Eksploitasi hiu dan pari masih terus terjadi di Indonesia hingga saat ini. Praktik tersebut biasa dilakukan di kawasan potensial yang menjadi tempat pelepasan anakan hiu atau biasa disebut sebagai nursery ground. Lokasi yang menjadi favorit itu, biasanya ada di kawasan terumbu karang, perairan pantai yang dangkal, dan wilayah estuari yang biasanya menjadi tempat mencari makan (feeding ground) bagi biota laut.
Kepala Badan Riset dan Sumber Daya dan Manusia Perikanan dan Kelautan (BRSDM) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) M Zulficar Mochtar di Jakarta, Rabu (28/3/2018) mengatakan, praktik eksploitasi yang masih terus ada di seluruh Indonesia, semakin mengancam populasi hiu dan pari dengan proses yang sangat cepat. Padahal untuk memulihkan kembali populasi, diperlukan waktu sangat lama.
Zulficar menjelaskan, eksploitasi hiu dan pari di Indonesia biasanya dilakukan dengan menangkap biota laut tersebut yang sudah masuk dalam daftar Apendiks II Convention on International Trade of Endangered species (CITES). Kelompok yang masuk dalam daftar Apendiks II, biasanya adalah hewan yang akan terancam punah jika perdagangannnya tidak dikontrol.
baca : Diantara Pasar dan Jaminan Kebijakan: Mencermati Ancaman Eksistensi Hiu dan Pari di Indonesia
“Karakteristik biologi ikan hiu dan pari (elasmobranchii) memiliki laju reproduksi relatif rendah, usia matang seksual lama dan pertumbuhannya yang lambat,” ungkapnya disela Simposium Nasional Hiu dan Pari di Indonesia Ke-2 yang bertema “Menuju Pengelolaan Hiu dan Pari Secara Berkelanjutan Berbasis Ilmiah”.
Menurut Zulficar, pendekatan pengelolaan yang lestari merupakan pilihan yang direkomendasikan untuk menjaga populasi hiu dan pari. Cara yang dipilih, adalah dengan melakukan upaya konservasi dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya sehingga dapat memberikan manfaat secara berkesinambungan.
Upaya untuk mengendalikan populasi terus dilakukan, karena praktik perdagangan biota laut tersebut terbilang besar. Pada 2017, KKP mencatat bahwa hiu menjadi salah satu produk perikanan yang menyumbang nilai ekspor cukup tinggi dengan total Rp1,4 triliun.
baca : Kabupaten Berau Buat Petisi Larangan Penangkapan Segala Jenis Hiu. Begini Permasalahannya
Biasanya, hiu-hiu yang diperdagangkan melalui jalur ekspor, adalah dalam bentuk daging, sirip dan tulang, serta hiu dalam kondisi hidup. Produk-produk tersebut, selalu laris manis dijual di negara tujuan seperti Tiongkok yang selama ini selalu menjadi negara utama tujuan ekspor. Pada 2017, Tiongkok menyumbang nilai ekspor hiu hingga Rp626 miliar.
Sementara, untuk ekspor hiu hidup, pada 2017 Indonesia menasbihkan Hong Kong sebagai negara tujuan dengan pengiriman terbanyak hingga 1.098 ekor. Hiu-hiu yang dikirim itu, menurut KKP, adalah hiu yang masuk kategori Appendix II atau boleh diperdagangkan tetapi harus mendapat pantauan ketat. Sedangkan, untuk hiu jenis martil dan koboi, hingga saat ini sudah dilarang resmi diperjualbelikan di Indonesia.
Tentang simposium yang dilaksanakan di Jakarta, Zulficar Mochtar menjelaskan, itu adalah medium untuk mengumpulkan data dan informasi di berbagai lembaga penelitian dan pengembangan milik Pemerintah maupun swasta. Setelah itu, memberikan rekomendasi dan kebijakan pengelolaan terhadap jenis-jenis ikan hiu yang perlu untuk dilindungi.
“Terutama hiu yang masuk dalam Appendix Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), Regional Fisheries Management Organisations (RFMOs) dan daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN). Hasil analisis data diharapkan dapat menghasilkan bahan rekomendasi kebijakan pengelolaan hiu dan pari secara berkelanjutan berbasis ilmiah,” ucapnya.
Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Brahmantya Satyamurti Poerwadi pada 2017 pernah mengatakan, kuota hiu yang boleh ditangkap setiap tahun jumlahnya sekitar 400-an ekor. Sementara, hiu-hiu yang boleh ditangkap itu berasal dari 114 jenis hiu yang ada di Indonesia. Sementara, dua hiu yang tidak boleh ditangkap adalah hiu martil dan hiu koboi.
baca : Mengintip Jual Beli Sirip Hiu di Biak
Pengelolaan Berkelanjutan
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang membuka simposium, mengungkapkan, saat ini ikan hiu semakin banyak diperdagangkan karena dinilai sebagai komoditas yang memiliki nilai jual tinggi. Dengan penilaian itu, hiu kemudian banyak ditangkap dan diperjualbelikan, baik di dalam maupun luar negeri.
“Waktu masih kecil dulu di Pangandaran (Jawa Barat), saya masih ingat, jika ikan hiu bintang (hiu paus) sudah datang, berarti itu penanda kalau musim ikan sudah tiba. Jika sudah datang biota laut tersebut, nelayan langsung bersuka cita dan bersiap untuk panen,” ungkapnya.
Agar praktik penangkapan dan perdagangan hiu dan pari bisa dikendalikan, Susi menyebut, pengelolaan secara berkelanjutan berbasis ilmiah harus diterapkan tanpa toleransi. Hal itu dilakukan, untuk mengatasi aktivitas eksploitasi sumber daya laut yang berlebihan di Nusantara.
“Akibat eksploitasi, hiu dari hari ke hari semakin susah untuk ditemukan oleh nelayan. Akibatnya, nelayan menjadi semakin sulit untuk menetapkan kapan waktu yang tepat untuk menangkap ikan dalam jumlah banyak. Panen juga menjadi tak menentu,” tuturnya.
baca : Begini Cara Mengubah Nasib Penyu dan Hiu dari Jebakan Bycatch
Pernyataan dari Susi Pudjiastuti itu kemudian dipertajam oleh Kepala Pusat Riset Perikanan KKP Toni Ruchimat. Menurut dia, praktik penangkapan ikan hiu yang yang masif di sejumlah lokasi, bisa merugikan jumlah keanekaragaman hayati laut di Indonesia.
Sementara, Zulficar Mochtar menambahkan, praktik eksploitasi hiu dan pari di Indonesia, biasanya dilakukan oleh nelayan melalui praktik penangkapan yang tidak disengaja atau by catch. Tetapi, kemudian, karena ternyata permintaan terhadap biota laut tersebut terus ada dan meningkat jumlahnya, nelayan melihat itu sebagai peluang emas.
“Padahal, hiu sangat bermanfaat untuk menjamin satu ekosistem yang sangat strategis. Selain itu, dibandingkan dengan menjual dagingnya, hiu dan pari bernilai ekonomi tinggi jika dijadikan sebagai objek wisata dan konservasi,” tegasnya.
Lembaga konservasi Wildlife Conservatory Society-Indonesia Programme (WCS-IP) menilai, aktivitas penangkapan sumber daya laut seperti hiu dan pari hingga detik ini memang masih sulit dihentikan di hampir semua pulau di Indonesia. Selain faktor keuntungan, praktik itu bisa bertahan karena berkaitan dengan budaya turun temurun yang sudah ada di sejumlah suku di Tanah Air.
baca : Beragam Hiu Ini Masih Banyak Dijual di Pasar Tradisional Sumut
Koordinator Hiu dan Pari WCS Efin Muttaqin mengatakan, aktivitas yang sudah mendarah daging di berbagai suku, menjadi fakta yang tidak bisa dihilangkan di Indonesia. Dalam budaya di sejumlah suku, ikan hiu dan pari dinilai sebagai bagian penting dan menjadi bukti eksistensi kebudayaan mereka.
Tetapi, menurut Efin, selain ada budaya dalam kehidupan suku, aktivitas penangkapan hiu dan pari juga sudah ada di dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena didasari kebutuhan untuk konsumsi. Fakta tersebut, membuat aktivitas penangkapan dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan dan perluasan wilayah perairan.
“Yang lebih memprihatinkan, aktivitas yang dilakukan masyarakat itu dilakukan karena didorong permintaan pasar yang tidak lain adalah masyarakat sendiri. Jadi, pengusaha menangkap dan masyarakat mengonsumsinya,” ucapnya.
baca : Ada Mitos Sirip Hiu dalam Perayaan Imlek, Seperti Apa Itu?
Masyarakat
Sebagai konsumen yang menjadi hilir dari pemasaran hiu dan pari, Efin menyebut, masih banyak yang tidak menyadari bahwa dalam keseharian mereka sudah biasa mengonsumsi produk yang berasal dari daging hiu dan pari. Fakta tersebut, menegaskan bahwa masyarakat di Indonesia belum terbiasa untuk melakukan prinsip ketelusuran sebuah produk.
“Padahal, kalau saja masyarakat kritis, maka produk apapun bisa ditelusuri dengan jelas. Jika tidak bisa, maka jangan konsumsi saja. Prinsip seperti itu yang belum ada di dalam pola pikir masyarakat Indonesia,” ungkapnya.
baca : Masyarakat Harus Jadi Aktor Utama Kendalikan Eksploitasi Hiu dan Pari
Dengan jumlah penduduk yang banyak, masyarakat Indonesia berperan sangat penting untuk mengendalikan populasi biota laut seperti hiu dan pari. Peran yang bisa diambil, kata Efin, adalah melalui penerapan prinsip ketelusuran untuk setiap produk yang berasal dari laut. Jika memang tidak bisa melakukannya, maka masyarakat cukup menolak untuk mengonsumsinya.
“Untuk menghentikan penangkapan hiu dan pari yang dilakukan nelayan dan pengusaha, cukup dengan tidak membelinya saja di pasaran. Jika permintaan tidak ada, maka otomatis penangkapan juga akan tidak ada. Untuk itu, peran masyarakat di sini sangat penting,” tegasnya.
Fakta yang lebih memprihatinkan juga terungkap bahwa Indonesia tak hanya berperan menjadi negara eksportir untuk produk olahan dari hiu ataupun pari. Akan tetapi, Indonesia juga berperan sebagai negara importir untuk produk serupa.
Dengan fakta seperti itu, Efin menjelaskan, lagi-lagi pangsa pasar produk olahan dari hiu dan pari masih sangat besar di Indonesia. Karenanya, walau mampu mengekspor dalam jumlah yang besar, tetapi di saat bersamaan juga Indonesia mampu mengimpor produk yang sama dalam jumlah tak sedikit.