Perusahaan tambang batubara masuk, warga Dusun Padang Birau, Kelurahan Gunung Kembang, Sarolangun, Jambi, hadapi berbagai masalah. Dari air sungai tercemar, dan pencemaran udara dari debu yang berasal tempat pengumpulan batubara maupun saat penangkutan batubara. Ada juga rumah retak, dan warga susah istirahat karena suara alat berat.
Dua bulan lebih Rasid tak lagi tidur di kamar. Dia takut, dinding kamarnya yang retak itu runtuh. Lelaki bertubuh gempal itu memilih tidur di ruang tengah, tempat biasa kumpul keluarga nonton TV.
“Jadi ngeri kalau di kamar, takut runtuh,” katanya.
Dinding rumah itu retak pada empat bagian. Di luar, retak ada dua titik membelah dinding dari atas ke bawah. Dua retakan lagi membelah dinding kamar dan dinding samping pintu.
Dia menuding, vibratory roller yang bekerja memadatkan jalan tanah milik PT.Caritas Energi Indonesia (CEI) dan PT.Metalic Baru Sinergi (MBS), jadi penyebab.
“Kalau dio (vibratory roller ) kerjo raso (seperti) ngangkat kramik (lantai) ini.”
Setiap kali diguyur hujan, alat penggiling tanah itu akan mulai bekerja, menumbuk, memadatkan jalan tanah yang bonyok digilas roda-roda truk tronton bermuatan puluhan ton batubara.
“Habis Magrib mulai sampai Isya, kadang sampai lewat tengah malam. Siang kadang giling juga tapi malam dihentaknya nian—getaran lebih kuat. Apalagi kalau sakit gigi, alat berat itu kerjo, biso–biso pengen ninju dinding,” katanya kesal.
Sejak jalan tambang beroperasi, Rasid dan keluarga jadi sulit tidur. Rumah bergetar, atap seng bunyi seperti saling beradu kena getaran vibratory roller menghentak jalan di samping rumah.
“Nunggu berhenti kadang jam 04,00 subuh baru bisa tidur. Kadang kalau dihentak sampai getar-getar seng (atap) kami.”
Kata Rasid, perusahaan sudah tiga kali mendatangi rumahnya untuk melihat keretakan dinding. Hingga sekarang, perusahaan belum pernah bahas soal ganti rugi.
“Sayo bangun rumah ini limo tahun, ngumpulin dikit-dikit dari hasil ngojek, tapi sekarang macam ini,” katanya pelan.
CEI dan MBS adalah kontraktor tambang untuk PT. Karya Bumi Baratama, yang memegang izin perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B), dengan luas konsesi 10.211 hektar, di Kabupaten Sarolangun, Jambi. Perjanjian diteken pemerintah Indonesia dan perusahaan pada Oktober 1999.
Hampir separuh konsesi merupakan hutan produksi. Kementerian Kehutanan telah mengeluarkan izin 609,73 haktar untuk eksploitasi bahan tambang batubara, dari konsesi di hutan produksi seluas 4.792 hektar. Seluas 5.419 haktar, di areal penggunaan lain.
Sekitar akhir 2017, perusahaan membebaskan lahan warga untuk jalan sepanjang enam kilometer menuju lokasi penambangan. Mereka juga membuat stockpile batubara sekitar 500 meter dari pemukiman penduduk atau satu kilometer dari jalan lintas Sumatera yang menjadi jalur pengangkutan batubara.
Musyawamah, salah satu warga yang melepas lahan. Dia dan saudaranya, mendapat bagian Rp336 juta dari hasil jual tanah delapan tumbuk (800 m2). Tanah warisan orangtuanya itu dibeli perusahaan untuk jalan pengangkutan batubara. Belakangan, setelah jalan tambang beroperasi rumah Musyawamah, retak. Dia menuding getaran dari vibratory roller jadi penyebab.
Di RT.09, Dusun Padang Birau, Kelurahan Gunung Kembang, Kecamatan Sarolangun, Kabupaten Sarolangun, Jambi ini, setidaknya ada empat rumah warga alami dinding retak, rumah Sahid, Zulhitmi, Musyawamah, Rasid dan Roni.
Jarak rumah mereka sekitar 30-50 meter dari jalan tambang. Pondasi rumah Roni Paslah, adik Musyawamah, persis di simpang jalan tambang juga ikut retak.
Pengangkutan batubara juga dianggap mengganggu waktu istirahat warga Padang Birau, yang mayoritas petani ini. Ibrahim bilang, umumnya warga istirahat mulai Magrib, dan lepas sholat subuh sudah kembali lagi ke ladang maupun kebun.
“Podho-podho mikirlah (sama-sama mikirlah-red) mestinya hadirnya perusahaan bisa menyelamatkan warga, bukan malah membuat resah.”
Zulhitmi minta perusahaan mengkaji ulang waktu operasional vibratory roller, terutama ketika sholat Jumat agar tak mengganggu ibadah warga. Kala operasi malam hari, dia minta alat berat tak gunakan getaran.
“Kalau jam 10.00 malam, tak usahlah pakai getaran, kalau siang hari nak 10 kali lipat vibrator itu, silakanlah,” katanya.
Vibratory roller, katanya, adalah sumber keretakan rumah warga. “Itu tak bisa dipungkiri, sistem pembuatan jalan itu kan tidak sesuai standar pemerintah. Ditimbun-timbun baru diratakan. Sekian tahun jalan belum padat. Apalagi untuk ukuran mobil 14 ton, 16 ton, tronton 40 ton. Otomatis maintenance terus, lewat limo ikok (unit) maintenance.”
Dia menyarankan, perusahaan tak beroperasi saat hari hujan karena banyak tanah menempel di ban truk tertinggal di jalan lintas, ketika panas memicu debu.
Zulhitmi sudah ketemu dengan Sensus, dari MBS dan Aris mewakili CEI. Perusahaan beralasan, jika masalah yang timbul dari karena mereka baru beroperasi dua bulan hingga perlu banyak perbaikan.
“Saya ajak dia berpikir terbalik, ‘Pak cara berpikir bapak tinggi pak,’ saya bilang ‘jangan rendah’. Bapak telah menyiapkan biaya pengobatan, berarti bapak mengharapkan warga saya sakit. Jangan dijadikan korban warga. Bapak buat perusahaan, tapi bapak mengorbakan warga, salah itu,” nada suaranya tinggi.
“Jauh berpikir itu, bagaimana perusahaan bisa jalan, warga tidak sakit, warga nggak mati!”
Sukirno, warga yang tinggal dekat Masjid Al Aman merasa terganggu. Hampir tiap tengah malam hingga subuh, banyak mobil truk angkut batubara berhenti di depan rumah. Ada puluhan, datang silih berganti. Sebagian sopir berhenti membersihkan ban truk yang terbalut tanah. Pagi hari, banyak debu tanah dan batu koral berserakan.
Dia kesal. Kerbaunya sempat terbenam lumpur karena tanggul stockpile longsor tergerus air hujan dan menimbun jalur jalan kerbau. Dia dibantu tiga tetangga mengangkat kerbau dari kubangan lumpur.
Pencemaran sungai dan udara
Jumat, 9 Maret 2018, Sungai Indung meluap setelah Padang Birau diguyur hujan lebat. Air sungai tampak hitam menggenangi pekarangan rumah warga.
Wawan Susanto menduga air sungai bercampur dengan batubara yang larut terbawa air hujan. Dia khawatir, larutan batubara akan mencemari sumber air sumur di sekitar sungai.
Wawan sempat mengajak saya melihat lokasi stockpile di bagian atas Sungai Indung. Timbunan batubara memanjang puluhan meter. Di pinggir, terdapat parit penuh batubara, bermuara ke kolam penyaringan. Ada tiga kolam penyaringan dengan warna air sama hitam mengalir ke Sungai Indung.
Suhardi Sohan, Kepala Bidang Penaatan dan Peningkatan Kapasitas Dinas Lingkungan Hidup Sarolangun, mengaku telah mengecek ke kolam penyaringan stockpile. Menurut dia, air hitam di tiga kolam karena belum penawasan (pemberian tawas dan pengapuran).
“Kalau dari hasil uji laboratorium sudah memenuhi standar, tapi kekeruhan masih jadi masalah. Kalau banyak tawas akan jadi basah, terlalu banyak kapur jadi asam,” katanya.
Dia juga bilang, penawasan penting bukan hanya untuk menjernihkan air juga mentralisir pH air yang keluar dari outlet agar sesuai standar bakumutu: 6-9 pH. Kolam yang harus diisi tawas dan kapur yakni di kolam dua dan tiga.
“Kalau hujan lebat itu sudah otomatis air keruh. Bukan hanya dari stockpile. Kalau dulu keruh tapi agak bening. Dari pit tambang, batubara yang jatuh di jalan terus ka parit itu juga mempengaruhi, bukan hanya dari stokplie,” kata Suhardi.
Tak hanya pencemaran air. Polusi udara pun terjadi. Siswoyo tinggal persis di simpang jalan tambang. Setiap hari puluhan truk bermuatan belasan hingga puluhan ton batubara lalu-lalang di depan rumah.
Beberapa bulan terakhir Susi, istri Siswoyo, mengeluh anaknya, Rini, yang sakit asma makin sering batuk dan sesak napas saat kena debu batubara.
Anak usia tujuh tahun itu sensitif debu. Siswoyo cerita, jika setiap hari debu batubara berterbangan hingga ke teras rumah, malam hari Rini akan sesak napas.
“Kalau malam mengek, susah napas. Kalau keno debu saro dio, saro jugo kito jagonyo,” kata Siswoyo. “Tidak mungkin kan tiap hari harus makek masker, mau napas saja kok kita ya susah.”
Debu batubara itu baru ketahuan belakangan, setelah tak sengaja Susi menadahkan baskom di meja tokonya saat hujan. “Kalau debu tanah kan nggak gitu. Air itu hitam, apalagi kalau bukan debu batubara,” kata Susi.
“Itulah truk ditutup terpal itu gak ada gunanya.”
Konflik antar warga
Kehadiran tambang batubara munculkan konflik antarwarga. Perpecahan antarwarga Kelurahan Gunung Kembang yang pro dan kontra menajam dan berujung tantangan duel. Konflik sosial tak terelakkan.
Wawan cerita, sejak perselisihan antarwarga pada September 2017, sampai kini masih ada warga tak bertegur sapa. Konflik dipicu kesenjangan ekonomi, dan kepentingan antara pemilik usaha delivery order (DO) batubara dengan masyarakat sekitar tambang di Padang Birau.
“Sejak ada batubara, di sini banyak kok yang mau bunuh-bunuhan, tikam-tikaman, gara-gara ekonomi,” katanya.
Rata-rata, warga yang mendukung perusahaan tak terkena dampak langsung dari aktivitas tambang. “Mereka warga Gunung Kembang, jauh… (rumahnya). Mereka tidak kena debu, tidak kena getaran, tidak kena bising, untuk kontra dengan perusahaan pasti tidak mau, karena mereka dapat keuntungan.”
Saat perusahaan menyetujui untuk tak mengangkut batubara pada siang hari, pemilik DO protes. Kata Wawan, dia didatangi pemilik DO dan menantang berkelahi. “Bila kalian menutup aktivitas tambang, kami (pemilik DO) akan siap melindungi perusahaan,” kata Wawan menirukan para pemilik DO.
Ada beberapa DO yang bekerjasama dengan perusahaan, antara lain DO milik koperasi Kelurahan Gunung Kembang dan Mustofa, warga Gunung Kembang. Beberapa DO lain dimiliki warga di luar Gunung Kembang.
Berulangkali mediasi
Guna mencari titik temu antara warga dan perusahaan, sudah lebih lima kali pertemuan difasilitasi lurah hingga camat. Berulangkali mediasi, berulangkali pula gagal sepakat. Antara warga dan perusahaan tak ada yang mengendur.
Sabtu, 28 Maret 2018, Camat Sarolagun, Muhammad Idrus memfasilitasi mediasi antara warga dengan perusahaan. Pemerintah Sarolangun sebagai mediator. Mediasi berlangsung di aula Hotel Abadi Sarolangun.
Zulhitmi ingin masalah warga Padang Birau dengan perusahaan segera selesai sebelum jatuh korban. Jika tak ada solusi, dia minta perusahaan berhenti operasi.
“Sedih kami Pak, malam-malam istirahat terganggu aktivitas alat berat. Solusinya bukan uang, asuransi, tapi istirahat kami itu terganggu. Bapak (Sensus dan Aris, dari perusahaan-red) enak istirahat di Jambi,” katanya.
Warga menuntut beberapa poin kepada perusahaan. Isinya, warga meminta jaminan kesehatan berupa asuransi kesehatan karena polusi atas aktivitas angkutan batubara; jaminan pemeliharaan bangunan dan tanaman karena aktivitas angkutan batubara. Juga, pemberdayaan warga terkena dampak langsung, berupa kesempatan kerja pada perusahaan, bagi yang ingin bekerja; kemitraan berdasarkan kerja sama bidang pengangkutan, keamanan dan hal lain yang dapat dikerjakan oleh warga yang terkena dampak langsung.
Tuntutan sama pernah dilayangkan warga lewat surat permohonan pada MBS dan CEI, pada Desember 2017. Surat ini ditandatangani sembilan warga, yakni, Wawan Susanto, Siswoyo, Roni Paslah, Musyawamah, Sumirat, Agus, Sahid, Faizal Rahman dan Subarno. Surat itu ditembuskan pada bupati, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jambi, Lurah Gunung Kembang, Ketua RW dan RT Padang Birau.
Wawan menganggap perusahaan tak transparan soal rekrutmen tenaga kerja. Selama ini, tak ada informasi lowongan kerja pada warga sekitar tambang, yang seharusnya jadi prioritas. Dia menuding, banyak pekerja tambang dari Tanjung Rambai dan Muara Indung, jauh dari lokasi tambang.
Warga yang kehidupan terdampak langsung kala ada perusahaan malah cuma merasakan masalah. “Sebelum perusahaan beroperasi, warga Gunung Kembang adem ayem loh jinawi.”
Dia mendesak, ada perjanjian (memorandum of agreement/MoA) antara warga dan perusahaan. Dengan MoA, katanya, perusahaan bisa terjerat hukum ketika melanggar kesepakatan.
“Kami menuntut yang wajar kami tuntut ke mereka (perusahaan). Rumah kami rusak, kami minta perbaiki,” kata Wawan.
Manager MBS, Sensus, menganggap persoalan yang muncul antara warga dengan perusahaan hanya salah paham alias miss komunikasi, dan hanya perlu itikat baik kedua pihak untuk menyelesaikan masalah.
Aris Winarso, Project Manager CEI, mengatakan, tuntutan warga sebenarnya sudah masuk dalam nota kesepahaman yang ditandatangani perangkat desa. Salah satu isi, perusahaan bertanggung jawab atas dampak lingkungan yang menyangkut kesehatan warga sekitar tambang, dan keretakan rumah warga.
Dia juga menyebut tuntutan warga pada poin ketiga, soal pemberdayaan masyarakat telah diakomodir dengan mempekerjakan 12 orang di bagian keamanan.
Camat Idrus, minta jadwal operasi vibratory roller dan angkutan batubara diatur ulang. Perusahaan juga diminta rekrutmen karyawan terbuka, dan secepatnya menanggapi rumah warga yang retak.
“Soal alat berat yang beroperasi perlu diatur ulang jadwalnya, dan angkutan truk juga jangan beroperasi saat jam sholat. Saya harap, jangan sampai terjadi tindakan kriminal yang melawan hukum.”
Sebelumnya, kedua pihak sempat berunding di Pondok Pesantren Rahmatul Ummah. Pada September 2017, sempat beberapa kali petemuan membahas poin perjanjian, tetapi semua pertemuan tak pernah menghasilkan kesepakatan.
“Kalau dulu, komunikasi kaki lima itu ada, memang kita akui sudah pernah ada, dan sudah hampir menemukan titik kesepakatan, tetapi seketika itu hilang ditelan bumi, apa yang pernah kita bicarakan itu. Dimana mandegnya itu kita tidak tahu,” kata Wawan.
***
Sabtu, 19 April 2018, Wawan, Subarno, Saipul, Roni Paslah, Siswoyo mewakili warga yang rumahnya retak bertemu dengan PT. Karya Bumi Baratama (KBB) di jalan Lintas Sumatera, RT.01. Kelurahan Aur Gading, Kecamatan Sarolangun di sebuah ruko tanpa nama plang nama perusahaan. Mediasi berjalan lebih dari dua jam tetapi tak juga ada kesepakatan.
Wawan bilang, jika perusahaan sudah ada kesepakatan dengan forum tiga RT: RT 09, 10 dan 12. Isinya, perusahaan sepakat ada fee untuk desa yang dipungut dari setiap mobil pengangkut batubara.
Untuk truk tronton Rp30.000, dan colt diesel Rp15.000 per mobil. Pungutan sebagai ganti kerugian warga yang jadi korban dampak operasi tambang.
Wawan tak tahu siapa pengelola uang pungutan yang kabarnya telah berjalan dua bulan itu. “Yang jelas dana ini tidak ke kami, kalau ke kami, pasti kami tahulah jumlahnya.”
Dia dapat informasi dari sopir truk tronton yang angkut batubara ke Padang, jika pemilik truk telah mengeluarkan uang Rp180.000 untuk membayar pekerja pasang terpal, khas desa, dan pungutan setiap pos.
Sedangkan masalah jaminan kesehatan, akan ditanyakan terlebih dulu pada perusahaan pusat, apakah ada dana untuk jaminan kesehatan.
Bobi Manurung, dari KBB tak percaya begitu saja jika kerusakan lima rumah warga di Padang Birau karena aktivitas tambang.
Dia akan meminta tim teknis dari Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan Dinas Lingkungan Hidup Sarolangun membuktikan tudingan warga. Menurut dia, apa yang disampaikan Wawan dan warga lain hanyalah dampak kecil yang dibesar-besarkan.
“Kalau itu bisa dibuktikan oleh tim teknis, perusahaan siap mengganti sesuai aturan yang ada,” katanya.
Dia telah menghubungi PUPR dan DLH Sarolangun, untuk membentuk tim pengkaji.
Deshendri, Kepala DLH Sarolangun yang saya temui, mengaku belum dapat kabar dari perusahaan terkait tim teknis. “Belum, belum ada.”
“Meski kasat mata saya tahu ada masalah, tetapi selama mereka tidak melaporkan ya sudah kita anggap aman,” kata Deshendri.
Pemerintah pusat menargetkan peningkatan investasi, diterjemahkan Pemerintah Sarolangun dengan membuka akses investasi seluas-luasnya.
“Namun investor juga tak boleh melanggar aturan semau-maunya, semua aturan harus diikuti,” kata Hillalatil Badri, Wakil Bupati Sarolangun.
Kalau ada perusahaan melanggar aturan, katanya, akan ambil tindakan. “Kalau nanti ditemukan hal-hal (bukti), kita juga punya hak untuk menutup, walaupun izin di provinsi,” katanya.
Hilal mengatakan, pembekuan izin operasi bisa dilakukan jika terjadi kerusakan lingkungan karena operasi tambang. “Tapi kita tidak serta merta, dia melakukan kesalahan terus kita tutup, ada aturan yang kita lakukan.”
***
Investasi datang, dengan jualan indah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, di lapangan, malah banyak terjadi kebalikan, seperti di Dusun Padang Birau ini, warga tertimpa beragam masalah.
Berulang kali mediasi tetapi belum juga ada hasil. Entah berapa lama lagi, Rini mampu menahan dengan asma terus kambuh karena menghisap debu batubara. Entah berapa lama lagi, Razid dan warga dekat jalan tambang harus ‘menikmati hiburan’ alat berat dengan bunyi dan getaran di malam hari. Entah bagaimana nasib sungai sekitar ke depan…
Siswoyo, ayah Rini, seakan pasrah. Dia tak tahu lagi ke mana harus mengadu.
“Barangkali kami yang miskin ini tidak punya hak lagi untuk hidup…”