Perlakuan diskriminatif dari perusahaan kepada para pekerja di sektor perikanan hingga saat ini masih terjadi di Indonesia. Fakta tersebut sulit disembunyikan karena semakin banyak tenaga kerja yang terserap di sektor tersebut dari tahun ke tahun. Selama bekerja, perlakuan tidak menyenangkan itu kerap kali diterima para pekerja.
Demikian diungkapkan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati di Jakarta, pekan lalu. Menurut dia, jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor pengolahan dan pemasaran hasil perikanan dari tahun ke tahun semakin meningkat jumlahnya. Tetapi, kondisi tersebut ternyata tidak dibarengi dengan perlakuan yang baik dari perusahaan.
“Presiden Joko Widodo harus memanusiakan buruh perikanan nasional,” ucapnya.
Saat ini di Indonesia sedikitnya terdapat 12 juta buruh yang harus dipenuhi haknya sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 28E ayat (1). Di dalam konstitusi, dengan tegas dinyatakan bahwa, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; memilih pekerjaan; dan terbebas dari ancaman ketakutan untuk melakukan atau tidak melakukan pilihan yang menjadi hak asasinya.”
baca : Indonesia Berkomitmen Melindungi Hak Asasi Manusia Nelayan. Seperti Apa?
Berdasarkan data yang dihimpun KIARA, Susan mengungkapkan, para pekerja di sektor perikanan hingga saat ini masih berada di bawah sistem kerja outsourcing atau pihak ketiga, beban dan jam kerja yang sangat panjang mencapai 10 jam per hari tanpa upaya yang layak, tidak dilindungi asuransi, intimidasi, dan pemecatan sepihak.
“Kondisi ini mesti diperbaiki karena jelas bertolak belakang dengan rasa kemanusiaan dan melawan konstitusi,” jelasnya.
Dari hasil riset yang dilakukan KIARA, Susan mengatakan, pekerja perikanan atau buruh perikanan mendapatkan upah rerata Rp50.000-Rp100.000/hari untuk kapal domestik dan rerata Rp100.000- Rp150.000/hari untuk kapal asing. Jika dibandingkan dengan beban dan resiko kerja yang mereka alami, upah tersebut tergolong sangat murah.
Fakta tersebut, semakin mengukuhkan bahwa kondisi pekerja di sektor perikanan masih memprihatinkan. Meskipun, beberapa kebijakan perburuhan telah disahkan, seperti UU No.21/2000 tentang Serikat Pekerja, UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No.2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, serta UU No.24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
“Ironisnya, implementasi dari pemenuhan hak-hak pekerja masih belum dijalankan dengan baik hingga saat ini,” tegasnya.
baca : Tekad Indonesia Hapuskan Praktek Perdagangan Manusia dalam Industri Perikanan
Standar Kerja
Selain diatur dalam Perundang-undangan, Organisasi Buruh Internasional (ILO) telah merumuskan bentuk standar-standar kerja yang layak di bidang usaha perikanan tangkap, yakni Konvensi ILO No.188/2007 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan dan Rekomendasi ILO No.199/2007 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan.
Akan tetapi, Susan mengatakan, walau ILO sudah merumuskan standar kerja yang layak, hingga saat ini tidak ada satu negara pun di Asia yang sudah melakukan ratifikasi Konvensi ILO No.188/2007. Bahkan, Indonesia yang dengan berani menyatakan perang terhadap praktik perikanan illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF), hingga saat ini juga belum melakukan ratifikasi.
Walau belum meratifikasi, Susan menyebut, Indonesia sudah menerbitkan peraturan tentang pekerja perikanan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.35/2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada Usaha Perikanan. Tetapi hingga saat ini penegakan hukum bagi para pelanggar HAM para pekerja perikanan masih sangat rendah.
“Hal ini diperburuk dengan minimnya koordinasi lintas instansi seperti Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Perhubungan,” tandasnya.
baca : Mulai Hari Ini, Nelayan dan ABK Peroleh Perlindungan HAM
Berdasarkan fakta-fakta di atas, KIARA mendesak Presiden Jokowi selaku Kepala Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk:
- Meratifikasi Konvensi ILO No.188/2007 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan dan Rekomendasi ILO No.199/2007 mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan sebagai bentuk perlindungan terhadap buruh perikanan;
- Memerintahkan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menghentikan praktek-praktek hubungan industrial outsourcing dan kerja kontrak karena melanggengkan praktik perbudakan tanpa ada hubungan kerja seimbang antara pekerja dan pengusaha;
- Memerintahkan kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk menindak tegas pelaku usaha yang melanggar ketentuan hukum pidana perburuhan di Indonesia, seperti melakukan pemberangusan serikat buruh, tidak membayar upah kerja, membayar upah dibawah standar regional, dan seterusnya.
baca : Kala Perlindungan Perempuan Nelayan Masih Minim
Sertifikasi HAM
Di sisi lain, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga terus bergerak untuk mendorong para pelaku industri melakukan sertifikasi HAM pada usaha perikanan, dengan menerbitkan Permen Kelautan dan Perikanan No.2/2017 tentang Persyaratan dan Mekanisme Sertifikasi Hak Asasi Manusia Perikanan. Peraturan tersebut diterbitkan untuk melengkapi Permen No.42/2016 tentang Perjanjian Kerja Laut Bagi Awak Kapal Perikanan.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, dua peraturan yang diterbitkan itu, melengkapi Permen No.35/2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada Usaha Perikanan. Peraturan perintis itu, diterbitkan bertepatan dengan hari HAM se-dunia 2015 pada 10 Desember.
“Dengan diterbitkannya Permen, kita ingin para pekerja perikanan diakui keberadaannya. Mereka tidak lagi dianggap sebelah mata. Mereka harus diberi perlindungan penuh seperti para pekerja di industri lain,” ungkapnya.
baca : Catatan 2015 : Perlindungan Nelayan Masih Lemah
Menurut Susi, para pekerja di industri perikanan sejauh ini masih belum mendapatkan hak yang layak. Bahkan, tidak sedikit di antaranya justru mendapatkan perlakuan tidak pantas dengan dibebani jam kerja yang sangat panjang.
“Ada banyak ribuan orang yang bekerja di industri ini, dari hari ke hari tanpa jaminan yang layak. Dan mereka tidak tahu harus bagaimana. Di laut, mereka juga harus menghadapi resiko kematian dan luka. Itu semua untuk mendapatkan tangkapan ikan,” tuturnya.
Dengan adanya peraturan sertifikasi, Susi mengharapkan semua pelaku industri perikanan bisa mulai menata dirinya secara perlahan. Dengan demikian, para pekerja akan mendapatkan perlindungan penuh secara hukum maupun HAM.
Adapun, menurut Susi, perlindungan yang mendesak untuk diberikan kepada para pekerja perikanan, adalah pemberian asuransi. Menurutnya, bekerja di tengah laut itu harus menanggung resiko sangat tinggi dan penghasilan yang tidak menentu.
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) sebelumnya sudah menyatakan bahwa pekerja perikanan adalah profesi yang paling rendah komitmen HAM-nya dan karenanya banyak sekali kejadian yang menimpa para pekerja, baik itu di Indonesia ataupun di luar negeri.
Dalam keterangannya tahun lalu, BNP2TKI menyebut ada banyak warga Indonesia yang bekerja di kapal asing dan mereka tidak mendapat perlindungan penuh dan hidup di bawah tekanan dengan jam kerja yang sangat panjang. Fakta tersebut adalah persoalan tata kelola yang harus dibenahi dalam sektor perikanan.
Dengan diterbitkannya Permen No.2/2017, BNP2TKI berharap permasalahan HAM yang menimpa para pekerja perikanan bisa berkurang dan selanjutnya tidak ada lagi.
baca : Sepenting Apakah Perlindungan Internasional untuk ABK Indonesia di Luar Negeri?
Sementara, lembaga buruh internasionah atau International Organization of Migration (IOM) juga sempat merilis laporan yang menyebut adanya penipuan yang sistematis dan terstruktur dalam praktik rekrutmen ABK dari berbagai negara di Asia Tenggara. IOM mencatat, selain praktik tersebut, terselip juga praktik eksploitasi yang dilakukan secara sistematis.
Selain praktik di atas, dalam laporannya IOM menyebutkan dari berbagai pernyataan saksi mata, ada kekerasan dan pembunuhan di laut, serta membuang jasad secara ilegal, adanya kasus eksploitasi tenaga kerja dengan memaksa anak buah kapal (ABK) untuk bekerja lebih dari 20 jam per hari, melawan hukum dengan mematikan transmitter kapal, menggunakan peralatan yang dilarang dan membahayakan, alih muat kapal yang dilarang, pemalsuan dokumen dan logbook.
Terakhir, IOM mencatat ada tumpang tindih peraturan perundangan yang mengakibatkan ketidakjelasan tanggung jawab institusi pemerintah berkaitan dengan pengawasan rekrutmen tenaga kerja, kondisi kerja, perusahaan perikanan, agensi perekrutan, dan kapal.