Pagi itu, Kamis (15/3/2018), Milawati membuka warung makannya. Aroma semur jengkol yang tercium hidung, sungguh menggugah selera untuk segera menyantapnya.
“Sabar ya bang baru buka, belum pada matang. Nasi juga belum tanak,” kata wanita 43 tahun, warga Kelurahan Pulau Pramuka, wilayah administrasi Kabupaten Kepulauan Seribu.
“Saya pesan teh manis dulu,” tutur saya sembari menunggu.
Sejak ditetapkan dalam wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu pada 2001, Pulau Pramuka memang menunjukkan perkembangan. Indikatornya adalah bertambahnya penduduk dan kunjungan wisatawan. Kondisi yang ternyata berdampak juga pada meningkatnya kebutuhan air bersih, meski karakterstik Pulau Pramuka adalah pulau kecil yang luasnya 16 hektar.
“Ini minumnya,” ucap Mila memberikan segelas teh hangat.
“Bu, kalau di sini airnya payau?” tanya saya lagi.
“Kalau sekarang, karena banyak penduduk sudah mulai payau, dulu sih air di sini bagus,” sahutnya.
“Di sini, dulunya hutan masih cukup luas, sekarang kalah luas dengan permukiman,” sahut seorang bapak yang ternyata mendengar perbincangan kami.
“Coba tanya ke Abah Iran. Mungkin, dia tahu kondisi Pulau pramuka sedari awal,” kata dia melanjutkan.
Pulau Pramuka memang memiliki hutan konservasi dibawah naungan Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS). Pendekatan ekosistem pada penataan ruang tampaknya memang harus dilakukan untuk merapikan kembali kawasan ini.
Baca: Pulau Pramuka, Bukan Objek Wisata Menyelam Semata

Lepas sarapan, saya menuju rumah Abah Iran. Hampir sepanjang jalan, tampak permukiman masyarakat yang padat, tak ada lahan kosong tersisa. Rumah-rumah kaya berbahan beton berdiri, berbaur dengan home stay.
Sairan-yang akrab dipanggil Abah Iran menerima saya di kediamannya. Perlengkapan diving dan snorkeling bergantungan di halaman rumahnya. Pria 57 tahun itu memang sering menerima dan mendampingi tamu yang hendak berwisata, atau melakukan penelitan.
“Banyak juga peneliti datang ke sini. Tujuannya ada yang riset terumbu karang atau mengamati keadaan lingkungan,” ujarnya seperti sudah tahu maksud kedatangan saya.

Iran pindah dari Pulau Tidung ke Pulau Pramuka sejak 1970-an. Alasannya sederhana, pulau tersebut sudah terlalu padat untuk ditempati “Saya termasuk orang yang awal tinggal di sini, sebelum ramai seperti sekarang.”
Bertahun kemudian, Pulau Pramuka mengalami perubahan drastis. Penduduk bertambah, seiring digalakkannya pariwisata. “Pada dasarnya, kondisi sekarang sedikit banyak telah merubah lingkungan,” kata dia.

Adapun keseluruhan kebutuhan masyarakat, terutama bahan pokok, didatangkan dari luar pulau. Sehingga, tak usah heran bila harga lebih mahal. Sebab, di Pulau Pramuka tidak ada lahan garapan untuk mengembangkan pertanian.
“Diharapkan ada penataan oleh pemerintahan Pulau Pramuka. Bagaimana pun tanggung jawab itu ada pada regulasinya,” tutur Iran.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2001, total luas Kepulauan Seribu meliputi daratan (897.71 hektar) dan perairannya (6.997,50 kilometer persegi). Pulau Pramuka adalah salah satu gugusan Kepulauan Seribu yang merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.

Ancaman laut
Perairan Pulau Pramuka merupa penampung beban limbah dari 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Situasi ini, berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat yang menggantungkan hidup dari laut, baik sebagai nelayan maupun pekerja wisata.
Markudi (40), nelayan setempat mengeluhkan hal ini. Tak jarang hasil sekali melaut yang didapat hanya untuk mengganti modal saja, belum cukup untuk memenuhi tuntutan ekonomi keluarga.
“Penghasilan dari nelayan sekarang susah. Salah satunya, saya menjadi pemandu wisata, tetapi musiman,” tuturnya.

Ketika ditanya perihal terumbu karang, dia menyebut sebagian besar memang sudah dalam kondisi rusak. Kerusakan yang disebabkan banyak faktor seperti penangkapan ikan dan wisata itu sendiri. Terlebih, ada masyarakat yang menjadikan terumbu karang sebagai bahan podasi bangunan.
“Faktor lainnya adalah penggunaan racun sianida dan pemboman pernah dilakukan nelayan,” ucapnya.

Berdasarkan kajian yayasan yang fokus pada terumbu karang Terangi 2009, di Kepulauan Seribu, fenomena pemutihan karang massal baru terjadi dua kali dalam kurun waktu tiga dekade terakhir, yaitu 1983 dan 1998. Meski terhitung sedikit, dampak fenomena ini memang cukup signifikan yaitu kematian karang dominan di seluruh terumbu Kepulauan Seribu.
Terkait kondisi tersebut, Agus Setiawan (47), Polisi Hutan Taman Nasional Kepulauan Seribu, mengatakan, upaya konservasi terumbu karang sudah sering dilakukan berjangka, melalui program tranplantasi karang sejak 2010. “Namun, keberhasilannya, belum terlihat karena berbagai faktor termasuk ego sektoral di tiap instansi.”
Sehingga, pemanfaatan zonasi masih tumpang tindih. “Padahal daya dukung lingkungan di Pramuka saja, sudah melebihi kapasitas,” tandasnya.