Warna bulunya hijau zamrud di dada, ungu di bagian mahkota. Terdapat dua pasang bulu putih memanjang di balik lekuk sayap. Ukuran betinanya lebih kecil, meski memiliki ekor lebih panjang ketimbang jantannya.
“Perlahan ia mulai menari nan gemulai, mengepakkan sayap indahnya di atas tanah kering, sambil mengeluarkan suara yang merdu di tengah belantara,” ungkap Jamal Adam, keeper di Suaka Paruh Bengkok Taman Nasinal Aketajawe Lolobata (TNAL).
Saat itu dia sedang mendeskripsikan burung endemik khas Pulau Halmahera, yang disebut bidadari halmahera (Semioptera wallacii) saat sang jantan sedang memikat betinanya. Jelasnya, pada saat musim bercumbu, akan banyak burung bidadari halmahera yang dapat dijumpai. Dapat mencapai 10 ekor.
Bidadari halmahera pertama kali teridentifikasi oleh peneliti Inggris, Alfred Russel Wallace di Pulau Bacan, Halmahera Selatan pada tahun 1858. Dari hasil penemuan itu, Wallace lalu mengirimkan sebuah laporan ke para ornitolog di London. Nama wallacii sebagai nama spesies bidadari pun merupakan suatu bentuk penghargaan untuk Wallace.
Wallace bisa dibilang pelopor. Setelahnya para pengamat burung pun berdatangan ke Halmahera. Berdasarkan laporan Survei Avifauna (2011-2012), setelah Wallace, banyak peneliti burung dari Eropa terus berdatangan ke Halmahera pada era 1860-1880-an, seperti L.D.W.A Renesse, van Duivenbode (1860-1881), H.A. Berstein (1860-1864), C.B.H van Rosenberg (1860-1870), S.C.J.W van Musschenbroek (1874-1885), J. Murray (1874-1876), C.Husker (1874-1876), dan CC Platen (1878-1894). Pada akhir abad-19, tercatat kedatangan W. Kukenthal (1894 dan J. Waterstradt (1896-1902).
Selain bidadari halmahera, di dalam TNAL juga dapat dijumpai jenis burung endemik lain seperti kakatua putih (Cacatua alba), kasturi ternate (Lorius garrulus), paok halmahera (Pitta maxima), julang irian (Aceros plicatus). Juga gosong kelam (Megapodius freycinet), pergam (Ducula spp.), walik (Ptilinopus spp.) dan lainmya.
Dari zaman Wallace hingga saat ini, alam liar Halmahera masih terjaga, apalagi setelah pemerintah menunjuk kawasan hutan ini menjadi taman nasional pada tahun 2004, yang lalu ditetapkan pada tahun 2010 untuk blok Lolobata (90.200 hektar) dan tahun 2014 untuk blok Aketajawe (77.100 hektar).
Cara Menuju Aketajawe Lolobata
Untuk dapat melihat keindahan satwa di Aketajawe-Lolobata, hal pertama yang perlu Anda lakukan adalah mengurus izin masuk di Kantor Balai TNAL di Sofifi. Disarankan sebelum masuk kawasan, Anda membawa makanan dan perlengkapan standar perjalanan alam bebas, seperti senter, topi dan lotion anti nyamuk. Jangan lupa pula untuk membawa alat perlengkapan P3K.
Karena perjalanan pun akan melewati beberapa arus sungai, disarankan Anda untuk membawa perlengkapan baju ganti.
Dari Sofifi jalan darat dapat ditempuh dengan kendaran roda empat menuju kantor Suaka Paruh Bengkok TNAL yang ada di Desa Koli, Kecamatan Oba Utara, Kota Tidore. Perjalanan ditempuh dalam waktu sekitar 2 jam dengan jalan beraspal mulus.
Selanjutnya, dari sini perjalanan berlanjut dengan berkendaraan roda dua sekitar 30 menit perjalanan. Jalan yang tidak beraspal, agak rusak dan licin pada saat hujan. Tujuan dari perjalanan ini adalah kantor resor Tayawi, bangunan tingkat dua yang berdiri sejak tahun 2013, yang terletak di tengah pemukiman masyarakat asli, suku Tobelo Dalam.
Memang di dalam TNAL, masih tinggal kelompok-kelompok suku yang hidup berkelana. Kecuali yang sudah membuat permukiman di sekitar hutan, mereka yang masih hidup di dalam hutan, umunya hidup dalam gaya hidup yang amat sederhana.
Pengunjung yang ingin melihat burung biasanya bermalam di resor ini, sebelum dini hari berjalan kaki ke hutan. Jamal, guide kami, berkali-kali mengingatkan agar kami cepat tidur.
Menurutnya beberapa kali rombongan tamu yang dia pandu tidak bertemu dengan bidadari halmahera akibat lalai pada waktu.
“Idealnya berangkat pukul 04.30 pagi,” jelasnya. Selain Jamal, Sukardi staf Balai TNAL dan Elly, seorang warga Tobelo Dalam turut mendampingi kami.
Dibutuhkan waktu sekitar satu jam lebih menuju lokasi pemantauan burung, dengan tiga kali mengarungi arus sungai yang deras. Pada saat melewati sungai, di atas kepala melintas sesosok burung julang dengan suara kepakan sayapnya yang khas.
Jika Anda adalah orang baru yang menyebrangi sungai, sebaiknya mengikut arahan pemandu. Mereka mengusai medan, dapat mengetahui mana arus sungai dangkal yang mudah dilewati. Sehingga Anda tidak terbawa arus atau terbentur bebatuan.
Sekitar sejam perjalanan, rombongan kami tiba di camp bivak, sebuah lokasi perkemahan yang berada di tepi sungai. Dari lokasi ini sekitar satu kilometer perjalanan dilanjutkan dengan arah menanjak bukit.
Masuk ke arah hutan, suara burung bidadari halmahera mulai terdengar samar-samar. Suara semakin nyaring saat kami melewati tanjakan bukit. Beberapa tali terlilit berjejer di badan pohon besar sebagai penanda menuju rumah pohon.
Di lokasi pemantauan, pihak TNAL telah membangun platform rumah pohon setinggi kurang lebih duapuluh meter yang dibangun pada batang sebuah pohon. Di ketinggian tajuk, pengunjung dapat leluasa mengamati fauna dari ketinggian. Untuk naik ke platform telah disediakan semacam tangga terbuat dari sling besi, beranak tangga kayu keras.
Beberapa saat menunggu di platform, benarlah tampak bidadari jantan dewasa di depan mata, sejarak sekitar 10 meter. Ia meloncat lincah dari ranting ke ranting, sembari mengepak-kepakan sayapnya yang indah. Ia menari-nari merayu betinanya. Sesekali-sesekali bersuara nyaring.
Sayangnya adegan itu tidak terabadikan dengan baik oleh kamera, karena beberapa kali terhalang dedaunan. Namun ucapan Jamal cukup menghibur.
“Kalian cukup beruntung, beberapa rombongan peneliti pernah menginap hingga dua hari di sini, satu bidadari halmahera pun mereka tidak sempat melihatnya,” jelasnya.
Pertunjukan itu pun selesai sekitar pukul 8 pagi. Bidadari pun terbang jauh masuk ke dalam hutan. Saya pun merasa berpuas hati karena dapat melihat pemandangan langka yang spektakuler itu. Suatu saat nanti, saya akan kembali ke Aketajawe-Lolobata, untuk menikmati kekayaan alamnya yang lain.
Foto utama: Burung bidadari halmahera. Foto: Taman Nasional Aketajawe Lolobata
Video perjalanan di TN Aketajawe-Lolobata