Setelah lima tahun ikut memantau perkembangan implementasi kebijakan perlindungan hutan (forest conservation policy/FCP) produsen kertas dunia, Asia Pulp and Paper (APP), Grup Sinar Mas, Greenpeace memutuskan menarik diri. Greenpeace menilai, produksi bubur kertas perusahaan ini masih terkait deforestasi.
Analisis pemetaan terbaru Greenpeace Internasional mengungkapkan, hampir 8.000 hektar hutan dan lahan gambut ditebang pada dua konsesi terkait APP dan perusahaan induk Sinar Mas sejak 2013.
Baca juga: Pernah Gagal, Kini APP Awali Lagi Komitmen Mereka Jaga Hutan Tropis Indonesia
Pada 2013, dalam sebuah kesepakatan dimediasi lembaga The Forest Trust, APP menyampaikan komitmen mengakhiri penebangan hutan alam Indonesia dalam memenuhi kebutuhan bahan baku pabrik bubur kertas mereka. Selain itu, APP juga berkomitmen meningkatkan transparansi akuntabilitas dalam proses penebangan. Termasuk juga berupaya melindungi hutan tersisa di konseri mereka, meningkatkan pengelolaan lahan gambut dan bekerjasama dengan masyarakat untuk menyelesaikan konflik sosial.
“Keputusan APP jadi sebuah titik balik dalam peran industri yang selama ini lekat dengan kehancuran hutan hujan tropis yang tersisa,” kata Scott Poynton, Direktur Eksekutif TFT, pada 2013 dikutip dari berita Mongabay, sebelumnya. TFT bersama Greenpeace membantu APP membuat panduan konservasi bagi pebisnis kayu raksasa ini.
Sejak komitmen itu, Greenpeace pun menyetop kampanye aktif melawan APP dan terlibat memantau pelaksanaan kebijakan konservasi hutan ini. Dalam kurun waktu lima tahun itu, Greenpeace terlibat dan mendukung APP serta memberikan saran dalam menerapkan FCP.
Baca juga: Potret 5 Tahun Kebijakan Konservasi Hutan App dari Pantauan Organisasi Lingkungan
Sempat pada Maret 2015, kala kasus pembunuhan Indra, petani Tebo, Jambi, Greenpeace, menarik diri sementara dalam setiap keterlibatan dengan APP dan fokus mendorong penyelesaian isu serius yang muncul dalam kasus itu.
“Itu kita naik turun. Kemudian mereka mau ngikutin apa yang diminta oleh masyarakat dan publik, maka kita terus mendampingi mereka,” kata Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia.
Berbagai kemajuan dicapai seperti, melakukan pendekatan stok karbon tinggi (high carbon stock approach), nilai konservasi tinggi (high conservation value), dan program memblokir saluran drainase di lahan gambut. APP sendiri mengklaim lebih dari setengah juta hektar hutan di dalam konsesi maupun areal milik pemasok telah dilestarikan.
Sayangnya, berbagai masalah masih berlanjut, termasuk pembukaan hutan dan pembalakan liar oleh pihak ketiga. Baru-baru ini temuan lapangan Greenpeace, APP masih melakukan praktik deforestasi.
Baca juga: Menanti Implementasi Lapangan dari Komitmen Konservasi Hutan APP
Kiki mengatakan, temuan ini terkonfirmasi dalam analisis pemetaan Greenpeace Internasional melalui citra satelit.
Greenpeace menyebut, APP atau Grup Sinar Mas gagal mengakui keterkaitan ke sejumlah perusahaan bubur kayu lain, termasuk sejumlah pemasok ‘independen’ APP.
“Perusahaan-perusahaan ini sebenarnya dimiliki karyawan perusahaan Sinar Mas Group, termasuk sejumlah anggota keluarga Widjaja, melalui jaringan perusahaan induk,” katanya.
Dalam keterangan Greenpeace menyebut, salah satu perusahaan bubur kayu di Kalimantan Barat yakni PT Muara Sungai Landak (MSL) dimiliki dua karyawan perusahaan yang terafiliasi dengan APP yaitu Sinar Mas Forestry. MSL terindikasi menebang hutan dan lahan gambut hampir 3.000 hektar sejak 2013.
Greenpeace mau terlibat, katanya, niatan awal kalau bisa mendorong APP yang merupakan perusahaan kayu dan bubur kertas terbesar di Indonesia untuk melakukan kebijakan FCP, bisa mendorong industri ikut menyelamatkan hutan.
“Sampai kemarin Desember ada investigasi dari AP (Associated Press) ada karyawan dari Sinarmas Grup bertindak sebagai pemilik perusahaan pulp dan banyak yang disebut APP sebagai pemasok independen, mereka melakukan deforestasi dan pembakaran,” ucap Kiki.
Temuan itu kemudian disampaikan kepada tim untuk melakukan penyelidikan sendiri. Hasilnya, ditemukan ada kerusakan hutan di sana. Greenpeace sudah menyampaikan hal itu. Perusahaan menyampaikan itu dilakukan karyawan bukan APP langsung.
“Menurut kita, ini gak bisa. Jadi harus semua grup itu menjalankan kebijakan. Meskipun mereka sampaikan ini dari grup keluarga lain tapi kami tidak tolerir.”
Apalagi, katanya, perusahaan baru bertindak setelah ada laporan dari pihak lain. Mereka, katanya, sudah punya komitmen, seharusnya mendeteksi sejak awal. “Saat mereka mendapatkan pemasok independen, harusnya investigasi dulu.”
Sejak 2013, kata Kiki, MSL sudah membuka hutan. Dari hasil temuan Greenpeace, ada beberapa nama merupakan karyawan APP dan Sinarmas terkait di situ, seperti Justinus Indrayanto dan Hendy Lie. Mereka karyawan Sinar Mas Forestry, berdasarkan informasi publik yang tidak pernah dibantah APP. Sinar Mas Forestry adalah anak perusahaan, bagian dari operasi APP dan tunduk pada FCP.
Profil perusahaan resmi menunjukkan, Justinus dan Hendy memiliki PT. Cakrawala Nusantara Cemerlang dan PT. Cemerlang Bumi Raya, memiliki PT Graha Bumi Makmur dan PT. Graha Cemerlang Jaya. Keduanya juga bertindak sebagai direktur dan komisaris di kedua perusahaan induk terakhir, yang pada gilirannya memiliki MSL secara keseluruhan.
Perusahaan lain, bergerak di bidang tambang, Golden Energy and Resource (GEAR) telah terbuka mengakui punya PT Hutan Rindang Banua (HRB), konsesi kayu dan bubur kertas seluas 265.095 hektar di Kalimantan Selatan.
Berdasarkan analisis citra satelit sejak 2013, di konsesi milik HRB, sekitar 5.000 hektar hutan ditebang.
Dari hasil analisis Greenpeace, katanya, sejak 2013, di konsesi HRB itu ada 5.000 hektar hutan sudah ditebang. “Ini memang bukan APP, tapi ini Sinar Mas. Yang kita minta itu APP dan Sinar Mas. Mungkin dari sisi keluarga beda. Karena keluarga Wijaya ini kan banyak, kita gak mau tahu.”
“Yang mereka sampaikan itu tidak di bawah anggota keluarganya Teguh Wijaya, kan yang APP ini Teguh Wijaya. Yang GEAR itu kan Franky Wijaya. Bukan anak, tapi keponakan, tapi kan tetap grupnya. Jadi kita tetap gak bisa terima. Jadi walau itu gak langsung APP, itu tetap bawa nama Sinar Mas. Apalagi ini terkait dengan konsesi kayu di Kalimantan,” katanya.
Greenpeace, katanya, meminta APP-Sinar Mas menjelaskan temuan itu. Kedua perusahaan yang terkait dengan APP, gagal memberikan penjelasan kredibel atau mengambil tindakan untuk menyelesaikannya. Temuan baru ini, katanya, menunjukkan APP maupun Sinar Mas tak serius berkomitmen kebijakan nol-deforestasi yang mereka buat.
Dia mendesak, Sinar Mas Group segera membuka terang benderang hubungan kepemilikan dengan perusahaan-perusahaan lain yang mempunyai konsesi, menghentikan pembukaan hutan serta memulihkan lahan yang mereka rusak. Menurut dia, hanya tindakan inilah yang dapat menyelamatkan APP maupun Sinar Mas dari protes masyarakat dan risiko ditinggalkan pelanggan mereka.
“Semua pelanggan dan investor APP, Sinar Mas harus menuntut perusahaan-perusahaan ini berterus terang soal kepemilikan atau hubungan perusahaan yang terkait dengan mereka.”
“Segera menghentikan praktik-praktik deforestasi baik APP, Sinar Mas atau perusahaan lain yang memiliki hubungan dengan grup Sinar Mas. Jika ini tidak dipatuhi, semua pelanggan harus membatalkan kontrak dan menjauhi APP, Sinar Mas.”
Setelah putusan hubungan ini, katanya, kalau ada temuan lapangan langsung sampaikan ke publik. “Selama ini, kita langsung tanyakan ke mereka, kalau kita ada temuan karena kita ingin mengawal FCP ini sukses.”
Dalam perjalanan ada naik turun, ada perbaikan, ada pelanggaran. “Tapi kita lihat ini kategori bisa mereka perbaiki cepat atau enggak. Begitu cepat, kita gak ke publik. Yang ini, kita sudah sampaikan ke mereka juga tapi jawaban tidak bisa kami terima. Jawaban mereka tidak clear bahwa mereka akan lakukan disclose atau enggak. Jadi dari sisi strategi ini lemah. Kita sudah bilang dari awal, kalau kalian tidak clear, kita akan sampaikan ke publik. Ini pilihan.”
Tanggapan APP
Menanggapi hal ini, APP dalam keterangan tertulis yang diterima Mongabay, kecewa dengan pernyataan Greenpeace. Selama ini, Greenpeace menjadi mitra integral dalam perjalanan keberlanjutan APP sejak 2013. Keterlibatan dan dukungan Greenpeace untuk APP dianggap menghasilkan banyak kemajuan dalam memerangi deforestasi di Indonesia.
“Greenpeace berperan penting dalam penyusunan kebijakan konservasi hutan, yang membantu APP mencapai rantai pasokan bebas deforestasi,” bunyi keterangan itu.
APP juga telah mengidentifikasi dan melindungi lebih 600.000 hektar hutan alam melalui penerapan pendekatan stok karbon tinggi dan nilai konservasi tinggi dalam konsesi mereka dan pemasok (pihak ketiga).
“Pernyataan Greenpeace, bagaimanapun, telah memperluas masalah ini ke seluruh Grup Sinar Mas, yang berada di luar lingkup FCP,” katanya.
Selama tiga bulan terakhir, APP telah berkomunikasi dengan Greenpeace secara transparan untuk mengatasi masalah yang diangkat dalam AP.
“Kami telah memberikan konteks tentang masalah kepemilikan dalam rantai pasokan kami dan menjelaskan APP akan menolak setiap perusahaan yang melanggar FCP. Kami terlepas dari siapa pemegang saham mereka, bahkan jika mereka adalah organisasi milik keluarga Widjaya. Sinar Mas Forestry adalah divisi dalam APP dan bukan perusahaan saudara, dan karena itu, APP bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukan oleh SMF.”
APP mengatakan, isu-isu yang dikutip Greenpeace dalam pernyataan mereka berfokus pada tindakan bisnis yang tak berada di bawah yurisdiksi langsung APP. Bahkan, berada di luar komitmen FCP asli.
“Kami diberitahu tentang niat Greenpeace untuk mengurangi keterlibatan mereka dengan APP pada Februari, sebagian sebagai hasil dari kekhawatiran yang diangkat dalam laporan AP.”
Mengenai masalah terjadi di MSL, menurut APP, pada 2014, para pemangku kepentingan meminta APP untuk memperjelas hubungan dengan 70 perusahaan kehutanan termasuk MSL. APP pun menunjuk empat auditor besar sebagai pihak independen untuk mengaudit hubungan APP dengan MSL dan perusahaan lain di dalam dan luar rantai pasokan APP. Hal ini dilakukan untuk menentukan hubungan ekonomi APP dengan mereka.
“Audit menyimpulkan, MSL tak memiliki hubungan dengan APP dan tak ada kayu mereka dari rantai pasokan kami. Itu tetap berlaku sampai hari ini.”
“Sebagai akibat dari tuduhan yang dibuat dalam laporan AP, kami melakukan penyelidikan dan menemukan, tiga pemegang saham MSL, dan tak termasuk dua seperti yang tercantum dalam laporan dan pernyataan Greenpeace, memiliki hubungan dengan APP. Dua mantan karyawan APP yang meninggalkan kami pada Oktober 2015 dan November 2015. Satu adalah karyawan saat ini belum menyatakan kepemilikan saham dan posisi dalam MSL.”
“Ini merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik APP karena menunjukkan konflik kepentingan langsung. Karyawan itu diberhentikan dengan segera.” Hasil investigasi ini segera disampaikan kepada Greenpeace.
Selain itu, perusahaan lain yang diangkat dalam pernyataan Greenpeace: GEAR, APP tak dapat berbicara atas nama mereka. GEAR, sebut APP, beroperasi independen dan tak memasok kayu ke APP.
“Luas lahan 8.000 hektar yang disebutkan dalam pernyataan mengacu pada konsesi yang tak dimiliki APP, dan yang tak memiliki yurisdiksi atasnya. APP tidak membeli pasokan kayu dari pemilik konsesi ini.“
Meski begitu, APP mengakui, Greenpeace, bersama LSM lain telah bersusah payah menunjukkan kepada APP bahwa pengelolaan hutan yang bertanggung jawab tak hanya penting dalam memerangi perubahan iklim, juga memberikan manfaat ekonomi bagi perusahaan.
Hal ini juga telah jadi faktor kunci dalam mengubah budaya organisasi APP, yang telah berkontribusi pada kemajuan hingga kini.
Link pemantauan Greenpeace:
Pantauan Greenpeace terhadap MSL
Pantauan Greenpace terhadap GEAR
Foto utama: Alat berat milik PT Mutiara Sabuk Katulistiwa (MSK) dengan PT Setia Agro Lestari (SAL) melakukan pembuatan kanal di areal moratorium SMG/APP di kawasan yang menjadi komitmen. Foto pemantauan terhadap komitmen kebijakan konservasi hutan APP ini diambil oleh Jikalahari ini pada September 2014. Foto : Jikalahari