Faktor cuaca menjadi parameter kesuksesan Pemerintah Indonesia dalam membangun keramba jaring apung (KJA) lepas pantai (off shore) pertama di Tanah Air. Sejak dipublikasikan pada akhir 2016, pembangunan KJA off shore berjalan sangat lambat. Padahal, pembangunan tersebut dijadwalkan sudah bisa beroperasi pada 2017 lalu.
Untuk pembangunan keramba terapung di tengah perairan lepas itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memilih tiga lokasi di tiga provinsi berbeda, yaitu perairan Kabupaten Pangandaran (Jawa Barat), perairan Karimun Jawa, Kabupaten Jepara (Jawa Tengah), dan perairan Sabang, Kota Sabang (Aceh).
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP Slamet Soebjakto menyebutkan, dari ketiga lokasi yang sedang dibangun KJA off shore, baru Pangandaran saja yang pembangunannya memperlihatkan proses yang cukup cepat. Di kabupaten yang menghadap langsung ke Samudera Hindia itu, pembangunan sekarang sudah mencapai 97 persen lebih.
baca : Perikanan Indonesia Adopsi Teknologi Budidaya Canggih dari Norwegia, Seperti Apa?
Faktor penyebab lambatnya pembangunan, menurut Slamet, adalah karena cuaca yang tidak menentu. Sementara, pemasangan alat dan perangkat KJA lepas pantai yang dilakukan langsung oleh tenaga ahli dari Norwegia, sangat bergantung pada cuaca yang bagus dan gelombang laut yang stabil. Kondisi seperti itu yang mengakibatkan pembangunan menjadi terhambat.
“Jika cuaca bagus, ya pembangunan bisa cepat. Tapi sekarang sudah hampir rampung,” ungkapnya pekan lalu.
Slamet menjelaskan, untuk setiap lokasi KJA lepas pantai yang dibangun, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) membangun 8 unit lubang KJA dengan diameter 25,5 meter dan kedalaman 15 meter. Di lokasi tersebut, juga dilengkapi dengan kapal kerja, kapal operasional dan feedbarge yang berfungsi menjadi pusat kontrol kegiatan KJA.
“Mulai dari penebaran benih, pakan, komunikasi, akomodasi, gudang pakan hingga pembangkit listrik, semua dipantau dari pusat kontrol,” ungkapnya.
Untuk setiap keramba yang dibangun di lepas pantai, akan ditebar bibit ikan kakap putih atau barramundi dengan jumlah antara 120 hingga 150 ribu ekor. Dengan bibit sebanyak itu, setiap keramba diproyeksikan mampu memanen ikan hingga 118 ton atau mencapai 945 ton untuk setiap lokasi KJA lepas pantai.
baca : Reaktivasi Keramba Jaring Apung Non Aktif Dimulai Tahun Ini, Bagaimana Strateginya?
Jika dijumlahkan keseluruhan tiga KJA yang akan beroperasi, Slamet mengatakan, produksi ikan kakap putih bisa mencapai 2.835 ton dengan nilai ekonomi mencapai Rp181 miliar. Proyeksi tersebut didapat, dari pemeliharaan di keramba yang waktunya minimal mencapai delapan bulan untuk bisa mendapatkan minimal ukuran 600 gram.
Dengan proyeksi seperti itu, Slamet menambahkan, proyek KJA lepas pantai bisa menyerap tenaga kerja hingga 1.450 orang. Semua pekerja itu terlibat sejak dari proses pembangunan, pengolahan, hingga pemasaran produk yang dihasilkan dengan melibatkan badan usaha milik negara (BUMN), koperasi, hingga elemen masyarakat.
“Pilot project bisnis budidaya kakap ini harus sukses,” jelasnya.
baca : Terapkan Perikanan Berkelanjutan, Waduk Jatiluhur Bersihkan Praktik Keramba Jaring Apung
Tebar Benih
Khusus di Pangandaran, pada tahap awal pengelolaan KJA lepas pantai akan melibatkan 5 tenaga ahli dan terampil dari balai budidaya KKP dari seluruh Indonesia. Setelah itu, pengelolaan akan dikerjasamakan dengan melibatkan koperasi unit desa (KUD), BUMD, dan masyarakat lokal.
Dengan kesiapan seperti itu, Slamet menyebutkan, pihaknya menjadwalkan tebar benih dilaksanakan pada pekan ketiga April 2018. Waktu tersebut dipilih, karena saat ini KJA lepas pantai di Pangandaran masih harus menyelesaikan tahapan paling penting dan terakhir, yaitu pemasangan jaring.
“Ini akan menjadi yang pertama di Indonesia,” tegasnya.
Untuk memenuhi kebutuhan benih ikan kakap putih, Direktur Perbenihan KKP Coco Cokarkin menjelaskan, KKP melaksanakan pendederan kakap putih pada lahan tambak di Desa Margacinta, Kecamatan Cijulang. Proses tersebut diharapkan bisa berjalan selama empat bulan dengan berat minimal mencapai 100 gram. Cara tersebut, diharapkan bisa menjadi contoh dan tempat berlatih bagi masyarakat sekitar lokasi KJA dan investor nasional maupun internasional.
Coco menjelaskan, pemilihan ikan kakap putih sebagai komoditas yang dikembangkan di KJA lepas pantai, didasarkan pada pertimbangan bahwa Indonesia sudah menguasai teknologi dari mulai proses pembenihan, pendederan, sampai pembesaran. Kemudian, untuk pemasaran juga sudah terbuka hingga ke Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Tiongkok, dan negara lainnya.
“Tak lupa, ikan kakap putih bisa diolah dalam bentuk berbagai macam makanan. Itu masuk pertimbangan kenapa ikan kakap putih dipilih di KJA off shore,” tandasnya.
baca : Ketika Keramba Apung Redupkan Pesona Danau Maninjau
Selain KJA lepas pantai, KKP pada saat bersamaan juga membangun pabrik pakan skala medium dan embung. Pembangunan pabrik pakan, untuk mendukung operasional KJA lepas pantai dan sekaligus kegiatan budidaya lain di Pangandaran dan sekitarnya. Untuk pabrik pakan yang dibangun di lahan seluas 5.000 meter persegi, ditargetkan produksi bisa mencapai 1 ton pakan/jam.
“Bahan bakunya sebagian dari tepung ikan lokal dan bahan baku lain yang tersedia di sekitar Pangandaran,” tandasnya.
Untuk menyiasati biaya produksi, Slamet menambahkan, bahan bakau tepung ikan akan dilakukan diversifikasi produk. Hal itu untuk mengurangi ketergantungan tepung ikan yang hingga saat ini mayoritas masih didatangkan dari negara lain alias impor. Untuk diversifikasi produk, ke depannya KKP akan memasukkan bahan seperti biji-bijian, fermentasi bungkil kelapa dan kelapa sawit, bekatul, dan tapioka yang masih banyak tersedia.
baca : Misteri Mati Massal Ikan Keramba Danau Batur Akhirnya Terpecahkan
“Pembangunan KJA lepas pantai didanai Rp44 miliar, pabrik pakan sebesar Rp26 miliar, dan pembangunan embung sebesar Rp12 miliar,” jelas Slamet.
Untuk pembangunan embung, Slamet menuturkan, itu berfungsi untuk solusi penanganan banjir dan tsunami di wilayah Pangandaran. Keberadaan bangunan di atas lahan seluas 5 ha tersebut akan mendukung KJA lepas pantai yang memerlukan kondisi air yang stabil. Tak hanya itu, embung juga akan berfungsi sebagai pusat rekreasi baru bagi warga Pangandaran dan sekitarnya.
Tentang pemilihan Pangandaran sebagai salah satu lokasi program prioritas, Slamet menjelaskan bahwa itu didasarkan pada pertimbangan bahwa Pangandaran dinilai punya potensi ganda untuk air payau dan air tawar. Dengan potensi tersebut, maka sangat dimungkinkan untuk menjalankan program perikanan budidaya dan tangkap sekaligus.
“Dari sisi lautnya, itu sangat dimungkinkan untuk KJA (keramba jaring apung) lepas pantai. Kemudian, di sana juga dekat dengan daerah pertanian,” jelasnya.
baca : Sejak 1950, Perikanan Budidaya Indonesia Lambat Berkembang, Kenapa Demikian?
Target 2018
Pembangunan KJA lepas pantai di tiga lokasi berbeda, menjadi bagian dari rencana peningkatan target produksi perikanan budidaya pada 2018. Dari ketiga KJA tersebut, diharapkan bisa menyumbang produksi signfiikan hingga total produksi nasional diharapkan bisa mencapai 24,08 juta ton atau naik naik hampir 3 juta ton dari 2017 yang ditarget mencapai 22,46 juta ton.
Bagi KKP, target tersebut sudah rasional dan diperhitungkan dengan matang. Menurut Slamet Soebjakto, dengan target yang sudah ditetapkan, pihaknya akan bekerja keras melaksanakan program kerja di seluruh Indonesia.
“Tentu saja, didukung oleh anggaran yang besar,” ucapnya.
Anggaran besar yang dimaksud Slamet, adalah anggaran yang dikucurkan dari Pemerintah untuk KKP sebesar Rp7,28 triliun dan Rp944,8 miliar di antaranya dikucurkan untuk Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB). Anggaran yang besarnya hampir Rp1 triliun itu, diakui dia cukup untuk menggeber berbagai program dari Sabang hingga Merauke sepanjang 2018 mendatang.
Dari dana yang didapat tersebut, Slamet menjelaskan, 68 persen di antaranya akan digunakan untuk program yang sifatnya prioritas, 8 persen untuk program pendukung, dan 24 persen untuk program rutin. Untuk progam prioritas yang akan digeber nanti, diantaranya adalah kegiatan perbenihan, produksi dan usaha budidaya, pakan dan obat, serta operasional perkantoran dan dukungan manajemen.
“Untuk target produksi, kita tetapkan 7,91 juta ton ditargetkan berasal dari produksi budidaya perikanan dan 16,17 juta ton dari rumput laut,” tuturnya.
Bersama dengan produk perikanan, rumput laut menjadi komoditas unggulan yang ditargetkan bisa ikut menyumbang produksi perikanan budidaya pada 2018. Dibandingkan 2017, target produksi rumput laut naik menjadi 16,17 juta ton pada 2018 atau meningkat 2,77 juta ton dibandingkan target tahun lalu.
Bagi Slamet, target yang dibebankan itu optimis bisa tercapai pada 2018, meski diyakini akan ada rintangan yang banyak seperti persaingan rumput laut di tingkat dunia yang semakin ketat dan mulai banyak pesaing dari negara lain dan baru.
Ketua Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) Safari Azis mengatakan Indonesia adalah produsen rumput laut besar di dunia dan karenanya harus terus maju walaupun rintangan nanti akan datang silih berganti. Dia menuturkan, dari 100 persen kebutuhan rumput laut kering dunia, 50 persen di antaranya berasal dari ekspor Indonesia.
“Dan, dari 50 persen tersebut, 80 persen di antaranya dikirim ke Tiongkok dan kemudian diekspor ke negara seperti Amerika Serikat dan kelompok Uni Eropa,” pungkasnya.