Seekor Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea), sejenis penyu raksasa dan satu-satunya jenis dari suku Dermochelyidae yang masih hidup, terjaring nelayan di Desa Ipir, Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Minggu (27/5/2018) siang.
Penyu belimbing atau Leatherback sea turtle dengan sebutan lokal penyu raksasa, kantong atau mabo ini setelah ditemukan nelayan, di bawa ke darat dan diletakkan di pinggir jalan raya dengan kondisi yang mengenaskan. Bagian mulutnya terdapat luka dan darah terlihat mengucur.
“Saat melintas di jalan ini dan hendak ke kota Maumere sore harinya kami melihat penyu tersebut. Warga yang kami tanyai mengatakan penyu ini sudah diletakkan di pinggir jalan sejak siang hari,” sebut Oss Rebong, seorang warga kepada Mongabay Indonesia, pada Kamis (31/5/2018).
Oss mengatakan, dirinya bersama sang teman menanyakan siapa nelayan yang menangkapnya dan menyarankan agar binatang langka ini di lepas kembali ke luat. Namun warga mengatakan pemilik penyu tersebut sedang tidak berada di tempat dan tidak mengetahui keberadaannya.
“Karena terburu-buru hendak ke Maumere, setelah mengabadikan penyu tersebut dan memuatnya di Facebook, saya dan teman meneruskan perjalanan. Kami menyarankan agar penyu tersebut di lepas kembali ke laut, namun warga beralasan pemiliknya sedang tidak berada di tempat tersebut,” tuturnya.
baca : Menyedihkan.. Dua Penyu Belimbing Raksasa Ini Stress dan Luka Ditangkap Nelayan. Bagaimana Akhirnya?

Penyu tua berwarna kehitaman tersebut kesulitan bernafas dan menjadi tontonan warga masyarakat sekitar dan pengendara yang melintas.
“Ada darah yang keluar dari mulutnya dan terlihat bekas luka pada mulutnya. Penyu tersebut terlihat sekali sangat ketakutan karena dikerumuni banyak orang,” jelas Oss.
Masyarakat Memilih Diam
Agustinus Djami Koreh, Kepala Seksi Konservasi Wilayah IV pada Balai Besar KSDA NTT saat ditemui Mongabay Indonesia di kantornya, mengatakan pihaknya mendapatkan info dari media sosial pada Senin (28/5) pagi.
Kemudian langsung berkoordinasi dan mengirimkan tim ke lokasi untuk memastikan kebenaran informasi tersebut.
“Masyarakat sepertinya kurang kooperatif dan kami kurang tahu kenapa. Beberapa informasi yang kami dapatkan kami konfirmasi ke masyarakat dan beberapa oknum yang didekati termasuk aparat desa semuanya mengaku tidak mengetahui keberadaan penyu tersebut,” sebutnya.
Ketika ditanya, lanjut Agustinus, para nelayan yang di sekitar lokasi penyu tersebut dipajang mengaku tidak mengetahui keberadaan penyu ini. Meski di lokasi tersebut terdapat terdapat tanda-tanda menyerupai penyu dan ada bekas kotoran.
baca : Penelitian: Sarang Penyu Belimbing di Papua Barat Musnah 78% Dalam Tiga Dekade

“Beberapa aparat desa dan nelayan yang berada di sekitar lokasi penyu tersebut diletakan saat ditanyai mengaku tidak mengetahui siapa yang menangkapnya dan nasib penyunya apakah sudah dilepas ataukah dibunuh,” sesalnya.
Pihak BKSDA pun sebut Agustinus hanya memberikan sosialisasi dan pendidikan kepada para nelayan di sekitar lokasi tempat penyu tersebut diletakan dan juga kepada perangkat desa terkait hewan laut yang dilindungi.
Beberapa nelayan yang coba ditanyai Mongabay Indonesia pun mengaku tidak mengetahui keberadaan penyu belimbing tersebut termasuk aparat desa. Terlihat sekali masyarakat seakan menyembunyikan informasi dan ketakutan sehingga tidak menolak memberikan informasi.
Giatkan Sosialisasi
Minimnya sosialisasi dan pemahaman masyarakat bisa jadi menjadi salah satu alasan kenapa hewan laut yang dilindungi dan terjaring jaring pukat nelayan seperti penyu dan hiu diperjualbelikan bahkan dikonsumsi oleh masyarakat kabupaten Sikka.
Agustinus mengatakan BKSDA NTT wilayah IX dengan wilayah kerja 4 kabupaten yakni Sikka, Flores Timur, Lembata dan Alor, akan kembali melakukan sosialisasi dan mengedukasi para nelayan dan masyarakat terkait hewan laut yang dilindungi undang-undang.
“Mungkin bisa jadi karena ketidaktahuan nelayan, tetapi kami sering bersama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten Sikka bersama pihak LSM melakukan edukasi dan sosialisasi ke masyarakat termasuk sosialisasi lewat media sosial,” tegasnya.
Agustinus mengaku tidak tahu apakah masyarakat tidak mengetahui penyu tersebut dilindungi ataukah mengetahui dan sengaja menjual atau mengkonsumsinya.
baca : Penyu Belimbing yang Terjerat Jaring Itu Akhirnya Dibebaskan

Pada 2015, bebernya, ada laporan masyarakat yang memelihara penyu sisik dan penyu hijau dan setelah diedukasi mereka menyerahkan kepada pihak BKSDA untuk dilepas kembali ke laut.
“Kepala desa Lela juga melaporkan ada penemuan penyu dan BKSDA pun turun melakukan edukasi dan sosialisasi ke masyarakat. Dengan keterbatasan yang ada pada kami termasuk dana, tentunya kami membutuhkan kerjasama dari berbagai pihak,” terangnya.
Agutinus juga menandaskan, bila ditemukan adanya kasus yang perlu penindakan maka diserahkan kepada aparat keamanan untuk diproses hukum. Karena penyu belimbing berstatus hewan dilindungi sehingga bila ditangkap maka ada konsekuensi hukumnya.
BKSDA, tegasnya, terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dan ke depannya kami akan bekerja sama dengan apara pemerintah di desa termasuk menggandeng LSM yang konsen dan media.
Sedangkan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Pemkab Sikka Heribertus Krispinus saat ditemui Mongabay Indonesia mengakui setelah mendapatkan informasi lewat media sosial pihaknya langsung berkordinasi dengan BKSDA dan turun ke loaksi namun tidak mendapatkan informasi dari masyarakat soal keberadaan dan nasib penyu belimbing yang ditemukan warga.
Heri sapaannya sebutkan, nelayan rata-rata sudah mengetahui terkait hewan laut yang dilindungi sebab pihaknya selalu melakukan sosialisasi dan edukasi. Penangkapan dan penjualan penyu di Kabupaten Sikka sebelumnya sangat ramai dan penyu sering dijumpai dijual di pasar.
“Sebelum tahun 2010 memang penyu mudah sekali ditemukan dijual di pasar Geliting dan pasar Alok tetapi setelah dilakukan sosialisasi lambat laun tidak ditemukan lagi penyu yang dijual dan sengaja ditangkap nelayan untuk dijual dan dikonsumsi,” katanya.
baca : Hati-hati! Konsumsi Penyu Berbahaya, Berikut Ini Penjelasannya…

Perairan pantai selatan pulau Flores termasuk di pantai selatan kabupaten Sikka jelas Heri, sering dijumpai paus karena merupakan jalur migrasinya. Tetapi di pantai utara sudah tidak ditemukan paus lagi.
Dia berharap diperkuat kerja sama aparat keamanan baik polisi maupun TNI agar bisa membantu menyadarkan masyarakat terkait hewan dan mamalia laut yang dilindungi termasuk penanganannya saat ditemukan dan terkena jaring nelayan.
Senada dengan BKSDA dan DKP, Kepala Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar Suko Wardono yang wilayah kerjanya meliputi Jawa Timur, Bali, NTB dan NTT itu akan melakukan sosialisasi tentang konservasi satwa laut dilindungi kepada masyarakat. Tetapi Suko yang dihubungi Mongabay-Indonesia pada Jumat (01/06/2018) menyayangkan pihak kepolisian yang tidak responsif terhadap masalah tersebut.
Daerah Perburuan
Permana Yudiarso, Kepala Seksi Program dan Evaluasi BPSPL Denpasar menyayangkan penyu belimbing itu yang tidak diketahui keberadaannya setelah tertangkap.
“Dengan ukuran (penyu belimbing) sebesar itu, pasti telah bermigrasi jauh sekali,” katanya. Tetapi karena tidak dapat mengambil sampel daging untuk uji DNA dan dimasukkan ke database internasional untuk dibandingkan dengan DNA penyu belimbing dari negara lain, maka tidak bisa dilacak asal dan jejak migrasi.
Permana menjelaskan ada dua kejadian penyu belimbing tertangkap yaitu di pulau Solor, pantai selatan Flores pada 2017 dan di Blitar, Jawa Timur, pada 2016.
“Juga banyak penyu lekang terjerat, ditangkap dan dikonsumsi di Lamalera (Lembata, NTT). Daerah ini merupakan spot-spot penting (keberadaan dan migrasi satwa laut dilindungi) mulai dari Solor, Alor sampai Flores Timur,” jelas Permana.
baca : Seekor Hiu Paus Terjerat Jaring Nelayan di Flores Timur. Bagaimana Akhirnya?

Sedangkan Dwi Nugroho Adhiasto dari Wildlife Crime Unit (WCU) berpendapat bila masyarakat tidak memberitahu aparat keberadaan penyu belimbing yang ditangkap itu, ada kemungkinan mereka melakukan kejahatan yaitu memanfaatkan satwa itu. “Padahal kepedulian masyarakat penting untuk menyelamatkan hewan dilindungi itu,” katanya saat dihubungi Mongabay Indonesia pada Jumat (01/06/2018).
Dwi membandingkan kesadaran nelayan di Lamakera, Pulau Solor, Flores Timur, NTT yang tinggi untuk tidak menangkap satwa laut dilindungi seperti penyu, paus dan pari manta. Hal tersebut dikarenakan adanya patroli laut secara rutin.
“Masyarakat mau melaporkan ke aparat seperti DKP, BKSDA, dan sebagainya, bila ada nelayan nakal yang berburu penyu. Mereka langsung melaporkan karena tahu laporan mereka bakal ditindaklanjuti aparat,” jelas Dwi.
WCU sendiri sejak 2016 sampai sekarang mempunyai program sosialisasi konservasi tentang satwa laut dilindungi dan habitatnya dengan DKP Flores Timur dan LSM lokal Misool Baseftin. Program antara lain melakukan patroli laut dan penegakan hukum yang dilakukan bersama Polairud, Polres/Polsek Flores Timur dan WCU.
“Fokusnya programnya sebenarnya hanya pari manta. Tapi dalam prakteknya akhirnya juga menangani hiu paus, dugong, bahkan boom fishing (penangkapan ikan yang merusak) dan ilegal fishing,” tambah Dwi.
baca : Nelayan Flores Timur Mulai Enggan Tangkap Satwa Laut Dilindungi, Kenapa?

Studi Penyu
Dwi Suprapti, Koordinator Nasional Konservasi Spesies Laut WWF-Indonesia menjelaskan berdasarkan analisa foto, penyu Belimbing yang ditangkap itu berjenis kelamin betina dan usia produktif. “Hal ini berarti dengan kehilangan satu penyu betina dewasa maka terdekat kita akan kehilangan lebih dari 400 calon generasi baru dalam satu musim penelurannya,” kata Dwi yang dihubungi pada Jumat (01/06/2018).
Sejauh ini, lanjutnya, memang belum banyak series riset terkait penyu belimbing di Indonesia dan sangat jarangnya laporan kemunculan penyu Belimbing di wilayah NTT. “Sehingga belum diketahui apakah kemungkinan penyu Belimbing itu merupakan penyu dari sekitar wilayah ini ataukah penyu yang sedang mencari makan atau bermigrasi melintasi perairan Sikka,” lanjutnya.
Studi intensif terkait peneluran penyu Belimbing sejauh ini yang sudah dilakukan WWF Indonesia bersama pemerintah daerah dan kelompok masyarakat lokal adalah di pantai peneluran Jeen Womom-Papua barat, pantai Panga-Aceh dan Pantai Buru Utara-Maluku yang mana merupakan lokasi prioritas kementerian kelautan perikanan yang tertuang didalam Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi penyu periode 2016 – 2020.
baca : Pelindung Penyu dari Kepunahan itu Bernama Taman Pesisir Jeen Womom
“Temuan penyu Belimbing di perairan Sikka ini seharusnya bisa dilakukan studi DNA melalui pengambilan jaringan kulit untuk kemudian dibandingkan dengan stok DNA yang telah teridentifikasi di beberapa wilayah lainnya baik di Indonesia maupun negara lain,” jelas Dwi.
Mengingat keberadaan penyu disuatu perairan tak berarti penyu tersebut berasal dari wilayah tersebut, mengingat wilayah jelajah penyu Belimbing yang cukup luas bahkan lintas samudera, sehingga manajemen konservasi penyu belimbing adalah tugas bersama antar beberapa negara.
Dwi sangat menyayangkan keberadaan penyu ini menghilang tanpa ada informasi lanjutan. Sehingga penanganan dan studi lebih lanjut tidak dapat dioptimalkan.
Penyu belimbing sendiri merupakan satwa langka berstatus dilindungi UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemya, serta masuk dalam daftar merah IUCN sebagai satwa yang rentan terhadap kepunahan (Vulnarable)