Pengadilan Negeri Tenggarong, Kalimantan Timur, pada 4 Desember 2017, menjatuhkan hukuman terhadap PT. Indominco Mandiri, pidana denda Rp2 miliar karena terbukti bersalah melakukan pembuangan (dumping) limbah tanpa izin.
Putusan perkara pidana khusus Nomor 526/Pid.Sus-LH/2017/PNTgr berbunyi, terdakwa Indominco, terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melanggar UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan dumping limbah tanpa izin. Pengadilan menjatuhkan pidana denda Rp2 miliar, atau kalau dalam satu bulan sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap, harta benda terdakwa disita dan dilelang untuk membayar denda.
“Menghukum terdakwa telah mengolah limbah B3 berupa timbunan limbah fly ash dan bottom ash pada area PLTU Indominco sekitar 4.000 ton secara mandiri dengan kontrak kerja perusahaan berizin,” demikian bunyi putusan majelis hakim yang diketuai Jon Sarman Saragih. Kala sidang itu, perusahaan diwakili sang direktur, Andre Herman Bramantya Putra.
Indominco, merupakan perusahaan pertambangan batubara beroperasi di tiga wilayah di Kalimantan Timur, yakni, Kabupaten Kutai Kartanegara, Bontang, dan Kutai Timur.
Selain aktivitas pengerukan batubara, Indominco juga memiliki PLTU 2X7 Megawatt. PLTU ini di Desa Santan Tengah dan Desa Santan Ilir, Kecamatan Marangkayu, Kutai Kartanegara.
Menanggapi putusan ini, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mendesak, pemerintah dan pengadilan tak hanya menjatuhkan pidana lingkungan hidup berupa denda atas Indominco juga penjara dan pencabutan izin tambang agar perusahaan hengkang dari Indonesia.
“Seharusnya, majelis hakim menghukum petinggi perusahaan Indominco, tak hanya pidana denda yang terhitung kecil,” kata Merah Johansyah Ismail, Koodinator Jatam Nasional, Senin, (12/3/18).
Putusan pidana lingkungan hidup atas Indominco, katanya, setelah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerima laporan warga Desa Santan, Kalimantan Timur yang mendapatkan dampak lingkaran bisnis batubara perusahaan ini mulai penambangan, pembakaran PLTU hingga pembuangan limbah.
Majelis hakim, katanya, menghilangkan pidana penjara kepada pimpinan perusahaan asing dari Banpu Group Thailand ini, seperti tercantum dalam putusan bahwa terjadi pergantian direktur Indominco. Kini, direktur perusahaan warga Indonesia, Andre Herman Bramantya Putra menggantikan Kirana Limpaphayom, warga Thailand.
Sesuai Pasal 60, Pasal 104 dan Pasal 116 UU PPLH, setiap orang yang dumping limbah dan atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud Pasal 60, dipidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp3 miliar.
“Kami ingin negara menegakkan pidana korporasi yang tidak setengah-setengah, denda Rp2 miliar, namun perusahaan kembali beroperasi dengan memperbaiki pengelolaan limbah menurut kami tak akan berdampak pada korporasi. Kami ingin izin perusahaan dicabut dan hengkang,” kata Merah.
Dia bilang, ada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13/2016 soal tata cara penanganan perkara tindak pidana pada korporasi, di luar itu pemerintah memiliki diskresi sekaligus kewenangan mencabut izin tambang. Jadi, kalau suatu perusahaan sudah kena pidana korporasi, mestinya, sudah tak boleh lagi beroperasi.
Putusan pidana ini, katanya, dapat jadi dasar pencabutan atau sanksi administrasi maksimal sesuai Pasal 4 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 2/2013 tentang sanksi administratif pencabutan izin bagi perusahaan hitam ini. Sesuai prinsip hukum UU PPLH, katanya, premium remedium, berarti sanksi administratif maksimal dapat bersamaan dengan pidana, tanpa menunggu salah satunya.
“Kami ingin Indominco angkat kaki dari Kalimantan dan Indonesia, seluruh bantuan keuangan dan finansial penyokong mereka harus diseret pertanggungjawabannya.”
Dihubungi terpisah, Dinamisator Jatam Kaltim, Pradarma Rupang mengatakan, kasus pencemaran lingkungan melibatkan Indominco bukan hanya limbah B3 ini. Beberapa kasus lain perusahaan PKP2B seperti soal pemotongan sungai santan dan menambang di luar konsesi.
Dia mengatakan, Greenpeace juga studi kasus di Indominco, Kutai Kartanegara, tahun 2016. Perusahaan beroperasi di hulu Sungai Santan, hingga kualitas air memburuk.
“Ini berdampak pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Air berubah warna, banyak ikan mati, warga sekitar mengeluh sering gatal-gatal,” katanya.
Perusahaan langsung membuang limbah ke hulu sungai. Di sana, ada tiga sungai sepanjang 13,4 km, Santan, Kare dan Pelakan. Selama ini, warga tergantung ketiga sungai ini. Mereka memanfaatkan aliran sungai untuk transportasi, air bersih, tangkapan ikan dan irigasi lahan-lahan pertanian.
Sejak 2005, warga berhenti mengkonsumsi baik masak dan minum dari air Sungai Santan.
“Warga Desa Santan, Marang Kayu, sejak lama mendapat dampak negatif dari Indominco, mulai penambangan, pembakaran PLTU hingga pembuangan limbah. Izin tambang perusahaan ini semestinya dicabut,” ucap Rupang.
Menurut dia, di hulu DAS Sungai Santan ada beberapa perusahaan batubara beroperasi, terbesar Indominco. Perusahaan ini, katanya, pemegang PKP2B sejak 1997. Anak usaha PT Indo Tambang Raya Megah Tbk ini mendapat konsesi 25.121 hektar.
Mongabay akhir 2017, menyusuri Desa Santan dari hulu ke hilir. Desa dengan lahan pertanian nan subur, ada kelapa, jagung, singkong, padi, dan sayur mayur.
Laporan Greenpeace Asia tahun 2016 berjudul “Desa Terkepung Tambang Batubara: Kisah Investasi Banpu” disebutkan, Indominco dimiliki oleh Banpu Public Company Ltd (Banpu), merupakan perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Thailand, bergerak di bisnis energi termasuk tambang batubara, pembangkit listrik, serta energi alternatif.
Setidaknya, lebih 93% pendapatan diperoleh lewat bisnis tambang batubara dan PLTU batubara. Bisnis Grup Banpu di Indonesia dijalankan anak perusahaan, PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITM), terdaftar di Bursa Efek Indonesia. ITM mengontrol sejumlah perusahaan di bumi Kalimantan.
Pada 2014, ITM memproduksi 29,1 juta ton batubara, untuk pasar lokal maupun ekspor, terutama ke Thailand. Indominco menjadi anak perusahaan dengan kontribusi terbesar di Indonesia.
Romiansyah, mahasiswa asal Desa Santan Ilir, Muarangkayu, mengatakan, seharusnya petinggi perusahaan dihukum, denda Rp2 miliar sangat sedikit dibanding kerusakan lingkungan yang terjadi. “Kami ingin PLTU Incominco ditutup.”
Dia bilang, listrik PLTU itu juga tak buat penerangan ke tiga desa di Santan. Beberapa kali warga demonstrasi dampak PLTU, aktivitas tambang.
“PLTU, hanya jadi beban warga, dan penyebab kerusakan lingkungan,” katanya.
Desa mereka sudah terkepung tambang dan PLTU dari hulu ke hilir. “Kami ingin dihentikan karena tak ada manfaat bagi warga.”
Selama ini, katanya, debu batubara mengotori lingkungan sampai atap rumah, padahal warga Desa Santan Hilir, masih andalkan air hujan buat konsumsi.
Perkebunan kelapa andalan mayoritas warga pesisir Santan pun ada yang rusak dan mati karena polusi PLTU. Pembangkit hanya berjarak sekitar 500 meter dari pemukiman warga.
Mongabay mengkonfirmasi soal ini kepada perusahaan, Selasa, (14/3/18). H Bramantya Putra, Direktur Indominco Mandiri mengatakan, IMM menghormati putusan Majelis Hakim Pengadilan Tenggarong itu.
Perusahaan, katanya, mematuhi putusan pengadilan dan memenuhi kewajiban serta perbaikan-perbaikan sesuai putusan. Denda Rp2 miliar telah dibayarkan IMM pada 19 Desember 2017.
“IMM menerima hasil putusan Majelis Hakim Pengadilan Tenggarong, dengan telah dipenuhi kewajiban IMM berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,” kata Bramantya.
Dalam kasus ini, katanya, perusahaan tak terbukti menyebabkan pencemaran lingkungan di sekitar penyimpanan sementara FABA (fly ash and bottom ash). Hal ini didukung hasil analisis laboratorium terakreditasi terhadap kualitas air, tanah dan uji karakteristik limbah B3. Saat ini, FABA di penyimpanan sementara sudah mulai dibersihkan bertahap.
Dia klaim, Indominco memperhatikan aspek-aspek lingkungan dan dampak yang mungkin terjadi di sekitar masyarakat. “Kami akan ketat mematuhi kebijakan keberlanjutan perusahaan dan standar-standar lingkungan internasional serta peraturan perundangan yang dibuat pemerintah.”
Dia bilang, akan lanjut memantau lingkungan bekerja sama dengan laboratorium terakreditasi guna memastikan parameter-parameter sesuai peraturan perundangan dan standar berlaku.
Foto utama: Sidang lapangan oleh majelis hakim PT Tenggarong. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia