dengan Amerika, Eropa, atau negara-negara maju lain yang sudah lama menerapkan EBT,” katanya dalam sebuah diskusi di Denpasar, Bali, pada Februari lalu.
baca : Pemerintah Setop Bangun Pembangkit Listrik Batubara, Berikut Analisis Mereka
Dewanto menambahkan PLN sendiri sudah berkomitmen untuk beralih ke EBT. Untuk itu, PLN menerapkan beberapa strategi. Pertama, dengan mengoptimalkan pembangunan pembangkit listrik EBT yang memiliki potensi besar, seperti tenaga air, surya, dan angin. Kedua, dengan memaksimalkan potensi EBT yang ada daerah setempat.
Ketiga, PLN mengembangkan sistem hibrid untuk daerah-daerah yang sudah dipasok pembangkit listrik dengan EBT. Terakhir, PLN juga mulai menerapkan smart grid dan sistem kontrol. “Tujuannya untuk meningkatkan penetrasi EBT dalam sistem PLN,” ujarnya.
Sebagai dasar formal, Pemerintah Indonesia juga sudah memiliki Peraturan Presiden (Perpres) No.22/2016 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yaitu rencana pengembangan energi jangka panjang hingga 2050. Salah satu isinya, Indonesia akan mengembangkan EBT untuk menggantikan energi fosil secara signifikan, bertahap, dan jangka panjang.
baca : Pembangkit Listrik Hibrid Ini Solusi Kurangi Ketergantungan Energi Fosil
Mempertanyakan Komitmen PLN
Masih sangat kecilnya persentase penggunaan EBT oleh PLN mendatangkan pertanyaan kalangan masyarakat sipil.
Manajer Conservation International Indonesia Bali Made Iwan Dewantama mengatakan Bali tidak cocok dengan energi fosil karena memang tidak memiliki sumber daya fosil, seperti batubara. Namun, hingga saat ini sumber energi listrik di Bali justru masih tergantung dengan batubara. “Industri pariwisata menjadi konsumen energi tertinggi di Bali, termasuk dengan terus munculnya hotel-hotel baru,” kata Iwan.
Selain dengan mengerem laju pertumbuhan industri pariwisata yang boros energi, Iwan menyarankan agar Bali juga mulai memikirkan sumber-sumber energi terbarukan. “Misalnya dengan memastikan agar Bali setidaknya menggunakan 30 persen energi terbarukan,” ujarnya.
Hal itu sejalan dengan kekayaan konsep budaya Bali dalam menggunakan sumber energi terbarukan, seperti matahari dan angin. Pegiat energi terbarukan Agung Putradhyana menjelaskan konsep budaya Bali yang bisa diterapkan dalam energi terbarukan, misalnya dalam penyebutan nama-nama arah mata angin.
“Kangin (artinya timur) bisa menjadi ke angin di mana kita bisa menggunakan energi angin,” kata Gung Kayon, panggilan akrab Putradhyana. Adapun kelod (selatan) bisa bermakna ke laut atau air. Kaja (utara) berarti tempat tinggi yang bisa berarti matahari sedangkan kauh (barat) atau di bawah. Menurut Gung Kayon, di bawah ini merujuk pada sumber energi di dalam perut bumi, seperti uap atau biogas.
baca : Mewujudkan Kemandirian Energi Berawal dari Desa di Bali
Konsep lain dalam Bali seperti lambang Tri Datu yang terdiri dari tiga warna juga erat terkait dengan alam yaitu merah (api), putih (angin), dan hitam (air). Ketiganya menjadi sumber energi terbarukan yang makin banyak digunakan di berbagai negara. “Maknanya, kita bisa menggunakan semua sumber energi yang ada di alam,” kata Gung Kayon.
Toh, kenyataannya, semua konsep itu belum sepenuhnya diterapkan di Bali. Saat ini Bali justru sangat tergantung dengan sumber energi fosil. Gung Kayon menunjukkan empat lokasi pembangkit listrik, seperti PLTU yang menggunakan batubara di Celukan Bawang (Buleleng), PLTG di Gilimanuk (Jembrana), serta bahan bakar minyak (BBM) dan elpiji di Karangasem dan Denpasar.
Beberapa proyek energi terbarukan di Bali justru mangkrak. Hanya gemerlap pada saat diresmikan tetapi setelah itu kemudian terabaikan. Dua contohnya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kubu, Karangasem serta PLTS dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Nusa Penida, Klungkung.
“Itu karena masih ada dispute dengan investor dan belum diserahterimakan oleh pihak ketiga kepada PLN,” kata Dewanto terkait dua proyek EBT yang mangkrak di Bali.
baca : Bali Memerlukan Percepatan Energi Bersih dan Terbarukan
Kritik terhadap masih besarnya ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil kotor juga datang dari organisasi lingkungan Greenpeace. Juru Kampanye Greenpeace Indonesia untuk Iklim dan Energi Didit Haryo Wicaksono mengatakan energi fosil seperti batubara justru mengancam dari hulu ke hilir.
Di hulu, penambangan batubara membahayakan warga lokal seperti terjadi di Samarinda. Menurut catatan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) bahwa hingga saat ini terdapat 27 korban meninggal di lubang tambang batubara di Samarinda, lokasi sekitar 70 persen batubara Indonesia.
Di tingkat hilir, penggunaan batubara sebagai sumber energi juga sangat mencemari lingkungan. “Masalah utama cemaran batubara adalah penyebaran partikulat PM 2,5, ini jauh lebih kecil dibanding rambut manusia. PM 2,5 tidak terlihat dan menempel di tubuh. Dampak buruknya pada anak-anak dan orang tua rentan karena daya tahan kurang,” kata Didit dalam sebuah diskusi lain di Denpasar akhir bulan lalu.
Menurutnya negara-negara yang dulu sangat tergantung kepada energi fosil, seperti Cina dan India, memiliki kualitas udaranya sangat buruk. Untuk itulah, Didit mendesak agar pemerintah Indonesia, termasuk di Bali, segera beralih ke EBT. “Bali punya potensi besar dalam energi terbarukan. Inilah saatnya beralih dari energi kotor ke energi bersih,” tegas Didit.