“Kalau ini lukisan ikan hiu gergaji, dulu hiu ini banyak di perairan danau. Tapi sayang sekarang sudah punah. (Untuk kenang) orang Asei lukiskan ikan hiu gergaji di kulit kayu.”
Max Ohee, warga Pulau Asei, Danau Sentani berdiri di depan saya. Dia sedang memperlihatkan lukisan-lukisan kulit kayu yang dibuat warga. Masyarakat Pulau Asei dikenal dengan kemampuan seni mereka dalam membuat lukisan di kulit kayu.
Lukisan hiu gergaji yang dicontohkan Max, adalah satu motif yang sering diangkat oleh para seniman Pulau Asei. Lukisan lainnya kebanyakan menggambarkan keseharian masyarakat.
Pulau Asei memang dikenal sebagai satu pusat situs budaya di Kabupaten Jayapura. Penduduknya banyak yang pandai melukis kulit kayu, terinspirasi dari berbagai kekayaan alam dimana mereka tinggal. Kulit kayu yang dipakai untuk melukis pun bukan kayu sembarangan, orang setempat menyebutnya kayu khombow.
“Motif lukisan kulit kayu masyarakat Asei sangat beragam,” ucap Max.
Baca juga: Saat Ikan Endemik Danau Sentani Terancam Punah akibat Pendangkalan, Limbah dan Ikan Introduksi
Dia lalu memperlihatkan lukisan-lukisan lainnya, seperti; lukisan beberapa orang dalam perahu yang memegang panah, tifa, kapak batu, dan memegang tombak.
Lukisan kulit kayu itu dibuat dalam tiga warna. Merah, putih, dan hitam. Bahan warna merah berasal dari tanah liat, warna putih dari kapur yang biasa dipakai untuk mengunyah pinang, dan warna hitam dari arang atau abu sisa pembakaran. Semua bahan tersebut dicampur dengan minyak kelapa atau getah dari pohon sukun.
Jelas Max ada motif lukisan yang tidak boleh dibuat sembarangan. Biasanya hanya boleh digunakan oleh suku atau marga, bahkan ada yang hanya boleh dibuat oleh Ondofolo atau Ondoafi, seorang pimpinan tertinggi dalam struktur masyarakat adat Sentani.
“Lukisan seperti itu tidak boleh sembarangan, hanya Ondofolo yang bisa (lukis),” kata Max. Menurut penjelasannya, lukisan itu sakral karena berhubungan dengan aspek religi, mitologi, atau sistem kepemimpinan dalam adat.
Dalam buku “Khombow: Lukisan Kulit Kayu Masyarakat Sentani” yang ditulis Enrico Kondologit dan Ishak Stevanus Puhili (2015), dijelaskan motif yang dilukis di kulit khombow ada 12 jenis: matahari, ular, cicak, kadal, ikan, belut, kaki burung bangau, kelelawar, tupai terbang, daun-daun, bunga hutan, dan spiral atau melingkar.
Selain itu ada motif yang diukir pada perahu wanita (khayi) maupun perahu laki-laki (ifa), atau ada motif yang diukir pada dayung, tifa, piring makan, patung leluhur, dan sebagainya.
Enos Rumansara, dalam Jurnal Antropologi Universitas Cendrawasih (April, 2003), menjelaskan ciri atau karakteristik kesenian asli suatu kelompok masyarakat atau suku dipengaruhi oleh lingkungan alam. Juga tempat dimana kelompok tersebut bermukim dan sejarah pengaruhi migrasi.
Khusus untuk kesenian tradisional Papua, menurut Enos karakteristiknya dibentuk oleh kondisi alam tanah Papua. Itu terbagi ke dalam empat zona ekologis, pertama: zona rawa, pantai dan sepanjang aliran sungai, yang meliputi daerah Asmat, Jagai, Marind-Anim, Mimika dan Waropen.
Kedua, zona dataran tinggi meliputi orang Dani, Ngalun dan orang Ekari atau Mee. Ketiga, zona kaki gunung dan lembah-lembah kecil meliputi daerah Sentani, Nimboran, Ayamaru dan Muyu. Dan terakhir adalah zona dataran rendah dan pesisir, meliputi Sorong sampai Nabire, Biak, dan Yapen.
“Setiap suku bangsa yang mendiami zona tersebut di atas memiliki unsur kesenian, namun unsur kesenian dari setiap suku bangsa tersebut tidak sama (satu suku dengan suku lainnya berbeda), sesuai dengan kondisi alam dimana suku itu bermukim,” tulis Enos Rumansara dalam jurnal tersebut.
Sempat Menghilang
Tak ada seorangpun warga Pulau Asei yang dapat memastikan sejak kapan seni lukis kulit kayu mulai ada di sini. Mereka hanya meyakini kemampuan melukis sudah ada sejak nenek moyang mereka. Bermula dari para pelukis pakaian kulit kayu.
“Dulu, hanya pakaian Ondofolo yang dilukis, kalau masyarakat umum tidak. Dalam perkembangannya muncul lukisan yang dipakai warga, terinspirasi alam. Seperti danau, pohon, hewan, dan sebagainya,” ungkap Kori Ohee (57), tokoh masyarakat Pulau Asei yang juga seniman lukisan kulit kayu.
Baca juga: Sejak Tiga Ribu Tahun Lalu, Sudah Ada Jejak Peradaban di Danau Sentani
Menurutnya, ada motif kulit kayu yang berasal dari turun-temurun, tapi ada juga yang sekarang telah dimodifikasi oleh pelukisnya.
Budaya melukis di kulit kayu di Asei sempat hilang ketika peradaban baru masuk dengan membawa pakaian modern. Semua yang berbau tradisional diganti dengan pakaian seperti saat ini.
Di tahun 1975, dua antropolog Universitas Cendrawasih, salah satunya Arnold Clemens Ap, datang ke Pulau Asei. Keduanya melakukan penelitian berdasarkan catatan Belanda tentang lukisan kulit kayu yang ada di Pulau Asei. Mereka lalu mendorong masyarakat agar menghidupkan kembali tradisi melukis kulit kayu.
“Sejak itu lukisan kulit kayu mulai hidup lagi. Tapi tidak lagi sebagai pakaian, namun sebagai sebuah lukisan,” Kori bercerita.
Lukisan kulit kayu sekarang biasa dijual kepada pengunjung domestik maupun mancanegara yang datang berkunjung ke Danau Sentani. Lukisan kulit kayu akan semakin banyak peminat saat kegiatan pariwisata rutin tahunan digelar, yaitu Festival Danau Sentani di setiap bulan Juni.
Sayangnya, sekarang masyarakat di Pulau Asei kesulitan untuk mencari pohon khombow.
Tahun 1980-an, pohon khombow banyak tumbuh alami di pesisir Danau Sentani hingga kaki Pegunungan Cycloop. Seiring pesatnya pembangunan, masuknya pendatang, perumahan, hingga pembuatan jalan, pohon ini semakin sulit dijumpai.
“Pohon khombow semakin susah dan harus cari jauh sampai ke daerah Genyem, tentu berpengaruh pada ongkos. Alternatifnya, masyarakat sekarang banyak yang ganti pohon khombow dengan pohon sukun, meski kualitas beda,” kata Kori.
Sementara pohon khombow yang ditanam kembali atau yang coba dibudidaya, kualitasnya tidak sebagus pohon khombow yang tumbuh alami. Kayu tanaman, kulitnya tidak mulus dan banyak bonggolnya.
Selain itu, para seniman di Pulau Asei banyak yang mengeluh, lukisan mereka banyak ditiru oleh para pedagang souvenir di Pasar Hamadi, Jayapura.
“Sekarang banyak tiruan yang dijual di pasar Hamadi. Bahkan ada yang sudah berbentuk sablon,” ungkapnya.
Ketika saya menelusuri pusat oleh-oleh Papua di Pasar Hamadi, terlihat hampir di setiap toko terdapat lukisan kulit kayu. Lukisan-lukisan itu ada yang sudah dipakai bingkai dan ada yang dijual tanpa bingkai. Harganya bervariasi, mulai Rp50 ribu, ratusan ribu, bahkan menyentuh jutaan rupiah. Lukisan itu dipajang bersamaan dengan oleh-oleh khas Papua lainnya seperti noken, koteka, dan berbagai macam patung.
Seorang pedagang yang dijumpai di Hamadi membantah jika mereka membuat lukisan tiruan dan membuat cetakan sendiri. “Itu tidak benar,” kilahnya.
Sebaliknya, Kori menjelaskan memang sudah ada beberapa warga yang menegur para pedagang di Pasar Hamadi agar tidak lagi membuat lukisan tiruan dari kulit kayu. Jelasnya, hal itu mencederai hak kekayaan intelektual masyarakat adat.
“Mungkin saja pedagang tidak ada yang mengaku setelah ada warga yang tegur. Tapi kami warga Asei tetap berharap ada sebuah peraturan yang atur agar tidak ada yang meniru lukisan kulit kayu milik orang Asei,” harapnya.