Saung Udjo adalah nama yang identik dengan angklung. Saung yang sejatinya etalase masyarakat Sunda ini merupakan benteng kokoh yang setia merawat tradisi leluhurnya.
52 tahun sudah, landasan untuk melestarikan budaya dan kesenian tradisional Sunda yang digagas Udjo Ngalagena bersama istri Uum Sumiati, menancap erat. Berawal dari kegusaran dan modal nekat, Udjo merintis sebuah sanggar sederhana di pekarangan rumahnya di kawasan Padasuka 118, Kota Bandung, Jawa Barat. Meski waktu itu, idenya kurang dianggap dan disebut sia-sia.
“Awalnya, sulit mengenalkan kebudayaan lokal di Kota Bandung yang agak kebarat-baratan,” kata Marketing Communication Saung Angklung Udjo Aulia Rusman, kepada Mongabay Indonesia, baru-baru ini.
Aulia mengungkapkan, Udjo adalah guru yang juga seniman. Sebagai seniman, Udjo paham akan budaya yang memiliki nilai sosial dan dinamis. Seni akan beradaptasi dengan kemajuan zaman sekaligus kondisi masyarakat di setiap masanya. “Dengan pertunjukan sederhana, suatu waktu angklung akan mendunia,” ucapnya, menirukan perkataan Udjo saat merintis pentas angklung.
Udjo kecil, putra asli Jawa Barat kelahiran 5 Maret 1929, memang menyukai alat musik tradisional, terutama angklung. Pada masanya itu, angklung dimainkan untuk merayakan panen padi, khitanan, dan acara lain yang merupakan kebiasaan masyarakat Sunda.
Berdasarkan laman resmi Saung Angklung Udjo, tidak ada keterangan pasti kapan angklung mulai ada dan dimainkan masyarakat Indonesia. Adapun penjelasan tertua mengenai angklung terdapat di kitab Nagara Kertagama yang menceritakan angklung sebagai alat bunyi-bunyian yang digunakan dalam upacara penyambutan raja.
Angklung adalah alat musik terbuat dari pipa-pipa bambu, yang dipotong ujung-ujungnya, menyerupai pipa-pipa dalam suatu organ. Diikat bersama dalam suatu bingkai, lalu digetarkan untuk menghasilkan bunyi. Secara tradisional, ada yang dinamakan Angklung Baduy, Angklung Buncis, Angklung Gubrag, dan Angklung Bungko.
Keterangan lain, angklung digunakan sebagai musik pengguggah semangat dalam kancah peperangan di masa kerajaan Sunda. Dikutip dari Pikiran Rakyat, fungsi angklung untuk memompa semangat rakyat melawan penjajahan. Sebuah alasan mengapa pemerintah Hindia Belanda saat itu, melarang masyarakat menggunakan angklung, yang menyebabkan popularitasnya menurun. Hanya dimainkan anak- anak saja.
Dalam perkembangannya, angklung dimodifikasi, lebih moderen. Udjo yang konsisten mengembangkan kesenian angklung meyakini nilai-nilai luhur bersemayam dalam alat musik tradisional ini. Ada semangat gotong royong, disiplin, cermat, tangkas dan tanggung jawab.
“Inilah titik awal Mang Udjo membuat pertunjukan angklung. Didirikan 1966, muncul nama Saung Angklung Udjo,” ujar Aulia. Udjo mengawali pentasnya di lahan seluas 100 meter persegi, yang kini berkembang menjadi 3.500 meter persegi.
Udjo Ngalagena sangat terinspirasi gurunya Daeng Soetigna, pencipta angklung diatonis bernama Angkung Padaeng pada 1938. Sebelumnya, angklung hanya bernada pentatonis. Guru asal Garut ini memiliki filosofi 5M yaitu, Mudah, Murah, Mendidik, Menarik, dan Massal. Udjo menyempurnakannya, menambahkan satu nilai, Meriah.
Prinsip-prinsip inilah yang dikembangkan menjadi pentas ideal, dikenal dengan nama Kauilinan Urang Lembur. Pertunjukkan yang memadukan unsur kesenian Sunda atraktif dan mendidik.
Esensi angklung di Saung Angklung Udjo adalah alunan rumpun bambu. Artinya, alunan yang dinamis, menyenangkan dan enerjik dalam mengembangkan budaya Indonesia, khususnya budaya Sunda. Misinya, melestarikan budaya Sunda berbasis gotong royong antar-warga.
“The power of angklung bisa menghilangkan ego. Karena setiap angklung memiliki satu tangga nada sehingga perlu bersama memainkannya agar tercipta harmoni. Nature and Culture in Harmony, filosofinya,” jelas Aulia.
Angklung di konferensi
Angklung sejatinya dimainkan kembali pada perhelatan Konferensi Asia Afrika (KAA) 2015. “Angklung juga pernah ditampilkan saat KAA 1955 oleh Presiden Soekarno dan kepala negara lain yang hadir,” kata Direktur Saung Angklung Udjo (SAU) Taufik Hidayat Udjo, dilansir dari Detikcom.
Diplomasi angklung dikategorikan sebagai soft power diplomacy Indonesia. Menurut Joseph Nye Jr, ahli hubungan internasioanl dari Universitas Harvard. Soft power diartikan sebagai kemampuan suatu negara mengajak kerja sama dengan negara lain tanpa menggunakan hard power yaitu senjata maupun materi.
Di kancah Internasional, alat musik angklung mulai dikenalkan lewat pementasan ke berbagai negara. “Saung Angklung Udjo telah menggelar pertunjukan di hampir semua benua, mengenalkan angklung sebagai alat musik khas Indonesia. Dan itu salah satu misi kami yang terealisasi, angklung mendunia,” papar Aulia.
Saung Udjo juga mendistribusikan angklung ke berbagai wilayah, dalam dan luar negeri. Untuk memenuhi hal itu, ada 10 kemitraan dilibatkan. “Sekarang yang menjadi kendala adalah minimnya bahan baku bambu. Dari banyaknya permintaan, hanya 30% terpenuhi,” tambahnya.
Menurut Aulia, angklung dibuat dari bambu pilihan, kualitas tinggi. Ada tiga jenis yang digunakan yaitu bambu hitam, bambu apus, dan bambu gombong. Bambu hitam diambil di wilayah dekat pantai, dari Yogyakarta hingga Parangtritis lalu Sukabumi, Ujung Genteng, Garut dan Tasikmalaya. Kenapa harus dekat pantai? “Tanah di sekitar pantai mengandung kapur cukup tinggi sehingga menghasilkan bambu tipis namun padat, yang cocok dijadikan angklung.”
Sementara bambu apus dan bambu gombong, bisa diambil dari mana saja. Namun begitu, kualitas bambu tetap menjadi perhatian utama. Usia bambu ideal adalah 4-5 tahun. Bila belum cukup umur, bambu akan mudah mengkerut sedangkan lewat batas, cepat retak.
Untuk menebang bambu, tidak bisa sembarang. Harus waktu tertentu, mulai jam 9 pagi hingga 3 sore. Bahkan, bambu yang ditebang, harus didiamkan satu tahun. Tidak boleh asal potong.
“Saung Angklung Udjo merupakan penghasil angklung terbesar di dunia. Tidak hanya di Indonesia, ribuan angklung telah dikirim ke Asia, Eropa, dan Amerika. Bahkan di Belanda, permainan angklung telah dijadikan program ekstra kurikuler di sekolahan,” ujar Aulia.
Udjo Ngalagena memang telah tiada. Wafat, 3 Mei 2001 silam. Namun, semangat dan kecintaannya pada budaya Sunda tetap berkibar, dilanjutkan keluarganya. UNESCO pun, pada 16 September 2010, telah menetapkan angklung sebagai Representative List of Intangible Cultural Heritage of Humanity, atau warisan budaya tak benda Indonesia.
CIta-cita Udjo, menduniakan angklung terwujud. Let’s bring the world into peace through angklung, sungguh nyata.