Di balik selebrasi Earth Hour yang mulai dilakukan di Indonesia sejak 2009, ada cerita-cerita menarik dari sejumlah relawan anak mudanya yang mencoba membuat aksi mitigasi dampak perubahan iklim yang menjadi kampanye gerakan ini. Salah satunya dari Bali.
Luh De Dwi Jayanthi dan Ni Putu Wulan Romianingsih mengingat pengalaman penting mencoba menghijaukan kawasan mangrove di pesisir Teluk Benoa, Badung. Mereka menyebut selama 2015-2017 menanam 4500 bibit dan merawatnya tiap pekan dalam inisiatif yang dinamakan Mangrove For Love. “Karena diluncurkan saat valentine,” ujar Dwi.
Pemantauan terakhir yang dilakukan, hanya tersisa sekitar 1% atau 40-an bibit yang bisa tumbuh mulai kuat sekarang. Ia mengaku kecewa karena ia dan belasan rekannya mencurahkan waktu dan tenaga mencoba merawatnya. Penyebab utama kematian mangrove baru ini adalah sampah. Area ini memang jadi muara sejumlah sungai yang melintasi perkotaan dan kawasan padat pariwisata Kuta.
baca : Beginilah Semangat Anak Muda Bali Merawat Bakau
“Kami sudah kerja keras dan menanam mangrove susah. Faktor utamanya manusia karena sampah dan dan secara alami dimakan akarnya kerang kecil juga alga,” paparnya. Saat bibit belum tumbuh sempurna, akarnya kurang kokoh namun sudah terselimut aneka jenis sampah yang masih lolos walau kelompok nelayan sudah memasang jaring perangkap sampah.
Dwi dan Wulan berefleksi, kenapa orang lain begitu mudah menebang hutan mangrove padahal sangat sulit menumbuhkannya. Pengalaman kedua perempuan muda dan anggota komunitas Mangrove for Love di Bali ini menguatkan kembali hasil sejumlah pemantauan jika sangat sedikit bibit mangrove yang berhasil tumbuh besar, seperti kehidupan tukik di lautan.
Selain itu gerakan pelestarian lingkungan tak bisa sendiri, pemerintah desa dan daerah harus ikut mendukung dengan sarana dan fasilitas lain terlebih kegiatan di hilir yang tergantung pula pada kondisi di hulu. “Dari hulu harusnya tak ada sampah, pas piket, wuih, segala macam sampah jorok ada di mangrove,” ingat Wulan saat bekerjasama dengan kelompok nelayan Kampung Kepiting di sana.
baca : Mangrove Camplung yang Meneduhkan Pantai Samuh
Keduanya dipilih menjadi duta atau Earth Hour Champion Bali karena sudah terlibat sejak 2013 dan menggerakan sebuah inisiatif penting untuk merintis penyadaran perubahan perilaku. Duta EH Champion ini dilakukan agar ada yang aktif bergerak dan melakukan kampanye online dan offline. “EH champion bukan beauty pageant, kami mengampanyekan ke anak muda melalui aksi kecil dan nyata, dalam keseharian beri contoh aksi,” imbuh Wulan.
Mulai tahun ini topik EH yang digaungkan adalah #Connect2Earth dengan melakukan kegiatan konservasi untuk menyelamatkan habitat mangrove dan terumbu karang. Komunitas Earth Hour Bali menyebut telah melakukan upaya transplantasi karang dan bersih bawah laut di Bali yaitu Tanjung Kotal, Pantai Pandawa, Pantai Tulamben, Pantai Les, Pantai Labuan Amuk, dan tahun ini akan dilaksanakan di Pantai Penuktukan.
Selebrasi mematikan listrik atau Switch Off 2018, komunitas Earth Hour Indonesia mengajak individu, komunitas, media massa, praktisi bisnis, dan pemerintah untuk turut serta mematikan lampu dan peralatan elektronik yang tidak sedang dipakai selama satu jam sebagai simbol kepedulian dan komitmen untuk penurunan laju perubahan iklim.
baca : Pesan Hijau dari Gelora Bung Karno, Apakah Itu?
Sutan Tantowi, Koordinator Earth Hour Bali menyebut tagline connect to earth adalah bagian dari gaya hidup sehari-hari yang lebih ramah lingkungan. Switch Off Earth Hour 2018 diselenggarakan serentak di sejumlah kota di Indonesia pada Sabtu (24/3/2018) pukul 20.30-21.30 waktu setempat. Di Bali, aksi ini difokuskan di Beachwalk Mall Kuta.
Partisipan Earth Hour di Bali pada tahun 2018 adalah 1 bandara, 3 mall, dan 15 hotel. Lokasi yang akan berpatisipasi adalah Monumen Bom Bali di Legian dan Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai. Kemudian untuk hotel ada Montigo Resorts, Seminyak, Swiss-Belhotel Rainforest, Aston Denpasar Hotel & Convention Center, Mercure Sanur Bali, The Stones Hotel Bali, The St. Regis Bali Resort, The Laguna, a Luxury Collection Resort & Spa, Nusa Dua, The Westin Resort Nusa Dua, Hard Rock Hotel Bali, Sheraton Bali Kuta Resort, Le Méridien Bali Jimbaran: Jimbaran Luxury Hotel, W Hotel Bali Seminyak, The Colony Hotel Bali, Boutique Hotel Seminyak, Discovery Kartika Plaza Hotel – Kuta, Bali Paragon Resort Hotel-Jimbaran. Sedangkan mall adalah Beachwalk Mall Kuta, Lippo Mall Kuta, Discovery Shopping Mall Kartika Bali.
Tidak keseluruhan jaringan listrik di tempat itu akan mati total selama satu jam. Misalnya saja Bandara Ngurah Rai, menurut Sutan yang akan dimatikan adalah parkir dan ruang yang tidak terlalu darurat dan terkait langsung dengan penerbangan.
baca : Kampanye Earth Hour 2015 Makin Meluas, Tapi Makin Kehilangan Substansinya. Kenapa?
Demikian juga mall. Marketing Beachwalk Diesy Udayani menyebut dari 200 tenant atau brand yang berjualan di mall yang berlokasi di pinggir pantai Kuta ini sekitar 50% yang sudah komitmen ikut switch-off selama satu jam. “Kami tak bisa memaksa, ini imbauan tapi bisa jadi bertambah nanti,” ujarnya. Selain itu yang akan dimatikan adalah ruang bersama dan iklan neon box.
Dari kampanye switch-off tahun 2017, Sutan menyebut ada 80 MW listrik yang dihemat dan tahun ini bisa jadi lebih besar karena lebih banyak pihak yang terlibat. Untuk menghindari selebrasi yang menghabiskan banyak energi, ia menyebut selebrasi diisi hiburan akustik dan kampanye di jalanan.
Earth Hour adalah kampanye global yang diinisiasi oleh WWF sejak tahun 2007 di Sydney, Australia. Tahun 2009, Earth Hour dimulai di Indonesia, dan dalam sepuluh tahun mencatat sedikitnya 67 kota berpartisipasi. Momen Earth Hour menajdi gerakan Komunitas Earth Hour di 31 kota di Indonesia salah satunya Earth Hour Bali.
Tantangan global
Imam Musthofa Zainudin, Sunda Banda Seascape and Fisheries Leader WWF-Indonesia mengingatkan kembali sejumlah tantangan lingkungan global. Karena itu ia senang Earth Hour bertransformasi jadi komunitas yang akan mencontohkan inisiatif-inisiatif perubahan perilaku untuk memperpanjang nafas planet bumi.
WWF bersama IUCN dan CIFOR tiap 2 tahun buat indeks kesehatan bumi seperti terangkum dalam oceanpanda.org/#report dan dalam laporan terakhir degradasi habitat dan keanekaragaman hayati makin memprihatinkan. Di sektor kelautan dan perikanan secara global ikan di hotel dan laut status tereksploitasi 61%. “Sudah habis separuhnya. Artinya bahan makan berkurang, tanya saja nelayan. Harga ikan makin mahal karena susah cari ikan sehingga biaya operasional tinggi,” urai Imam.
Spesies laut yang sudah hilang 39% sehingga rantai makanan tak seimbang. Selain itu terumbu karang yang jadi rumah laut dan biomassa terbesar ini hilang 50%. Air laut tak bisa dibendung saling terhubung. Pada 2050 temperatur permukaan air laut meningkat tajam, terumbu bisa hilang karena berkorelasi dengan alga yang beri warna dan hidupi karang.
Habitat laut juga makin rusak, di antaranya 30% lamun rusak, dan mangrove 35%. “Mangrove di Indonesia tinggal 40% saja dalam 3 dekade terutama karena budidaya tambak, rusak 52 ribu hektar sekira luas kota New York, tiap 18 bulan hilang,” paparnya.
Laporan ini juga mendaftar 10 negara penyampah laut, Indonesia disebut nomor 2 setelah China. Imam mengingatkan dalam penelitian terbaru satu botol plastik baru bisa hancur 480 tahun. Sementara yang biodegradeable juga bahaya karena hancur jadi kecil tapi tak hilang seperti mikroplastik. Bisa dimakan ikan. Penelitian terakhir menyebut sejumlah merk air mineral mengandung mikroplastik. World Economic Forum memperkirakan pada 2050 akan lebih banyak plastik dibanding ikan di laut.
Solusinya adalah mengenal jejak karbon, apa yang kita makan dan lakukan dalam keseharian misal menggunakan transportasi publik dibanding kendaraan pribadi. Memilih seafood yang baik, yang masih melimpah di laut. Demikian juga menghitung kebutuhan pribadi di konsumsi energi, air, dan lainnya.
“Alam bisa menyembuhkan dirinya, kecuali tekanan begitu besar. Perubahan perilaku tak bisa terjadi semalam,” ingat Imam.