Siang menjelang, sinar matahari telah menyengat. Suhu udara mulai panas. Sesekali angin bertiup dan membawa bau yang tidak sedap. Begitulah yang terasa di sekitar tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di Desa Kaliori, Kecamatan Kalibagor, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng).
Pada Senin (2/4) lebih dari 200 warga di desa setempat mendatangi TPA Kaliori. Mereka ada yang berjalan dan membawa truk serta mobil pikap. Mobil pikap sengaja diparkir di tengah jalan masuk TPA untuk memblokade truk-truk sampah yang bakal masuk. Sedangkan truk terparkir di pintu gerbang TPA Kaliori. Di atas truk itulah masing-masing warga mengeluarkan “unek-unek”-nya. Satu per satu mereka tampil bagaimana TPA telah membuat pencemaran di lingkungan desanya.
Ketika aksi berlangsung, salah seorang orator, Drajad (46), mengatakan kalau dirinya bersama warga sengaja menggelar aksi karena laporan dan keluhan warga sudah tidak lagi digubris. “Kami sudah berkali-kali melaporkan adanya pencemaran udara dan air. Ternyata sama sekali tidak ada tindak lanjutnya. Makanya, kami datang untuk meminta pertanggungjawaban. Apakah warga sepakat TPA ditutup?” ungkap Drajad.
baca : Banyumas Canangkan Satu PNS, Satu Kg Sampah Plastik dalam Satu Bulan
Ratusan warga yang terdiri dari orang tua dan pemuda baik laki-laki maupun perempuan langsung berteriak bersama-sama. “Sepakat ditutup. Ditutup. Ditutup,” ungkap para demonstran.
Drajad mengungkapkan bahwa aksi yang dilakukannya itu merupakan puncak dari kekecewaan yang dialami oleh penduduk sekitar TPA Kaliori. “Jelas-jelas di sini terjadi pencemaran dari TPA Kaliori. Silakan para pejabat datang ke sini merasakan apa yang kami alami. Bau tidak sedap ke mana-mana. Apalagi, air yang mengalir ke arah bawah warnya coklat dan berbau. Bahkan mencemari sumur dan sawah,” jelasnya.
Supriyanto (51) warga lainnya, mengatakan kalau pencemaran yang terjadi di sekitar TPA sudah cukup parah. “Ini lihat saja, airnya coklat seperti ini. Di sebelah selatan TPA, ada sumur yang sebetulnya digunakan oleh seluruh warga, terutama untuk mencukupi kebutuhan air bersih. Bahkan pada musim kemarau sumur tersebut masih ada airnya. Saat ini, sumur itu sudah tidak dapat digunakan lagi. Airnya tercemar, warnanya coklat dan berbau,” kata Supriyanto sambil menunjukkan air berwarna coklat yang telah dimasukkan ke dalam botol bekas air mineral.
baca : Dulu Bau dan Mencemari, Kini Jadi Kebun Konservasi
Penduduk lainnya, Parno (53), seorang petani penggarap yang berada di sekitar lokasi TPA menuturkan, selama hampir 3 tahun belakangan, sawah tidak bisa ditanami akibat pencemaran yang terjadi. “Sawah yang saya garap berada di bawah TPA Kaliori. Sehingga kalau hujan, airnya masuk ke areal persawahan dan mencemari. Bagaimana padi bisa hidup, air limbah dari sampah langsung masuk ke areal persawahan,” katanya.
Parno menambahkan kalau luasan sawah yang terkena dampak lebih dari 5 hektare. Selama 3 tahun belakangan, para petani yang menggarap areal setempat tidak lagi bisa menanam, apalagi memanen. “Lihat saja, areal dibiarkan seperti itu. Sawah hanya ditumbuhi oleh alang-alang,” ungkapnya.
Petani penggarap lainnya, Slamet (50) menambahkan kalau kerugian yang diderita petani akibat pencemaran air limbah sampah cukup besar. “Kalau dihitung dari sawah yang saya garap, bisa menghasilkan Rp3,5 juta sekali panen. Kalau panen dua kali saja setahun, maka ada Rp7 juta yang hilang. Kalikan saja selama empat tahun, kan sudah Rp21 juta. Inilah kerugian yang kami alami,”ujar Slamet.
Tidak hanya itu, penduduk lainnya, Timin (56) mengaku kalau kulitnya gatal-gatal akibat air yang tercemar tersebut. “Begitu masuk ke dalam kubangan air yang tercemar, saya pastikan akan gatal-gatal. Airnya sama sekali tidak sehat. Inilah yang saya keluhkan. Kalau air tidak tercemar, tentu tidak menimbulkan penyakit gatal-gatal.”
baca : Limbah Pangan Disulap Jadi Energi Terbarukan dan Pupuk Organik
Kepala Desa Kaliori Ofan Sofiyan yang mendampingi warga saat berdemo mengakui keluahan warga cukup banyak di antaranya adalah pencemaran udara dan air. Bahkan, air yang tercemar membuat sawah tidak dapat ditanami dan menimbulkan penyakit gatal-gatal. “Keluhan itu sudah cukup lama, sekitar 3 tahun terakhir sejak penutupan TPA Gunung Tugel yang akhirnya diganti ke TPA Kaliori,” katanya.
Ofan menambahkan selain adanya pencemaran, sesungguhnya TPA Kaliori sudah overload sampah. Bayangkan saja, setiap harinya ada 80 rit yang dibawa oleh truk masuk ke TPA. Masing-masing truk membawa 5 kubik. “Sehingga kalau dihitung, ada 400 ton sampah setiap harinya yang masuk ke TPA Kaliori. Menurut saya, kapasitas TPA sudah tidak mencukupi lagi dan telah overload,” jelas Kades.
Akibatnya, kolam-kolam yang merupakan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di sekitar TPA menjadi tertimbun sampah. “Kolam-kolam IPAL tersebut seharusnya menampung air yang keluar dari tempat penampungan sampah untuk diolah. Sehingga nantinya air yang masuk ke saluran irigasi maupun ke sawah serta ke sungai sudah diolah terlebih dahulu. Faktanya, saat sekarang kolam-kolam IPAL tertimbun sampah. Inilah masalahnya. Karena yang terjadi kemudian adalah air limbah langsung masuk ke saluran air dan sawah,” paparnya.
Ofan mengakui berkali-kali pemerintah daerah sebetulnya telah menjanjikan ganti rugi kepada para penduduk yang terdampak oleh pencemaran tersebut. Hanya saja, tidak hanya itu yang diminta masyarakat. “Yang diminta masyarakat adalah bagaimana dinas terkait dalam hal ini Dinas Lingkungan Hidup (DLH) mengolah air limbah supaya tidak langsung masuk ke areal sawah maupun aliran irigasi. Harusnya direhabilitasi seperti semula, ada kolam-kolam IPAL. Masyarakat sekitar TPA itu sudah menderita, karena dekat dengan TPA. Masa mau semakin menderita karena sumber penghasilannya seperti sawah tersebut terkena dampak pencemaran. Hal inilah yang harus direspons cepat,” tegasnya.
baca : Sampah Dikumpulkan, Buku Dipinjamkan
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Banyumas Suyanto mengatakan pihaknya tengah berupaya menanggulangi permasalahan sampah. “Kami sudah merencanakan untuk menata kembali TPA Kaliori. Namun, hal itu membutuhkan waktu dan anggaran. Kami juga telah berencana membangun enam hanggar pengolahan sampah di Purwokerto, Ajibarang, Banyumas, Sumpiuh, Sokaraja dan Wangon. Fungsinya adalah mengelola dan memilah sampah sebelum masuk ke TPA. Berdasarkan perhitungan kami, nanti yang masuk ke TPA hanya sekitar 10% hingga 20% sampah saja,”ujarnya.
Untuk memata ulang TPA, pihaknya mengalokasikan anggaran Rp1 miliar pada tahun 2018 dan pada tahun 2019 mendatang bakal dialokasikan sekitar Rp5 miliar. Tata ulang salah satunya adalah menambah areal TPA. Setiap harinya, berdasarkan data dari DLH Banyumas, produksi sampah di wilayah setempat mencapai 960 ton per hari. Dari jumlah tersebut, yang masuk ke TPA kisaran 170 ton per hari.