Ternyata perusahaan memotong (memindahkan) aliran sungai tanpa ada izin. Karena ada perbedaan data hingga amdal harus berubah tetapi masih proses, hingga kini, izin lingkungan belum keluar.
Beragam masalah muncul setelah kehadiran tambang batubara, mendorong warga Rangkiling Bakti, Mandiangin, Kabupaten Sarolangun, Jambi, protes dengan bermacam tuntutan. Pasca demo, tuntutan warga berlanjut ke Polres Sarolangun.
Sabtu, akhir Januari, tiga hari setelah demo, Polres Sarolangun memfasilitasi mediasi antara warga dengan SPC, MSA dan US– yang jadi kontraktor keduanya.
Baca juga: Nasib Warga Rangkiling Bakti yang Hidup di Dekat Tambang Batubara (Bagian 1)
Dalam mediasi, Asmara dari Forpera menuntut masalah serapan tenaga kerja lokal masih sedikit, tanggung jawab sosial perusahaan, pengobatan gratis bagi warga sekitar tambang, dan masalah pungutan uang Rp2.000 per mobil pengangkut batubara untuk Desa Rangkiling Bakti belum diterima sejak 2015.
Asmara juga minta perusahaan membuat 15 titik sumur bor baru beserta WC umum untuk warga Rangkiling Bakti mandi dan mencuci, sebagai ganti Sungai Sungumai tercemar, setelah dialihkan untuk tambang.
Dia juga mempermasalahkan buruh harian lepas yang kerja masang terpal truk dipecat perusahaan, lantaran keluarga mereka ikut demo perusahaan.
Raja dari PT US mengatakan, karyawan yang bekerja di perusahaan lebih dari separuh warga lokal. Menurut dia, jika dari 140 karyawan perusahaan, 84 masyarakat sekitar tambang.
“Ditambah 100 orang yang kerja jadi tukang tutup terpal, juga orang lokal.”
Dia juga menjelaskan, jika setiap pekerjaan yang telah melebihi jam kerja, dihitung waktu lembur.
Syarifuddin dari SPC mengatakan, masalah kesehatan warga telah masuk ke dalam rencana kerja dan anggaran biaya dan rencana kerja tahunan teknis dan lingkungan (RKAB-RKTL) perusahaan yang dibahas di Dirjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, di Jakarta.
Katanya, perusahaan juga akan membantu pendidikan anak warga sekitar tambang.
“Soal pengobatan, sudah kita programkan. Pada 2018 tinggal pelaksanaan,” kata Syarif.
Untuk dana tanggung jawab sosial, akan kembali mendiskusikan dengan warga, agar program CSR perusahaan sejalan dengan kebutuhan.
Tiga jam mediasi, memutuskan delapan poin kesepakatan. Perusahaan diminta terbuka soal bagian Rp2.000 per mobil untuk Desa Rangkiling Bakti. Perusahaan juga akan melanjutkan pembuatan sumur bor untuk warga Rangkiling Bakti.
SPC dituntut segera menyelesaikan masalah perizinan di pusat, terkait pemindahan anak sungai di wilayah tambang mereka. Inspektur tambang di Jambi ikut didesak segera melaporkan masalah lingkungan di wilayah tambang SPC pada pemerintah pusat, dan secepatnya menurunkan tim untuk menyediliki dugaan penecamaran lingkungan.
Kesepakatan ini juga disaksikan Kapolres Sarolangun, Asisten III Pemkab Sarolangun, Perwakilan Dandim Sarko, Dinas Tenaga Kerja Sarolangun, Dinas Lingkungan Hidup, dan Inspektur Tambang di Jambi.
Tutup sementara
Deshenderi, Kepala Dinas Lingkungan Hidup yang ikut dalam mediasi mengatakan, pemindahan sungai itu semestinya dilakukan setelah SPC mendapatkan izin dari Dinas PUPR. “Jadi bukan berarti begitu masuk permohonan itu sudah sah, belumlah, sahnya itu apabila izin keluar.”
Menurut dia, perusahaan semestinya terus mengecek surat permohonan yang mereka ajukan. “Seharusnya mereka datang melihat perkembangan bagaimana, apa saja syarat-syarat yang kurang? Semestinya seperti itu.”
Deshendri bilang, jika ada surat pernyataan dari perusahaan yang menyepakati batas waktu pengurusan izin perubahan sungai, namun dia tak menunjukkan surat yang dimaksud.
Dia bilang, jika ada perubahan sungai, izin dampak lingkungan peusahaan sebelum beroperasi harus berubah.
“Maka saya tadi mengarahkan pada penutupan sementara sampai tuntutan masyarakat terpenuhi.”
Pada awal Oktober 2017, aktivitas SPC pernah ditutup oleh Pemkab Sarolangun lantaran perusahaan beroperasi tanpa mengantongi izin pengolahan limbah cair. Selama dua minggu perusahaan berhenti beroperasi.
Ebon Riadi, Koordinator Inspektur Tambang di Jambi diberi waktu dua minggu usai mediasi di Mapolres Sarolangun untuk koordinasi pada kepala ispektur tambang mengenai tudingan pencemaran lingkungan SPC. Namun, lewat batas waktu yang ditentukan belum juga ada kepastian.
Ujungnya, pada Kamis, 15 Februari, Dinas ESDM Jambi didemo puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Peduli Jambi. Mereka mempertanyakan pelaggaran yang diduga dilakukan perusahaan tambang batubara di Rangkiling.
Erdika Putra, koordinator aksi mengatakan, banyak warga terserang gatal kulit karena pemindahan aliran Sungai Sungumai.
Saya menemui Ebon. Dia mengakui jika telah melebihi batas waktu belum ada hasil. Dia beralasan karena banyak laporan harus ditangani kepala inspektur tambang pusat.
Katanya, Rabu, 7 Maret, inspektur tambang pusat akan turun ke lokasi tambang SPC bersama Dinas ESDM untuk membuktikan tudingan masyarakat dan Forpera soal pencemaran Sungai Sungumai.
Soal duit pungutan desa
Abdi Manab, warga Rangkiling Simpang mengaku ikut jadi saksi dalam perjanjian soal pungutan Rp2.000 dari setiap mobil pengangkut batubara. Katanya, perjanjian itu merupakan kesepakatan bersama antara pihak desa dan perusahaan, yang dibuat sekitar 2015, awal SPC beroperasi.
Saat itu, Raja, Syarifuddin dan Harun mewakili perusahaan, ada juga Idhar dan Amin dari bagian humas. Sementara dari desa diwakili Kades Rangkiling Simpang, MK.Kholil dan Kades Rangkiling Bakti, Lokananta. “Dari masyarakat Abdi Manab, saya sendiri,” katanya, saat ditemui Jumat awal Februari.
Dia cerita, jika pungutan dari truk pengangkut batubara itu Rp13.000, setiap truk. Uang itu, katanya, dibagi buat keperluan sosial, pemuda, keamanan, dan Desa Rangkiling Bakti serta Rangkiling Simpang yang masing-masing mendapat jatah Rp2.000 dari setiap mobil. Dia mengatakan, uang Rp13.000 bukan dana yang harus dikeluarkan perusahaan.
“Duit itu dari sopir, bukan dari perusahaan.”
Dia tak mengetahui mengapa bagian untuk Desa Rangkiling Bakti tak sampai. “Surat perjanjian itu dibawa Pak Harun, yang dulu kerja di perusahaan, sekarang sudah tidak kerja di perusahaan lagi.”
Menurut Manab, aksi demo Asmara bukan semata karena masalah lingkungan, melainkan jatah uang untuk Desa Rangkiling Bakti dari setiap mobil truk pengangkut batubara tidak cair.
Asmara merupakan adik kandung Lokananta, mantan Kades Rangkiling Bakti.
Manab juga bicara soal kebun karet warga. Jumat awal Februari, Manab membawa saya melihat langsung kondisi kedua kebun karet itu.
Kebun karet Syaiful terendam air karena gorong-gorong di jalan PT. Tegas Guna Mandiri, tertutup tanah jalan yang longsor. Lokasi kebun Syaiful juga jauh dari aktivitas tambang SPC.
Saya juga melihat, kebun karet Marzuki yang dikatakan Asmara tertutup lumpur batubara. Lumpur yang mengalir ke kebun ini adalah lumpur dari jalan tanah menuju areal tambang SPC yang tergerus air hujan.
Manab menunjukkan saya kebun durian milik Husein yang dikatakan mati karena tergenang air. Di sekitar kebun tidak ada genangan air seperti foto Husein. “Pohon duren masih hidup. Tadi malam—Kamis 1 Februari—hujan lebat sampai pagi tidak ada banjir. Kemarin kan katanya pohon duren mati, banjir,” kata Manab.
Sewaktu mediasi di Polres, saya sempat ketemu Husein. Dia cerita lima batang durian sudah empat tahun tak lagi berbuah karena terendam banjir. Banjir datang, katanya, dampak kehadiran tambang SPC.
Lokasi kebun durian Husein berada di belakang warung Tahjudin. Kata Manab, Tahjudin juga ikut demo dengan alasan sumur kebanjiran. Di sumur Tahjudin, tak ada luapan air parit sampai ke sumur.
SPC menargetkan bisa mengeruk 50.000 ton batubara setiap bulan dan kini hampir 90% tercapai. Ada sekitar 130 lebih mobil truk angkut batubara setiap hari. Jika dihitung sampai tiga tahun, ada Rp290 juta uang jatah Desa Rangkiling Bakti, macet.
SPC perbaharui amdal
Pada September 2017, SPC mengajukan adendum analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) ke Dinas Lingkungan Hidup Sarolangun.
Heri Kuslaini, Kepala Bidang Lingkungan menyebutkan, semua dokumen adendum telah lengkap. Dia mengaku, telah menyurati SPC Februari lalu untuk rapat bersama tim teknis dan komisi amdal.
“Setelah mereka mengakomodir semua saran dan pendapat dari hasil rapat nanti, dan setelah dipenuhi baru kita keluarkan izin lingkungan,” katanya.
Novaizal, Kasi Pengawasan ESDM Jambi mengatakan, adendum itu karena ada perbedaan dalam menginterpretasikan data bor. Pada dokumen studi kelayakan dikatakan jika sebaran batubara pada areal tambang SPC relatif membujur ke arah utara, sementara arah kemiringan ke timur.
Pada dokumen amdal, sebaran batubara justru dikatakan mengarah ke timur, dan kemiringan ke utara.
“Kondisi itu (amdal) berbeda dengan kondisi di lapangan, hingga mau nggak mau dokumen amdal harus direvisi, kalau feasibility study tidak, karena sudah betul sesuai kondisi sebenarnya.”
Kekeliruan ini, kemungkinan terjadi pada pemilik sebelumnya. “SPC ini kan take over, jadi pada saat take over dokumen lingkungan sudah selesai, laporan eksplorasi selesai semua, jadi mereka tidak sampai ke pendetailan itu.”
Menurut Novaizal, selama dampak lingkungan pada wilayah pertambangan masih bisa ditolerir, penambangan tak perlu setop.
Syarifuddin, mengatakan, jika masalah adendum amdal SPC diajukan pada 2016, sekarang sedang diurus konsultan di Jakarta. Dia bilang, tak tahu jika domukem amdal dan studi kelayakan (feasilibilty study) berbeda.
“Itu dari awal saya juga tidak tahu, karena KP ini kan kita beli dari pemilik pertama, jadi dokumen-dokumen terdahulu saya tidak tahu persis.” (Selesai)