Lebih dari delapan tahun berjalan, program Seafood Savers yang diinisiasi organisasi lingkungan WWF-Indonesia telah menunjukkan sejumlah pencapaian. Namun, program untuk mewujudkan perikanan berkelanjutan ini juga menghadapi lebih banyak tantangan.
Catatan itu mengemuka dalam pertemuan tahunan Seafood Savers yang diadakan Senin-Selasa (7-8 Mei 2018) lalu di Kuta, Kabupaten Badung, Bali. Sejumlah perusahaan bidang perikanan hadir yaitu dari sektor penangkapan, budi daya, ataupun pembeli, seperti PT Balinusa Windumas, PT Samudera Eco Anugerah, Celebes Rumput Laut, dan PT Samudera Eco Anugerah.
Perusahaan yang hadir antara lain dari Denpasar, Probolinggo, Sidoarjo, Makassar, dan kota lainnya. Komoditas mereka beragam, seperti udang windu, udang vaname, rumput laut, ikan karang, tuna, dan lain-lain. Mereka terikat komitmen bersama agar bisnis perikanan di Indonesia lebih berkelanjutan, sebagaimana dicita-citakan dalam program Seafood Savers.
baca : Perikanan Berkelanjutan, Upaya Selamatkan Sumber Daya Laut Nasional
Imam Mustofa, Pemimpin Program Bentang Sunda dan Perikanan WWF Indonesia, mengatakan program Seafood Savers berangkat dari kian besarnya kebutuhan pangan penduduk Bumi tetapi di sisi lain masih ada praktik-praktik perikanan tidak ramah lingkungan. “Contohnya penggunaan bom ikan atau cantrang yang tidak selektif,” kata Imam.
Praktik bisnis perikanan yang tidak ramah lingkungan itu, menurut Imam, menyebabkan terjadinya kekurangan pasokan ikan (over fishing) maupun menurunnya sumber daya perikanan. Imam menyebutkan data bahwa saat ini 72,2 persen 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) sudah mengalami kekurangan pasokan ikan.
Selain itu, Imam juga mengutip data Badan PBB untuk Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) bahwa 50 persen perikanan global sudah mengalami over fishing. “Tak hanya di sektor penangkapan, sebagian budi daya perikanan pun masih menerapkan bisnis yang tidak berkelanjutan,” lanjutnya.
baca : WWF : Sumber Daya Laut Global Dalam Ancaman Kerusakan Besar
Secara global, ada standar Marine Stewardship Council (MSC) untuk perikanan tangkap dan Aquaculture Stewardship Council (ASC) untuk perikanan budi daya yang mengacu pada Kode Perilaku Perikanan yang Bertanggungjawab (CCRC) versi FAO. “Melalui Seafood Savers, kami memberikan pendampingan teknis kepada perusahaan-perusahaan perikanan agar bisa mencapai standar ASC maupun MSC,” tambahnya.
Tujuannya, kata Imam, selain untuk menjaga masa depan sumber daya perikanan juga untuk meningkatkan daya saing dan meningkatkan posisi tawar produk ikan Indonesia di pasar global.
baca : Indonesia Kampanyekan Perikanan Berkelanjutan untuk Dunia, Seperti Apa Itu?
Permintaan Meningkat
Seiring berkurangnya sumber daya perikanan muncul kesadaran di kalangan konsumen maupun perusahaan perikanan untuk menyediakan ikan yang dihasilkan dari praktik ramah lingkungan. Salah satunya, konsumen mulai meminta adanya label lingkungan (ecolabel) baik melalui MSC maupun ASC pada produk perikanan.
Namun, ini bukan pekerjaan mudah. Karena label lingkungan memang hal baru bagi para pelaku bisnis perikanan, mereka tak memiliki cukup pengetahuan maupun keterampilan dalam hal ini. “Animo perusahaan di Indonesia sangat besar untuk mendapatkan label ASC dan MSC tetapi tidak gampang untuk mendapatkannya,” kata Imam.
Tingginya animo perusahaan untuk mendapatkan label ASC atau MSC itu bisa tergambar dari banyaknya perusahaan perikanan yang ikut dalam program Seafood Savers. Saat ini sudah ada 17 perusahaan bergabung dalam program ini, terdiri dari sembilan perusahaan tangkap, enam perikanan budi daya, dan dua pembeli.
baca : Ini Upaya Mewujudkan Perikanan Berkelanjutan. Bagaimana Praktiknya?
Tahun lalu, dua perusahaan anggota Seafood Savers sudah mendapatkan ekolabel ASC. Pertama, tambak udang windu binaan PT Mustika Minanusa Aurora (MMA) seluas 115 hektar di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara. PT MMA menghasilkan sekitar 20 ton udang per tahun. Tujuan utama mereka ekspor ke Jepang.
Usaha kedua yang mendapatkan ekolabel ASC adalah tambak udang vaname seluas 9 hektar binaan PT Tiwandi Sempana di Probolinggo, Jawa Timur. Tambak ini memasok udang vaname ke PT Bumi Menara Internusa yang mengirim produknya pasar Amerika Serikat.
“Capaian ini membuktikan bahwa praktik budi daya Indonesia mampu menembus dan bersaing dengan industri budi daya yang intensif dalam memenuhi standar sertifikasi berkelanjutan yang diakui pasar global,” kata Abdullah Habibi Manajer Program Peningkatan Budi Daya dan Perikanan WWF Indonesia.
Habibi menambahkan, peningkatan kebutuhan produk perikanan ramah lingkungan itu juga terjadi di pasar domestik. Menurut survei WWF Indonesia dan Nielsen pada 2017, sebanyak 26 persen dari total responden mengetahui produk perikanan yang diproduksi secara ramah lingkungan, namun hanya 17 persen yang pernah mengonsumsinya.
“Peningkatan kesadaran konsumen terhadap produk perikanan ramah lingkungan dapat mendorong kesiapan pasar domestik menyerap produk-produk yang diproduksi secara berkelanjutan,” tambahnya.
baca : Inilah Kolaborasi Menarik Dalam Distribusi Seafood Ramah Lingkungan
Sejumlah Tantangan
Meskipun demikian, sejumlah perusahaan masih menghadapi susahnya mendapatkan ekolabel perikanan berkelanjutan ini. PT Bali Barramundi di Buleleng, Bali termasuk salah satunya. Meskipun sudah menerapkan prinsip-prinsip Aquaculture Improvement Program (AIP), toh mereka belum juga mendapatkan sertifikasi ASC.
“Karena belum ada contoh bagaimana ASC untuk ikan baramundi seperti yang kami budidayakan,” kata Dharma Manggala, Manajer PT Bali Barramundi.
PT Bali Barramundi merupakan salah satu anak perusahaan PT IAMBEU Mina Utama. Perusahaan perikanan di Bali ini juga memiliki usaha restoran menu ikan laut (seafood) Visnoe dan usaha pengolahan ikan laut dengan tujuan ekspor Amerika Serikat, Australia, dan Jepang.
Tantangan lain adalah mahalnya biaya sertifikasi. Menurut Jenny Lukitasari, Manajer Pemasaran dan Pembelian PT Samudera Eco Anugrah (SEA), biaya sertifikasi termasuk mahal bagi perusahaannya. PT SEA merupakan perusahaan pembeli perikanan di Jakarta. Produk utama mereka yang populer antara lain olahan ikan Fish ‘n Blues.
Biaya untuk sertifikasi ini berbeda antara satu jenis ikan dengan ikan lainnya. Namun, penambahan biayanya rata-rata 20-30 persen. Akibatnya, harga produk perikanan dengan label ASC maupun MSC pun lebih mahal, antara 40-50 persen. “Biaya sertifikasi untuk mendapatkan label memang cukup mahal tetapi itu kami anggap sebagai biaya investasi karena memang konsumen kami yang meminta,” kata Jenny.
Untuk itulah, menurut Jenny, konsumen merupakan salah satu faktor penting untuk mewujudkan perikanan berkelanjutan karena menjadi rantai terakhir dalam value chain (rantai nilai) poriduk perikanan. “Kalau konsumen sudah berkomitmen membeli ikan dengan ekolabel, maka kami juga akan lebih termotivasi untuk mempraktikkan standar perikanan berkelanjutan,” ujarnya.
baca : Yuk, Pertimbangkan Lingkungan saat Belanja…