Greenpeace-Indonesia menerbitkan laporan tentang dampak pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Celukan Bawang, di Bali utara. Laporan berjudul “Meracuni Pulau Dewata” yang disampaikan ke publik pada Senin (16/4) lalu itu menyoroti dampak sosial, ekonomi, kesehatan, dan lingkungan.
PLTU Celukan Bawang dibangun oleh China Huadian Engineering (CHE) dari China bersama Merryline International Pte dan PT General Energy Indonesia (GEI). Lokasi PLTU ini di Desa Celukan Bawang, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali. Jaraknya sekitar 32 km dari Singaraja, ibukota kabupaten di Bali bagian utara ini.
Menurut Greenpeace Indonesia, total investasi pembangunan PLTU Celukan Bawang ini sekitar 700 juta dolar atau sekitar Rp9,7 triliun dengan meminjam dari China Development Bank (CBD).
baca : Mengganggu Kesehatan, Limbah PLTU Celukan Bawang Bali Menuai Protes
Fase pertama PLTU Celukan Bawang sudah beroperasi sejak 2015. Kapasitasnya sampai 426 MW yang dihasilkan oleh sekitar 5.200 ton batubara tiap hari. Saat ini, PLTU Celukan Bawang sedang berencana membangun tambahan PLTU sebesar 2×330 MW.
Didit Haryo, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia mengatakan ada empat dampak utama dari pembanguna PLTU di Celukan Bawang yaitu masalah lahan dan ganti rugi yang belum selesai, pemiskinan masyarakat, dampak terhadap lingkungan, dan timbulnya masalah kesehatan.
Pertama, dari sisi lahan. Meskipun PLTU Celukan Bawang sudah beroperasi sejak 2015, sebagian warga masih mengalami masalah dalam pembebasan lahan dan ganti rugi. Muhajir, mantan Kepala Desa Celukan Bawang 2002-2013 mengatakan bahwa dia tidak pernah memberikan persetujuan terhadap pembangunan PLTU di desanya.
“Saya lihat banyak masalah, termasuk ganti rugi tanah yang belum selesai. Juga belum jelas pengelolaan dampaknya,” kata Muhajir dalam laporan tersebut.
baca : Warga dan Greenpeace Gugat Gubernur Bali terkait Izin Lingkungan PLTU Celukan Bawang. Kenapa?
Ketut Mangku Wijana, warga Desa Tinga-Tinga, termasuk salah satu warga yang hingga saat ini belum menjual lahannya meskipun masuk kawasan Ring 1 PLTU. Selain Mangku ada dua warga lain yang memiliki lahan di wilayah itu dan belum mereka jual.
Mangku mengaku tidak mau menjual karena harga yang ditawarkan pihak PLTU tidak sesuai dengan yang dia tetapkan. Alasan lainnya, menurut Mangku, karena lahan kebun kelapa miliknya merupakan warisan yang masih dia kelola sampai saat ini.
“Ini warisan orang tua yang tidak akan saya jual. Apalagi hasil dari budidaya kelapa juga masih bagus,” ujarnya dalam video yang diputar bersama peluncuran laporan Greenpeace.
Sebagian warga juga mengakui bahwa ganti rugi dari PLTU Celukan Bawang masih terlalu rendah. Sadli, salah satu warga, mengaku mendapatkan ganti rugi sebesar Rp76 juta. Padahal, dia membutuhkan minimal Rp150 juta untuk membangun rumah baru. “Tidak cukup untuk membangun baru. Saya terpaksa berutang,” akunya.
baca : Warga Keluhkan Polusi PLTU Celukan Bawang
Dampak Sosial Ekonomi
Kedua, warga justru mengalami pemiskinan akibat pembangunan PLTU Celukan Bawang. Berdasarkan wawancara Greenpeace Indonesia pada warga di sekitar PLTU Celukan Bawang, banyak nelayan setempat yang sekarang tidak mendapatkan ikan sebanyak dulu.
Sebelum ada PLTU, nelayan Celukan Bawang bisa memperoleh sekitar 300 ember ikan per hari. Namun, saat ini mereka hanya mendapatkan 10-15 ember per hari. Dari sebelumnya memperoleh jutaan rupiah/hari, sekarang nelayan hanya mendapatkan ratusan ribu atau bahkan tidak mendapat apapun.
“Padahal sudah ke tengah (laut) dengan biaya lebih besar,” ujar Baidi Suparlan, Ketua Kelompok Nelayan Bakti Kosgoro.
Tak hanya nelayan yang berkurang pendapatannya. Petani kelapa dan pisang pun mengaku mengalami hal sama. Jika sebelumnya mereka bisa panen sampai 1.000 biji kelapa, sekarang hanya memperoleh 100-200 biji sekali panen.
Dalam video yang diperlihatkan, pohon-pohon kelapa terlihat mati dengan ujung daun mengering. Petani menduga hal itu terjadi akibat asap batubara dari PLTU.
baca : Cerita Warga yang Hidup di Sekitar PLTU Batubara
Dampak ketiga adalah kerusakan lingkungan. Menurut Didit, kegiatan pengangkutan batubara sebagai sumber energi PLTU Celukan Bawang telah merusak ekosistem laut termasuk terumbu karang. “Berdasarkan pemantauan kami, sedimentasi cukup tinggi sehingga tutupan terumbu karang makin banyak,” ujarnya.
Didit menambahkan, hal serupa terjadi juga dalam pembangunan PLTU di daerah lain, seperti Jepara (Jateng) dan Paiton (Jatim). “Terumbu karang juga mati karena suhu air laut lebih panas,” lanjutnya.
Terakhir, PLTU Celukan Bawang juga telah mengakibatkan terganggunya kesehatan warga. Beberapa warga mengeluhkan terjadinya gangguan kesehatan dan sakit yang makin sering dialami, terutama di pernapasan.
Karena munculnya dampak-dampak itu, Greenpeace Indonesia merekomendasikan agar Pemerintah Kabupaten Buleleng memantau kualitas udara dan memeriksa kesehatan warga di sekitar lokasi PLTU Celukan Bawang. Mereka juga menuntut agar Pemerintah Provinsi Bali membatalkan rencana pengembangan 2 x 330 MW PLTU Celukang Bawang.
“Kami juga mendesak agar Pemerintah Indonesia melakukan transisi energi dengan tahapan yang jelas dari PLTU Batubara ke energi terbarukan,” kata Didit.
baca : Indonesia Masih Mengalami Fase Anomali dalam Energi Terbarukan. Kenapa?
Masih Wajar
Menanggapi laporan tersebut, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Pemkab Buleleng sudah melakukan pemeriksaan ke lapangan. Menurut Plt Kepala BLH Pemkab Buleleng I Made Gelgel, berdasarkan hasil pemantauan timnya, kualitas lingkungan di sekitar PLTU Celukan Bawang secara umum masih normal.
Dari sisi kualitas air, menurut Gelgel, pH air laut di sekitar pelabuhan bongkar muat batubara bahan baku PLTU Celukan Bawang masih di bawah baku mutu. Nilainya 8,37 dari batas maksimal 8,5. “Artinya kualitas air laut masih wajar,” kata Gelgel melalui telepon.
Berdasarkan pemeriksaan enam sampel, Gelgel melanjutkan, kualitas suhu air juga masih wajar. Suhunya 30,9 derajat Celcius sementara suhu maksimal sesuai standar adalah 35 derajat Celcius.
Selain itu, BLH Kabupaten Buleleng juga memeriksa pembuangan dan pengolahan limbah. Menurut Gelgel, pembuangan dan pengolahan limbah padat maupun cair dari PLTU Celukan Bawang dilakukan oleh pihak ketiga. “Berdasarkan pemantauan kami, tempat pembuangan sementara sudah sesuai dengan persyaratan,” katanya.
Untuk memantau dampak operasional PLTU Celukan Bawang terhadap lingkungan, BLH Buleleng sudah meminta pihak pengelola untuk memberikan laporan rutin setiap enam bulan sekali meliputi kulaitas udara, air, dan penanganan limbah. “Sejauh ini semuanya masih wajar,” tegas Gelgel.
Menanggapi laporan Greenpeace Indonesia maupun keluhan warga di sekitar PLTU Celukan Bawang, Gelgel mempertanyakan balik. “Bukan percaya atau tidak tetapi laporan itu harus diuji lebih detail: siapa yang diracuni? Apa buktinya?” tanyanya.