Selama setahun, Koalisi Anti Mafia Hutan, menganalisis struktur kepemilikan dan kepengurusan 33 perusahaan pemasok bahan baku kayu Asia Pulp and Paper (APP) dengan sekitar 2,6 juta hektar konsesi hutan tanaman industri (HTI), ditambah dua perusahaan pemasok prospektif mereka.
Hasil analisis ini menemukan, 24 dari 27 pemasok kayu mitra ‘independen’ APP terindikasi memiliki kaitan erat dengan Sinar Mas Grup (SMG). Laporan juga membedah struktur kepemilikan grup usaha kehutanan dalam SMG yang mengalir jauh hingga ke perusahaan-perusahaan di negara surga pajak (offshore jurisdiction).
Dengan analisis yang memperlihatkan konsolidasi kepemilikan perusahaan HTI melalui pengendalian saham oleh orang-orang yang terindikasi sebagai pejabat atau mantan pejabat Sinar Mas Grup atau afiliasinya patut diwaspadai sebagai struktur atas-nama (nominee structures). Ia bisa saja dipakai untuk tujuan-tujuan lain, seperti penghindaran kewajiban pajak dan, atau pengelakan risiko.
”Ada kejanggalan, dari 24 perusahaan disebut sebagai mitra independen APP terdaftar berkantor di tempat sama dengan Kantor Pusat Grup Sinar Mas,” kata Syahrul Fitra, peneliti Yayasan Auriga dalam peluncuran laporan ini di Jakarta. Kantor-kantor itu, katanya, seperti Sinar Mas Grup di Plaza BII, Jakarta dan Wisma Indah Kiat, Tangerang.
Laporan berjudul “Tapi, Buka Dulu Topengmu: Analisa Struktur Kepemilikan dan Kepengurusan Perusahaan Pemasok Kayu Asia Pulp and Paper (APP) di Indonesia” ini dibuat untuk melihat saling keterhubungan antara pemilik saham melalui keterkaitan kepemilikan dan kepengurusan, antara APP dan atau SMG dengan perusahaan-perusahaan pemasok dan pemasok prospektif, yang disebut APP sebagai mitra ‘independen.’
Koalisi mengurai satu persatu perusahaan, dari kepemilikan saham mayoritas, sampai yang minoritas itu berujung ke mana. Lewat penelusuran profil perusahaan sampai data resmi terbaru, 16 April 2018, beragam informasi, termasuk jejaring sosial dan berita media massa, mengindikasikan, banyak pemegang saham, komisaris, dan pengurus ke-24 perusahaan ini juga pejabat atau mantan pejabat pada anak-anak usaha Sinar Mas Group.
Kepemilikan perusahaan itu, katanya, mengalir ke delapan nama perorangan, yakni TW, SN, HA, MG, FM, MS, ST dan LTN. Tujuh dari mereka, merupakan pegawai atau mantan pegawai di anak perusahaan Sinar Mas, termasuk Sinar Mas Forestry.
Ada juga 16 orang lain terdaftar sebagai komisioner dan direktur yang ternyata bekerja atau pernah bekerja pada perusahaan Sinar Mas.
”Lingkaran hubungan itu terlihat, bagaimana terafiliasi antara satu dengan yang lain,” katanya. Hal itu memperlihatkan, tak lain, tak bukan karena dimiliki ownership sama.
Satu contoh polanya, kata Syahrul, jabatan pada bagian sumber daya manusia di PT Wirakarya Sakti dan bagian keuangan dan akuntasi PT Arara Abadi dipegang orang sama. Keduanya, merupakan pemasok independen dari APP Sinar Mas.
Dengan pola ini, ada dugaan terjadi praktik pengaturan harga yang menyebabkan potensi kehilangan pendapatan negara dari sektor pajak. ”Ada potensi konsolidasi dan kesepakatan yang dibuat perusahaan pemasok kayu dengan APP, hingga bahan baku dijual murah ke perusahaan itu.
Kalau ditempatkan harga tinggi, katanya, pembayaran Pendapatan Negara Bukan Pajak dan Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi, akan besar.
Hal ini terlihat dari kepemilikan saham dari belasan perusahaan dari negara surga pajak di PT Purinusa Ekapersada, yang merupakan perusahaan induk dari beberapa pemasok kayu dan pabrik pulp and paper milik Sinar Mas Grup. Secara bersamaan, lima anggota keluarga Widjaja merupakan pemegang saham pengendali Purinusa.
“Pemegang saham lain termasuk 20 perusahaan berbadan hukum Singapura, Mauritius, Jepang dan Belanda.”
Dia bilang, dari kerumitan struktur yang tergambar dalam jejaring pemegang saham mayoritas dan minoritas pada 24 perusahaan pemasok ‘independen’ ini perlu diawasi dan diwaspadai.
“Ini bisa saja dipakai untuk tujuan-tujuan lain seperti penghindaran kewajiban pajak” katanya. Meski demikian, dia tak mengatakan Sinar Mas melakukan pengemplangan pajak karena perlu bukti.
Tama Satya Langkun, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan, ada kemungkinan negara kehilangan pendapatan karena struktur kepemilikan perusahaan di Indonesia, bahkan, ada korelasi di negara surga pajak.
Siti Rakhma Mary Herwati, kuasa hukum publik dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menyebutkan, temuan ini membuktikan ketimpangan penguasaan lahan oleh korporasi pada komoditi tertentu.
Kondisi ini, katanya, membuat keleluasaan bagi jaringan mereka dari sisi pertanggung jawaban hukum jika terjadi kasus kebakaran hutan maupun deforestasi.
Dia sebutkan, kasus PT Bumi Mekar Hijau, di Sumatera Selatan, APP melepas tanggung jawab terhadap perusahaan yang memasok kayu kepada mereka.
“Patut ditelusuri pemasukan ke kas negara, apakah menimbulkan kerugian?”
Tindak lanjut
Pada Maret 2018, keluar Peraturan Presiden Nomor 13/2018 yang mengharuskan perusahaan-perusahaan di Indonesia mengumumkan pemilik manfaat (beneficial ownership) dalam rentang waktu satu tahun setelah peraturan berlaku. Aturan ini dibuat guna mencegah dan memberantas tindakan pencucian uang dan pendanaan terorisme.
“Peraturan ini juga bisa berdampak signifikan terhadap penerimaan negara sektor sumber daya alam karena dapat membendung kehilangan penerimaan pajak dan meningkatkan akuntabilitas perusahaan,” kata Syahrul.
Dengan akuntabilitas perusahaan sumber daya alam ini, katanya, bisa andil dalam membantu penanggulangan kerusakan lingkungan, membatasi konflik antara perusahaan dan masyarakat dan meningkatkan kinerja penerimaan pajak.
Kalau dikaitkan dengan laporan koalisi, berdasarkan telaah terhadap data publik yang tersedia di pemerintah, lima anggota Keluarga Widjaja, pemilik Sinar Mas Grup, dan lebih dari 20 perusahaan cangkang di negara-surga-pajak merupakan pemilik manfaat (beneficial owners) perusahaan pemasok milik sendiri dan pabrik-pabrik pulp and paper APP di Indonesia.
Perusahaan-perusahaan cangkang itu, seperti disebut dalam laporan, terdaftar di Singapura, Hong Kong, British Virgin Islands, Mauritius, Jepang, Malaysia dan Belanda.
Laporan ini, kata Syahrul, juga diserahkan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Dalam Pasal 27 UU KPPU Nomor 5/1999, katanya, menyebutkan pelarangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Model bisnis Sinar Mas ini, katanya, berpotensi ada soal penetapan harga, manipulasi laporan keuangan dan informasi.
Selain melakukan pemeriksaan, koalisi meminta menindak perusahaan-perusahaan yang terindikasi melakukan pelanggaran.
Apa kata APP?
Suhendra Wiriadinata, Direktur APP Sinar Mas menyebutkan, perusahaan telah mempelajari rinci laporan yang dikeluarkan Koalisi Anti Mafia Hutan. Dia bilang, tidak yakin sebenarnya kesalahan apa yang dituduhkan kepada APP Sinar Mas.
Menurut dia, hal wajar untuk sebuah perusahaan yang memiliki hubungan signifikan dengan perusahaan lain dalam rantai pasokan, baik dalam hal ekonomi maupun operasional.
”Terlebih dalam rantai pasokan yang sangat terintegrasi, seperti rantai pasokan kami,” katanya.
Koalisi menyatakan ada “kemungkinan penggelapan pajak” dan “menghindari tanggung jawab,” katanya, hal itu tak memberikan bukti kesalahan apapun.
”Berdasarkan hukum Indonesia, ada persyaratan ketat soal kepatuhan hukum dalam kepemilikan perusahaan, dan APP Sinar Mas mematuhi semua hukum dan ketentuan berlaku.
Soal upaya APP Sinar Mas gunakan pemasok independen untuk memudahkan perusahaan mencapai sertifikasi keberlanjutan, katanya, tak mencerminkan relasi sama sekali dengan badan sertifikasi.
Mereka, katanya, sudah menerapkan standar tunggal, yakni kebijakan konsevasi hutan di sepanjang rantai pasokan, terlepas dari apakah APP Sinar Mas memiliki saham di pemasok itu atau tidak.
“Kami melakukan ini karena satu-satunya hal yang akan mempermudah kami mencapai sertifikasi keberlanjutan adalah memastikan keberlanjutan seluruh rantai pasokan kami,” katanya.
Dia menjelaskan, fokus utama APP Sinar Mas adalah memastikan pasokan kayu bebas dari deforestasi.
Hubungan dan pengaruh APP Sinar Mas terhadap para perusahaan pemasok, katanya, merupakan salah satu faktor kunci yang memungkinkan korporasi memastikan hal itu.
Informasi dalam laporan koalisi soal struktur kepemilikan perusahaan dalam rantai pasokan itupun, katanya, memang dari sumber-sumber yang dapat diakses publik, termasuk informasi yang APP Sinar Mas buka sendiri ke publik.
Perusahaan, katanya, akan melibatkan auditor pihak ketiga meninjau seluruh bisnis kehutanan di Indonesia. Upaya ini, katanya, guna menentukan jika ada karyawan APP Sinar Mas terlibat dalam bisnis-bisnis yang memiliki konflik kepentingan dengan perusahaan.
”Kami akan mengadakan lokakarya untuk mendiskusikan hasil audit ini dengan pihak-pihak berkepentingan setelah laporan selesai. Kami harap ini dapat menjadi akhir dari segala tuduhan tidak berdasar ini.”
Laporan Koalisi berjudul Tapi, Buka Dulu Topengmu
Keterangan foto utama: Salah satu pemasok APP di Riau. Foto: Rhett Butler/ Mongabay