Petani sawit skala kecil perlu mendapat perhatian demi meningkatkan kesejahteraan sekaligus mengelola kebun berkelanjutan. Pemerintah Indonesia, tengah menyusun rencana aksi nasional (RAN) sawit berkelanjutan dengan memasukkan upaya peningkatan kapasitas petani kecil dalam rancangan itu.
“Peningkatan kapasitas petani swadaya jadi salah satu kegiatan utama kami,” kata Rini Indrayanti, Manajer Forum Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (FoKSBI), April lalu.
FoKSBI merupakan platform diskusi multipihak terkait program sawit berkelanjutan. Anggota forum ini dari kalangan pemerintah, organisasi internasional, pelaku bisnis, dan organisasi non-pemerintah. Dari kalangan organisasi non-pemerintah ini antara lain Sawit Watch, Greenpeace, dan The Nature Conservancy (TNC).
Menurut Rini, RAN sawit berkelanjutan meliputi dua hal penting: isu lintas-bidang dan isu-isu strategis. Peningkatan kapasitas petani kecil, katanya, jadi poin pertama dalam isu-isu strategis selain pengelolaan dan pengawasan lingkungan, tata kelola dan mediasi konflik, serta akses pasar dan penguatan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
Program untuk petani kecil itu, katanya, antara lain peningkatan kapasitas petani untuk menggunakan bibit bersertifikasi, pelatihan praktik pertanian yang baik, dan meningkatkan akses pendanaan untuk mereka.
“Penguatan organisasi petani kecil sawit skala kecil juga amat penting sebagai bagian dari peningkatan kapasitas,” katanya.
RAN itu sendiri dibuat berdasarkan masukan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, pelaku bisnis, dan organisasi non-pemerintah. “Kami harapkan RAN ini bisa diterapkan di 18 lokasi setelah diluncurkan antara Januari hingga Mei 2018 ini.”
Menurut data Kementerian Pertanian, luas lahan sawit kelola petani skala kecil di Indonesia hampir 5 juta hektar, sedikit perusahaan negara dan swasta total 9,03 juta hektar. Umumnya, petani kecil ini mengelola lahan sawit seluas empat hektar dengan tingkat produksi antara 12 ton –16 ton per hektar per tahun.
Untuk meningkatkan produksi petani sawit, pemerintah Indonesia kini menjalan program peremajaan sawit rakyat (PSR). Melalui peremajaan di lahan yang bersatus jelas ini, pemerintah Indonesia berharap petani bisa memperoleh kepastian hukum dalam kepemilikan lahan dan meningkatkan jumlah produksi.
“Peningkatan produktivitas petani sawit skala kecil akan berdampak pada kesejahteraan sekaligus mengurangi risiko penggunaan lahan secara ilegal ataupun pembabatan hutan,” kata Hendrajat Natawidjaja, dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Siapa petani kecil?
Dihubungi terpisah, Surambo Ahmad, Deputi Direktur Sawit Watch mengatakan, Sawit Watch mendukung inisiatif RAN sawit berkelanjutan. Dengan catatan, katanya, perlu ada pendefinisian jelas dan detil terkait petani kecil itu sendiri. “Jangan sampai nanti bukan petani kecil yang diurus,” katanya.
Begitu juga soal intervensi petani kecil itu, apakah mereka bekerja langsung atau setengah menjadi buruh.
Rambo usulkan, definisi petani kecil itu, misal, ada yang bilang mereka punya lahan kurang 25 hektar. Berdasarkan definisi Serikat Petani Kelapa Sawit, petani kecil itu di bawah empat hektar.
“(Pengertian) petani kecil itu dibandingkan dengan apa? Ini masih sangat cair sekali.”
Dia berharap, definisi petani itu sendiri harus sesuai fakta di lapangan. “Dibandingkan dengan petani kecil, lebih baik gunakan definisi petani keluarga, yang jelas mereka berkebun untuk pemenuhan kebutuhan keluarga,” katanya seraya bilang, setelah defenisi jelas, lanjut pendataan hingga tak salah subyek.
Peran swasta
Sementara itu, perusahaan besar pun ambil peran membantu petani sawit. Perusahaan bisa mengajak warga sekitar perkebunan ikut mencegah kebakaran sekaligus menerapkan pertanian tumpang sari.
Demikian dikatakan Susanto Yang, CEO Sinar Mas Agribusiness and Food Kalimantan Barat, menceritakan pengalaman perusahaannya melibatkan petani kecil saat berbicara di International Conference on Palm Oil and Environment (ICOPE) akhir April lalu.
Dia menjabarkan soal program Desa Makmur Peduli Api oleh Sinar Mas sejak 2017. Ini merupakan pengembangan dari program sebelumnya, Desa Siaga Api yang ada sejak 2016. Tujuan mereka, mengajak petani kecil meningkatkan kesadaran tentang pencegahan pembakaran hutan.
Sinar Mas melaksanakan program ini, katanya, karena seringkali kebakaran hutan di perkebunan sawit. Kini, warga dilibatkan cegah kebakaran bersama. Dia bilang, perusahaan mengajarkan manajemen pengelolaan api kepada petani kecil, termasuk sistem deteksi dini jika terjadi kebakaran.
“Dalam pengelolaan kebakaran hutan, kami mempertimbangkan tiga hal, iklim, komunitas, dan perusahaan,” katanya.
Namun, kata Susanto, siaga kebakaran saja tak cukup. Petani kecil harus terlibat dalam sistem pertanian ekologis dan terintegrasi, misal menerapkan sistem tumpang sari di lahan perkebunan dengan tanaman-tanaman sumber pangan, antara lain jagung, padi, dan cabai. Dengan begitu, katanya, petani kecil memiliki sumber pendapatan lain, tak hanya dari sawit.
“Karena kalau siaga kebakaran saja tapi tidak sejahtera, tidak akan berkelanjutan,” katanya.
Sinar Mas juga memberikan penghargaan dengan membangun infrastruktur di desa-desa yang telah menerapkan manajemen kebakaran hutan dan pertanian ekologis terintegrasi. “Kami memberikan reward tak dalam bentuk tunai tetapi pembangunan fasilitas umum, seperti masjid dan jalan kampung.”
Hingga April 2018, program Desa Makmur Peduli Api dilaksanakan di Kalimantan Barat, Jambi, dan Riau. Melalui program ini, Sinar Mas mengklaim telah melakukan konservasi 2.600 hektar lahan gambut dan 3.500 hektar hutan. Mereka sendiri telah membangun 373 kanal, 18 menara kebakaran, serta 15 waduk air.
Dengan berbagai upaya itu, katanya, mereka bisa mengurangi kebakaran di Ketapang, Kalimantan Barat. Dia menyebut, titik api di wilayah itu pada 2015 213 titik, pada 2016, tinggal 23 dan 2017 ada 12 titik panas. “Selama dua tiga tahun terakhir, tidak lagi terjadi kebakaran di wilayah kami.”
Berdasarkan laporan Kinerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2017, secara nasional luas kebakaran di Indonesia memang terus berkurang. Pada 2015, kebakaran lahan mencapai 2,61 juta hektar. Setahun kemudian jadi 438.363 hektar dan tinggal 165.528 hektar pada 2017. Tahun lalu juga tak terjadi asap lintas-negara sebagaimana terjadi 4 hari pada 2016 dan 21 hari pada 2015. Kalimantan Barat termasuk salah satu dari tujuh provinsi prioritas dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan tingkat nasional.
Keterangan foto utama: Sawit petani di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Pemerintah tengah menyusun rencana aksi sawit berkelanjutan, dengan salah satu poin upaya peningkatan kapasitas petani kecil. Sawit Watch mengingatkan, harus ada kejelasan definisi petani kecil agar tak salah sasaran. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia