Warga Desa Braja Harjosari, satu dari 37 desa penyangga Taman Nasional Way Kambas, Lampung, memiliki cara jitu dalam memandang konflik dengan gajah sumatera. Mereka sudah move on. Pertikaian dengan mamalia besar tersebut tidak lagi dianggap sebagai hal merugikan, sebaliknya memberikan peluang ekonomi baru.
Cerita tentang konflik dan upaya mitigasinya diubah sebagai daya tarik wisata. Alhasil, tak sedikit pelancong mancanegara berkunjung ke desa bernuansa Bali ini. Tidak hanya ingin mendapatkan pengalaman, mereka juga tertarik melihat langsung bagaimana perseteruan itu diminimalisir.
“Sudah lebih 10 kali, saya memandu wisatawan asing yang ingin melihat dan terlibat dalam upaya mitigasi konflik,” kata I Wayan Toni Candra, pemandu wisata yang juga Wakil Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Braja Harjosari Desa Braja Harjosari, Kecamatan Braja Slebah, Kabupaten Lampung Timur, Lampung, Jumat (11/5/2018) sore.
Selain Toni, demikian dia disapa, Ketua Pokdariws Braja Harjosari yang juga mantan Kepala Desa Braja Harjosari periode 2012 – 2017, Misbahul Munir ikut mendampingi.
Saya sering diminta mengantar mereka (wisatawan mancanegara) ke jalur-jalur yang dilewati gajah. Mereka ingin melihat bukti cerita gajah yang merusak kebun warga seperti tanaman atau pohon yang dirusak, jejak, maupun kotorannya. “Termasuk mereka ingin mengetahui bagaimana warga menghalau gajah tidak masuk kampung,” tambah Toni yang mulai jadi pemandu pada 2017.
Baca: Penelitian: Jumlah Gajah Sumatera di Way Kambas Dapat Diperkirakan Melalui Kotorannya
Inisiatif memanfaatkan konflik dan upaya mitigasi menjadi daya tarik wisata ini tidaklah muncul seketika. Kajian diawali oleh intervensi Konsorisum ALeRT – Unila (Aliansi Lestari Rimba Terpadu – Universitas Lampung) dengan dukungan Tropical Forest Conservation Action – Sumatera (TFCA-Sumatera) yang mendorong agar desa mengembangkan wisata. Salah satunya, dengan memanfaatkan potensi desa seperti pertanian tradisional, budaya (kerajinan dan kesenian), dan alam.
Ternyata, sebagian wisatawan mancanegara juga tertarik dengan cerita bagaimana warga menanggulangi konflik dengan gajah liar. Melihat peluang tersebut, Pokdarwis Braja Harjosari membuat paket khusus.
Wisatawan akan diajak berjaga di gubuk atau menara pemantau gajah, menggunakan senter besar. Sembari ronda, wisatawan diajak membakar ikan yang keramba ikannya memang dibuat di tepi sungai Way Penet.
“Kalau beruntung, ketika ada gajah liar mau masuk ke desa, mereka bisa bergabung menghalau. Bila tidak ada, akan dibuat simulasi, seperti menghidupkan mercon atau kembang api, cara yang digunakan untuk mengusir gajah,” kata Toni.
Baca: Di Lampung, Penangangan Konflik Gajah dengan Manusia Terus Dilakukan. Caranya?
Pokdarwis Braja Harjosari juga menawarkan paket susur Way Penet, sungai yang menjadi batas antara kawasan TNWK dan Desa Braja Harjosari, juga desa penyangga lainnya. Susur sungai ini bertujuan melihat gubuk atau menara pemantau gajah dan titik-titik tempat gajah liar berenang, menyeberangi sungai masuk ke desa mereka.
“Kini, konflik dengan gajah sudah dianggap sebagai peluang baru, digunakan untuk pendapatan warga dan pengembangan desa,” kata Misbahul, saat kami menyusuri sungai Way Penet menggunakan perahu bantuan Balai Taman Nasional Way Kambas.
Menurut catatan Misbahul, jumlah turis yang berkunjung ke Braja Harjosari terus meningkat. Bila pada 2015 sekitar 115 orang, di 2016 ada 240 orang, sedangkan 2017 menjadi 280 orang. Untuk 2018 ini sudah 70 orang yang datang. Asal wisatawan juga beragam, mulai dari Australia, Jepang, China, Norwegia, Amerika Serikat, dan Inggris. “Pemerintah Kabupaten Lampung Timur juga telah memberikan perhatian dan dukungan terhadap upaya kami ini,” tambahnya.
Baca: Belasan Gajah Betina Masuk Perkampungan Warga di Semaka, Ada Apa?
Mitigasi
Dosen Biologi Fakultas Matematika – Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Lampung yang terlibat mendampingi Desa Braja Harjosari, Elly Lestari Rustiati mengatakan, pengembangan ekowisata terkait mitigasi konflik gajah bisa mendukung penghidupan atau pendapatan masyarakat dan upaya konservasi gajah sumatera. “Perlahan, konflik dengan gajah sudah tidak lagi dianggap sebagai permasalahan, tapi sebagai alternatif sumber pendapatan,” jelasnya, Sabtu (12/5/18).
Selama ini, upaya mitigasi konflik dianggap merugikan. Selain menyita waktu masyarakat, karena harus berjaga pada malam hari, juga membutuhkan biaya tak sedikit. Pemanfaatan mitigasi sebagai bagian ekowisata bisa dijadikan pengganti atas waktu mereka. Juga, alternatif dana untuk membiayai keberlanjutan upaya mitigasi itu sendiri. “Perubahan ini diharapkan membangun harmonisasi manusia dan gajah,” kata Elly yang mendalami ilmu konservasi satwa liar.
Apalagi, sambung Elly, saat ini mulai terlihat adanya perilaku lebih bersahabat pada gajah. Bila ingin memakan jagung dan harus melewati kebun lain untuk menuju kebun itu, gajah tidak merusak kebun yang dilaluinya. Begitu pula terhadap tanaman jagung yang didatangi, gajah tidak lagi merusak pohon, hanya mengambil jagungnya.
“Gajah sudah lebih bersahabat, santun, dan tidak lagi merusak. Biasanya, dua atau tiga hari sebelum panen, gajah mulai datang, sehingga warga bersiap menanti,” jelasnya.
Baca juga: Cinta Kita yang Hilang pada Gajah Sumatera
Elisabeth Devi Krismurniati, Koordinator Pusat Latihan Gajah Way Kambas Lampung mengatakan, citra negatif gajah sumatera yang dianggap sebagai satwa perusak harus dihilangkan. Gajah banyak memiliki nilai positif ketimbang disebut “hama” yang merusak kebun masyarakat di sekitar Way Kambas.
“Di PLG ini ada Rumah Sakit Gajah, sekaligus yang pertama di Asia Tenggara guna mendukung konservasi dan menyejahterakan gajah sumatera,” terangnya.
Terkait mitigasi konflik, Devi menuturkan, dari 46 gajah yang ada di PLG, sebanyak 20 individu difungsikan sebagai ERU (Elephant Response Unit). Saat ini, sudah ada 3 unit ERU yang beroperasi, yaitu di Resort Margahayu, Tegal Yoso dan Bungur. Sementara, satu unit ERU segera beroperasi di Braja Harjosari dengan dua individu gajah patroli yang telah disiapkan.
“Gajah-gajah yang sudah terbiasa patroli tersebut memang disiagakan, guna mencegah terjadinya konflik di 37 desa penyangga Way Kambas. Ini fungsi utamanya, meski, belum secara menyeluruh terjaga,” terangnya.
Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan anak jenis gajah asia, satu dari dua spesies gajah di dunia. Beratnya bervariasi dari 2,25 ton hingga 5,5 ton per individu. Mamalia besar ini dapat tumbuh hingga tiga meter dari pundak ke kaki. Persebarannya, ada di hutan dataran rendah Sumatera.