Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengajak para pengusaha perikanan tuna agar berkomitmen terhadap keterlacakan (traceability) dan sertifikasi produk perikanan. Dengan demikian, produk perikanan Indonesia akan lebih memiliki daya saing di pasar global.
Susi Pudjiastuti menyatakan hal tersebut seusai menutup Konferensi Tuna Bali ke-3 (3rd Bali Tuna Conference) di Kuta, Badung pada Jumat (01/6/2018). Konferensi diadakan dua hari bersama dengan 6th International Coastal Tuna Business Forum (ICTBF-6) di tempat yang sama.
Dalam sambutan penutupnya, Susi mengatakan selama tiga tahun terakhir Indonesia sudah berkomitmen untuk memerangi praktik perikanan ilegal, tak terlaporkan, dan tak sesuai aturan atau Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing.
“Kenapa kami melakukan pemberantasan IUU Fishing ini, karena kami tidak bisa berkompromi. Nelayan Indonesia selama ini hanya menangkap, tetapi tidak ada ikan yang datang lagi. Orang yang menangkap bertambah. Perahu yang berlayar bertambah. Namun, ikan tambah sedikit dan terus sedikit. Populasi ikan di Indonesia hanya tinggal 50 persen atau bahkan kurang,” kata Susi di depan sekitar 300 peserta konferensi.
baca : Mencegah Habisnya Ikan-ikan di Pusat Panen Tuna Dunia. Ada Apakah?
Menurut Susi, berkurangnya pasokan ikan itulah yang membuat Indonesia berkomitmen kuat untuk mulai menerapkan perikanan berkelanjutan. “Kita harus melakukan sesuatu. Saya sendiri tidak bisa menyelesaikan dengan mudah. Untuk itu kita harus bekerja keras,” ujarnya.
Melalui sejumlah kebijakan yang diterapkannya, Susi mengutip penelitian dari Universitas Santa Barbara bahwa jumlah ikan di Indonesia saat ini naik tiga kali lipat, ketika jumlah ikan di tempat lain justru berkurang.
“Saat saya berkunjung ke Merauke dan Timika, salah satu nelayan datang dan bilang, ‘terima kasih karena Ibu bawa cakalang ke sungai-sungai kami.’ Ikan-ikan tuna itu berenang ke ke sungai mereka sekarang. Ini sesuatu yang tidak biasa, tetapi terjadi,” ungkapnya.
Untuk itu, Susi berharap, keberhasilan Indonesia dalam tatakelola perikanan ini diikuti negara-negara lain agar sehingga mereka bisa belajar dari kita.
baca : Perikanan Tuna Bertanggung jawab dan Berkelanjutan Diterapkan di Indonesia, Bagaimana Itu?
Bali Tuna Conference merupakan agenda dua tahunan untuk membahas pelbagai isu terkait tuna. Salah satu poin penting dalam konferensi tahun ini adalah tentang pentingnya sertifikasi bagi tuna dari Indonesia. Sertifikasi ini selain berfungsi untuk menjaga keberlanjutan ikan tuna dari Indonesia juga untuk meningkatkan daya saing tuna di pasar global.
“Pengusaha-pengusaha harus bisa menjaga traceability. Sertifikasi juga jangan lupa. Karena tanpa sertifikasi, transaksi jual beli (di pasar global) itu sangat sulit bahkan tidak bisa. Dengan sertifikasi ini, tuna Indonesia bisa mendapatkan harga premium sehingga bisa berkompetisi di pasaran dunia,” lanjutnya.
Aspek lain yang menjadi perhatian selama konferensi adalah masalah hak asasi manusia (HAM). Menurut Susi, kebijakan perikanan di Indonesia sudah sejalan dengan HAM. “Jadi pasar dunia sudah peduli dengan keberlanjutan, dunia ini sudah peduli dengan HAM. Kita tidak boleh lagi melakukan sebuah industri dengan manajemen semau kita. Ada aturan dan standar dunia. Kita semua sudah mengarah ke yang lebih baik yaitu keberlanjutan,” kata Susi.
baca : Sudahkah Indonesia Manfaatkan Potensi Perairan Lepas untuk Tuna?
Strategi Penangkapan
Terkait keberlanjutan tuna itu, maka Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama International Pole & Line Foundation (IPNLF) meluncurkan Kerangka Kerja Strategi Penangkapan Sementara (Interim Harvest Strategy Framework) dalam konferensi tahun ini. Secara sederhana strategi ini adalah panduan untuk memantau dan menilai jumlah pasokan perikanan. Dari jumah pasokan itu kemudian bisa ditentukan seberapa banyak tangkapan tuna yang diperbolehkan agar tidak merusak ketersediaan di laut.
John Burton, Ketua IPNLF mengatakan, strategi ini menggunakan algoritma kompleks dan ilmiah sehingga memperoleh standar yang ditentukan. “Di sisi lain juga mudah karena bisa menjadi panduan dalam penangkapan ikan. Jika pasokan sudah di bawah standar, maka jumlah tangkapannya harus dikurangi agar tidak mengganggu keberlanjutan pasokan,” kata John.
IPNLF adalah organisasi non-profit berpusat di London, Inggris dengan misi mengembangkan, mendukung, dan mempromosikan penangkapan tuna dengan metode satu-demi-satu (one-by-one). Metode ini menangkap tuna hanya satu ekor dengan satu alat pada sekali melaut.
Organisasi yang terbentuk sejak 2012 ini meyakini bahwa metode satu-demi-satu merupakan salah satu bentuk bisnis perikanan yang bertanggung jawab. Tujuannya tetap untuk menjaga keberlanjutan ikan tuna, terutama jenis tuna mata besar (bigeye tuna), madidihang (yellowfin tuna), dan cakalang (skipjack tuna).
Saat ini IPNLF memiliki 53 anggota yang tersebar di 33 negara, termasuk Indonesia. Sebagian besar adalah pelaku bisnis tuna termasuk Asosiasi Perikanan Pole & Line dan Handline Indonesia (AP2HI). Mereka juga bekerja sama dengan KKP serta Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI).
baca : Perlukah Indonesia Jadi Pengekspor Tuna Terbesar Dunia?
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, Zulficar Mochtar menambahkan bahwa Indonesia sebenarnya sudah memiliki beberapa strategi pengelolaan tuna seperti rencana pengelolaan, pasokan, dan kuota. Namun, strategi itu masih hanya versi pemerintah. Bedanya, strategi baru ini dibuat berdasarkan diskusi antara pemerintah dan pelaku industri. Isinya pun lebih detail. “Ini sebagai bentuk komitmen kita terhadap tuna berkelanjutan sesuai kebutuhan pasar dunia saat ini,” katanya.
Strategi ini juga membahas lebih detail dalam penentuan jumlah tuna yang bisa ditangkap dan bagaimana pengawasannya. Saat ini, pasar global tuna makin menuntut tuna yang jelas asal usulnya (traceable), tidak ditangkap dengan melanggar HAM, serta tidak merusak lingkungan.
“Strategi ini merupakan satu langkah ke depan menuju keberlanjutan tata kelola perikanan. Nanti didukung lagi dengan manajemen keterlacakan dan sertifikasi. Kalau ini semua terpenuhi, maka tuna kita bisa mendapatkan harga premium dan pasokan tetap terjaga,” tambahnya.
Zulficar Mochtar mengatakan nilai ekonomi perdagangan produk perikanan tuna Indonesia sangat besar. Komoditas ini dapat terus dimanfaatkan tetapi harus tetap mengedepankan aspek keberlanjutan agar perikanan tuna tetap lestari.
Data resmi FAO melalui SOFIA pada tahun 2016 terdapat 7,7 juta metrik ton tuna dan spesies seperti tuna ditangkap di seluruh dunia. Di tahun yang sama Indonesia berhasil memasok lebih dari 16 persen total produksi dunia dengan rata-rata produksi tuna, cakalang dan tongkol Indonesia mencapai lebih dari 1,2 juta ton per tahun. Adapun volume ekspor tuna Indonesia pada tahun 2017 mencapai 198.131 ton dengan nilai 659,99 juta USD.
Dalam konferensi di Bali, juga ditandatangani komitmen bersama antara KKP dan IPNLF. Pembeli produk tuna yang tergabung dalam IPNLF akan membeli produk tuna dengan harga premium. Perusahaan itu antara lain Anova Food, Fish Tales, Followfish, Frinsa del Noroeste, dan Green World Company. KKP juga mendorong agar perusahaan-perusahaan tuna mendapatkan sertifikat dari Marine Stewardship Council (MSC).
Skema kerja sama dengan MSC dan asosiasi perikanan tuna yang didukung IPNLF ini tidak dipungut biaya sama sekali untuk mendapatkan sertifikat MSC “Pemerintah membangun skema agar tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan sertifikat tersebut. Semuanya gratis,” ungkap Zulficar.