Suara paruh bengkok riuh bersahut-sahutan di kandang penitipan burung Kantor Seksi Balai Konservasi Sumberdaya Alam (KSDA) wilayah Maluku Utara, terdengar hingga ke jalan raya, Rabu (16/5/18) sore. Dua kandang besar di depan dan belakang kantor di Jalan Batu Angus Kota Ternate Utara itu, terisi beragam paruh bengkok.
Burung-burung ini adalah hasil sitaan BKSDA maupun titipan dari aparat penegak hukum yang memproses kasus perdagangan burung dilindungi. Termasuk, 33 paruh bengkok sitaan Polres Halmahera Utara Selasa (8/5/18) di Tobelo.
“Burung-burung ini sebelumnya diserahkan untuk titip rawat ke Resort BKSDA Tobel, karena mereka tak punya kandang jadi dibawa ke kantor Seksi BKSDA di Ternate,” kata Anwar Ibrahim dari Seksi Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Maluku Utara.
Dari burung titip rawat itu ada 17 jenis nuri bayan dalam kondisi stres dan terancam mati jika tak cepat ditangani. Mereka terlihat loyo. “Nuri bayan hijau dan merah ini perlu penanganan khusus jika tidak bisa mati,” katanya.
Paruh bengkok itu hasil operasi Polres Halmahera Utara yang menangkap seorang penampung sekaligus pemburu di Kao Barat, Halmahera Utara. Dalam operasi itu, polisi mengamankan barang bukti 33 paruh bengkok, terdiri dari 17 nuri bayan (Eclectus roratus), 14 kakatua putih (Cacatua alba), dan dua kasturi Ternate (Lorius garrulus).
Operasi dipimpin Kaur Ops IPDA Aktuin Moniharapon, berhasil mengamankan tersangka Yosias bersama barang bukti.
Informasi dihimpun Mongabay, di lapangan menyebutkan, penangkapan di rumah tersangka juga menampung burung. Sebelumnya, yang bersangkutan pada 19 Maret 2018 telah menjual 19 paruh bengkok terdiri dari, 13 nuri bayan dan enam kakatua putih.
“Burung-burung itu pesanan penampung lain dari Kecamatan Tobelo, Halmahera Utara, dan akan dikirim ke Surabaya dengan kapal laut dari Pelabuhan Tobelo,” kata Aktuin.
Saat pemeriksaan polisi, pelaku mengakui, dalam satu minggu mampu mendapatkan sekitar 60 paruh bengkok. Jenis burung target dia seperti nuri bayan, kakatua putih, kasturi Ternate. Untuk kakatua jambul kuning (Cacatua sulphurea), kata Yosias lebih sulit diperoleh dibanding nuri bayan, kakatua putih, atau kasturi Ternate.
Yosias selain jadi pemburu, juga penampung paruh bengkok dari pemburu lain di Halmahera Utara.
Lantas sampai kapan paruh bengkok di kandang penitipan sebelum lepasliar? Menurut Anwar, masih menunggu proses sambil perawatan khusus 17 burung yang kondisinya memprihatinkan itu.
“Kita belum bisa memastikan. Memang dari polisi dan jaksa yang menangani kasus ini menyampaikan, pelepasliaran akan secepatnya.”
Penangkapan dan proses hukum terhadap pemburu dan pengepul paruh bengkok ini, kata Anwar, baru pertama kali di Halmahera Utara. Sebelumnya, belum banyak kasus serupa hanya tak ada proses hukum tegas, kalau ditemukan diambil burung dan dilepasliarkan. Pelaku, katanya, tak proses hukum.
“Kita apresiasi kepolisian dan kejaksaan yang memproses kasus ini. Pelakunya ditahan untuk proses hukum.”
Wilayah rawan
Menurut Anwar, Halmahera Utara merupakan salah satu wilayah paling rawan perburuan dan penyelundupan paruh bengkok. KSDA sendiri sudah menetapkan beberapa titik rawan di sana.
“Kita turut memantau ada tujuh titik pelabuhan paling rawan di Halmahera Utara.”
Pelabuhan besar maupun kecil di sana, semua rawan penyelundupan paruh bengkok karena jauh dari pantauan. Apalagi, katanya, di desa-desa di Halmahera Utara dari Tobelo sampai Galela, yang sulit terpantau petugas itu mudah keluar masuk panboat milik Filipina.
“Kita sudah mengidentifikasi dari dulu ada beberapa lokasi, misal di Kecamatan Kao Barat dan Galela. Saat ini, setelah terbuka jalan dari Halmahera Utara ke desa-desa pedalaman di Halmahera Barat penangkapan dan penjualan burung bergeser juga ke daerah itu,” katanya.
Kini petugas sudah masuk dan mengawasi daerah-daerah itu. Selain kasus ini, teranyar polisi juga menahan pemburu dan pengepul di Kokomutu Kao Barat. “Sebelumnya desa ini belum terdeteksi sebagai desa rawan,” katanya.
Dia bilang, jual beli burung ini sulit setop karena ada pihak yang memiliki modal besar menggunakan warga jadi pengepul lalu burung dikirim ke luar Malut, baik Sulawesi maupun Jawa.
KSDA berupaya melakukan pendekatan dan penyadartahuan kepada warga agar setop jual burung. Namun, katanya, mereka kesulitan karena rata-rata warga penjual alami kesulitan ekonomi.
“Rata-rata warga pemburu burung itu kurang mampu. Karena itu harus dipikirkan jalan keluar hingga mereka tak lagi menangkap burung sebagai mata pencarian,” katanya.