Azwar, usai melepaskan ikatan tali penambat perahu pencari ikan. Setiap pagi lelaki 32 tahun ini berkeliling di sepanjang kanal milik perusahaan perkebunan kayu, PT Bukit Batu Hutani Alam, memeriksa lukah atau bubu. Ia alat penangkap ikan tradisional terbuat dari bambu ataupun jaring berbentuk kotak dan lonjong.
Biasa Azwar menebar puluhan bahkan belasan bubu di tempat berbeda. Menjelang sore, dia kembali ke desa.
Hasil tangkapan selama satu minggu, katanya, bisa 10 hingga 15 kilogram. “Musim-musiman, kalau lagi ikan lagi banyak terutama tuakang per bulan bisa satu ember besar sekali narik bubu. Kalau gabus, kepar-kepar agak sulit karena harus pakai umpan. Jika beruntung ngangkat bubu, cuma satu, dua ekor,” katanya.
Hampir seluruh warga di Desa Temiang, Kecamatan Banda Laksmana, Kabupaten Bengkalis, Riau, sebagai nelayan. Ia mata pencaharian utama warga. Saat musim ikan menipis, sebagian dari mereka jadi buruh serabutan guna mencukupi keperluan sehari-hari.
Laju perahu yang kami tumpangi melambat dan menepi pada bubu yang sudah dia pasang. Azwar menarik rajutan bubu perlahan. Ikan-ikan tuakang dalam bubu terlihat menggelepar, sesaat ditarik keluar dari air. Dia bersyukur tangkapan cukup banyak.
Setelah puas berkeliling sekitar dua jam mengitari kanal-kanal dan mengangkat sekitar enam bubu, kami kembali pulang. Matahari sudah mulai menghangat. Hasil tangkapan akan dijual ke Kelompok Nelayan Sungai Kanal.
Kapal pun melesat melewati pohon-pohon akasia yang bertumbangan. Deru mesin eskavator dan suara pohon rebah sahut menyahut. Tibalah kami di ujung dermaga.
Azwar mengangkut beberapa ember tuakang dan bergegas menuju kendaraan bermotor terparkir. Dia meletakkan hasil tangkapan di bagian depan.
Azwar membawa tangkapan ke rumah Ahmad, Ketua Kelompok Nelayan Sungai Kanal yang terbentuk akhir 2017.
Di rumah Ahmad, ada dua alat mesin pengering dan pondok untuk mengasap ikan. Azwar, sigap membersihkan tuakang dan mengeringkan dengan mesin pengering.
“Supaya ikan asin segar, harus langsung diolah. Kita tak gunakan bahan pengawet jadi ikan harus langsung masuk ke mesin pengering,”katanya.
Mengeringkan ikan-ikan ini perlu satu hingga dua hari, tergantung panas matahari. Azwar bilang, tak ada bahan tambahan kecuali garam dibubuhi ke ikan-ikan asinan.Tekstur ikan asin produksi kelompok ini lebih kering dan tak begitu asin.
“Keunggulan ikan kami kering dan tidak begitu asin. Jika digoreng rasa gurih sekali.”
Tuakang (Helostoma temmincky), jenis ikan yang cenderung hidup di air tenang berarus lemah dan tahan hidup di gambut.
Tedjo Sukmono, biolog air tawar mengatakan, masyarakat menyamakan antara tuakang dengan sepat (Trichogater trichopodus) namun mereka berbeda meski sama hidup di air tawar dan rawa gambut.
”Kalau di Jambi tuakang disebut tembakang atau tambakang. Berbeda dengan sepat, dari corak badan, kemudian sirip perut. Pada sepat, jari-jari pertama sirip perut panjang modifikasi seperti rambut panjang,” katanya.
Kedua jenis ikan ini, kata Tedjo, memerlukan vegetasi naugan, tak bisa bertahan hidup dalam perairan terbuka.”Di Hutan Harapan banyak dijumpai sepat ini,” katanya.
Kehidupan nelayan perlahan mulai membaik. Lembaga Pendamping Siak Cerdas, masuk berupaya memutuskan rantai tengkulak di lingkungan nelayan.
Dulu, sebelum ada program dari Lembaga Pendamping Siak Cerdas, nelayan jual tangkapan dengan nominal rendah kepada tengkulak. Sekarang, dengan kelompok nelayan dan bantuan peralatan serta pemasaran Siak Cerdas sejak akhir 2017, menambah keuntungan bagi nelayan.
“Dulu kami menjual tuakang basah hanya Rp5.000-Rp 7.000 per kg kepada toke pengumpul. Sekarang, setelah diolah, keuntungan berkali lipat.”
Padahal, katanya, hanya perlu sedikit proses dan kerja tambahan bagi nelayan. “Sebanding dengan uang yang kami peroleh,” katanya.
Syafrizal, Direktur Siak Cerdas menyebutkan, program mereka berupaya memberdayakan warga hingga beri peningkatan pendapatan nelayan dan kesadaran konservasi.
“Kita pendampingan para nelayan melalui pengolahan dan pemasaran. Juga mendorong kesadaran nelayan ikut peduli Cagar Biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu yang berdampingan dengan mereka.”
Ikut penyelamatan cagar biosfer
Nelayan di Desa Temiang dan Desa Parit I Api-api, Kecamatan Banda Laksmana, Bengkalis, mencoba penyelamatan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil–Bukit Batu, dengan menyisihkan uang penjualan ikan yang sudah diolah.
Ahmad, Ketua Kelompok Nelayan Sungai Kanal mengatakan, setiap penjualan ikan asap dan ikan asin mereka menyisihkan keuntungan Rp1.500-Rp 5.000 setiap kg untuk pembelian bibit tanaman hutan.
“Ikan asap kita jual Rp150.000 per kilogram, kita sumbang untuk pembelian anak kayu. Ikan asin kita jual Rp45.000 per kg, kita sisihkan Rp1.500 untuk pembelian anak kayu yang akan ditanam di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil,” katanya.
Cagar Biosfer, ekoregion pantai timur Sumatera dengan alam hutan rawa gambut luas sekitar 705.271 hektar terbagi di Kabupaten Bengkalis dan Siak.
Bentang alam ini, katanya, ditetapkan sebagai cagar biosfer oleh UNESCO pada Mei 2009.
***
Norman, warga Kelompok Nelayan Sungai Kanal mengajak kami berkeliling mengitari pinggiran hutan Giam Siak Kecil-Bukit Batu. Tampak beberapa pohon meranti.
Norman bilamg, dulu di sekitar desa mereka banyak meranti. Pohon ini oleh masyarakat jadi bahan membuat rumah.
Sayangnya, kini sangat sulit mendapatkan meranti hingga mereka berinisiatif menanam kembali bibit-bibit meranti di Cagar Biosfer.
“Meranti sekarang sulit, hanya di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil ini kita masih bisa menemui meranti yang berumur di atas 30 tahunan.”