Sejumlah pihak mengadakan pertemuan dua tahunan di Bali, membahas pengembangan sawit berkelanjutan. Salah satu tujuannya, menemukan jalan tengah antara bisnis dan lingkungan.
Pertemuan ini berlangsung di tengah isu hangat soal Parlemen Eropa yang mengesahkan rancangan proposal energi dengan menghapus minyak sawit (crude plam oil/CPO) sebagai bahan dasar bahan bakar berkelanjutan (biofuel) pada 2021.
Konferensi Internasional tentang Sawit dan Lingkungan (International Conference on Palm Oil and Environment (ICOPE) diadakan tiga pihak yaitu lembaga riset dari Perancis CIRAD, lembaga non-pemerintah bidang lingkungan WWF Indonesia, dan perusahaan sawit Sinar Mas Agribusiness and Food.
Konferensi tiga hari pada 25-27 April 2018 ini dihadiri 400 peserta dari 30 negara. Mereka antara lain dari Amerika Serikat, Swiss, Nigeria, Malaysia, Australia, dan lain-lain.
Selama tiga hari itu, para pihak baik swasta, organisasi non-pemerintah, ataupun peneliti ini membahas berbagai isu dalam tema: Embracing Sustainable Palm Oil: Solution for Local Production and Global Change.
Darmin Nasution, Menteri Koordinator Perekonomian menekankan, penting kerja sama antara swasta dan pegiat lingkungan guna menemukan solusi atas peningkatan keperluan pangan dan keberlanjutan lingkungan.
“Perlu ada perubahan pola pikir di kalangan bisnis dan lingkungan. Sektor bisnis dan lingkungan perlu membuat penyesuaian. Dari sudut pandang bisnis, pengusaha harus memerhatikan isu keberlanjutan, sementara para pemerhati lingkungan juga harus mempertimbangkan lapangan kerja dan kebutuhan terhadap minyak nabati dan energi yang terus bertambah sepanjang waktu,” katanya kala membuka konferensi di Bali International Convention Center (BICC) Nusa Dua, Badung, Bali, Rabu (25/4/18).
Penduduk dunia, katanya, terus bertambah, diperkirakan mencapai 10 miliar pada 2045 hingga memerlukan sistem lebih efisien dan tanaman pangan yang produktif dengan memerhatikan keberlanjutan.
Darmin mengklaim, minyak sawit, bisa jadi jawaban Indonesia terhadap peningkatan keperluan pangan penduduk dunia.
Dia memberikan perbandingan antara minyak sawit dengan minyak nabati lain, seperti minyak kedelai dan bunga matahari. Berdasarkan rasio penggunaan lahan, sawit menghabiskan lahan 21,5 juta hektar dengan produksi 65 juta ton per tahun. Produksi biji sawit sekitar empat ton per hektar, potensi bisa 12 ton per hektar.
Kedelai habiskan 122 juta hektar, hanya hasilkan 45,8 juta ton per tahun dengan biji sekitar 0,4 ton per hektar. Adapun bunga matahari menghabiskan lahan 25 juta hektar lahan dengan produksi 15,9 juta ton per tahun.
“Hal itu menandakan, rasio lahan kecil, minyak sawit bisa menghasilkan produksi tinggi. Dari sisi penggunaan lahan dan energi, minyak sawit terbukti lebih efisien,” katanya.
Suara negatif?
Melihat fakta ini, kata Darmin, sawit bisa menjawab tantangan pangan yang kian tinggi dan penduduk terus bertambah. Sisi lain, sawit masih sering mendapat tudingan sebagai produk tak ramah lingkungan.
Dia menyebut, suara pengkritisi praktik-praktik kebun sawit baik dalam negeri maupun luar negeri, sebagai kampanye negatif. Menurut dia, “kampanye negatif” ini banyak dilakukan negara konsumen atas dasar kompetisi dan perlindungan produk.
Padahal, katanya, minyak sawit di Indonesia tak hanya bicara lingkungan juga isu ekonomi dan pangan.
Darmin berdalih, pemerintah Indonesia, berkewajiban menyejahterakan rakyat termasuk menciptakan lapangan pekerjaan di sektor sawit dan meningkatkan volume ekspor produk dari sawit.
“Bagi mereka, pengecualian untuk minyak sawit dianggap satu-satunya solusi tanpa memerhatikan isu ekonomi, tenaga kerja, dan kebutuhan pangan. Pandangan semacam ini tak akan menjawab kebutuhan penduduk dunia yang terus bertambah,” katanya.
Solusinya, kata Darmin, terletak pada bagaimana sektor bisnis dan lingkungan bekerja sama menciptakan minyak sawit berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Darmin mengatakan, ketika lahan budidaya terbatas, perlu mencari jalan keluar memenuhi keperluan yang meningkat. Untuk itulah, kemampuan produksi jadi kunci, antara lain mendukung petani kecil yang tak punya akses teknologi tepat guna, modal terbatas, dan gunakan bibit berkualitas. Mereka perlu mendapatkan bantuan dan akses untuk meningkatkan produktivitas.
Pemerintah Indonesia, katanya, sudah membuat program sawit rakyat (PSR) dimulai di Banyuasin, Sumatera Selatan dan Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Pada 2018, pemerintah menargetkan penanaman kembali pada 185.000 hektar lahan dengan anggaran Rp4,6 triliun.
Sebagai bentuk tanggung jawab terhadap lingkungan, pemerintah juga membuat standar melalui Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). ISPO ini menjadi standar bagi pengembangan sawit dan telah memenuhi standar internasional merujuk pada International Organisation for Standardization.
Keseimbangan antara bisnis dan lingkungan itu juga jadi salah satu topik hangat selama ICOPE 2018. JP Caliman, Ketua ICOPE 2018 mengatakan, forum ini memang membahas keberlanjutan dan masa depan sektor industri ini.
ICOPE, katanya telah mendapatkan pengakuan global dalam komunitas ilmiah sebagai sumber daya berguna dan tak bias dalam hal terkait produksi minyak sawit dan keberlanjutan.
ICOPE dimulai 11 tahun lalu oleh WWF Indonesia, CIRAD, dan Sinar Mas dengan tujuan mencapai keberlanjutan industri sawit, bekerja dalam kolaborasi, dan merengkuh kepercayaan dalam sains.
Franky Oesman Widjaja, Chairman dan CEO Sinar Mas Agribusiness and Food, menambahkan, minyak sawit merupakan industri penting di Indonesia.
Industri ini menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan kesejahteraan jutaan orang Indonesia. Dia mengklaim, industri ini telah mempekerjakan 21,2 juta orang baik langsung dan tak langsung, menghasilkan US$21,25 miliar dari ekspor pada 2017.
Menurut Franky, kolaborasi lintas-sektor dalam industri minyak sawit penting. “Kita perlu mengubah pendekatan dalam industri sawit dengan memerhatikan tiga hal yaitu keamanan pangan, peluang ekonomi, dan keberlanjutan lingkungan,” katanya.
Foto utama: Sawit. Industri sawit mendapat banyak kritikan dari penyebab deforestasi, kerusakan lingkungan sampai konflik dengan masyarakat adat maupun masyarakat lokal. Kini, sawit mendapat sorotan dari negara-negara di Eropa. Satu sisi, di Indonesia, sawit disebut-sebut komoditas andalan. Apakah industri ini bisa benar-benar menjalankan bisnis berkelanjutan? Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia