Masyarakat adat yang hidup bergantung hutan dan alam dengan mengedepankan tata kelola berkelanjutan serta menjunjung kearifan dan tradisi masih belum mendapat perlindungan serius dari pemerintah. Padahal, pemerintah, sedang berupaya mendorong pembangunan berkelanjutan yang sejalan dengan hidup masyarakat adat.
Hasil riset Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di enam wilayah komunitas adat memperlihatkan, nilai ekonomi pengelolaan sumber alam lestari menghasilkan Rp159,21 miliar per tahun, dan jasa lingkungan sampai Rp170,77 miliar per tahun. Ini baru enam wilayat adat!
Kajian ini hasil kerjasama dengan peneliti dari Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor dan Universitas Padjajaran, sejak Januari–April 2018.
Adapun enam wilayah adat ini, adalah Komunitas Masyarakat Adat (MA) Karang, Kabupaten Lebak, Banten; Komunitas Kajang, Kabupaten Bulukumba; Masyarakat Adat Kaluppini, Enrekang, Sulawesi Selatan; Komunitas Seberuang Desa Riam Batu, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Lalu, Komunitas Masyarakat Adat Saureinu, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat dan Komunitas Moi Kelim Kampung Malaumkarta Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat.
Selama ini, kelola kekayaan alam oleh masyarakat adat masih dianggap sebelah mata. Padahal, kalau dilihat hasil riset itu, nilai ekonomi mereka, seharusnya bisa mendorong peningkatan perekonomian di daerah.
Abdi Akbar, Direktur Perluasan Partisipasi Politik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, hasil kajian ini menunjukkan betapa penting pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.
Kajian ini, katanya, berlatarbelakang masalah masyarakat adat di Indonesia yang minim pengakuan dan perlindungan. ”Ini kemudian menyebabkan ketimpangan ekonomi, kesenjangan sosial dan kriminalisasi.”
Padahal, katanya, masyarakat adat tak perlu disuapi pemberian subsidi dan program-program macam bantuan dana langsung. “Mereka bisa meningkatkan ekonomi sendiri ketika diakui dan dilindungi hak-haknya. (Memberi) subsidi dan lain-lain justru membuat masyarakat tak mandiri,” katanya.
Dari riset ini terlihat, mereka bisa memenuhi keperluan sehari-hari mulai makanan hingga tempat tinggal dari mengelola alam. Bukan itu saja, alam juga memberikan mereka obat mujarab jika sedang sakit. Alam memang sumber segala bagi mereka.
”Ini dapat menyumbangkan keuntungan ekonomi bagi negara terutama mendorong pemerataan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.”

Harapan dan investasi model baru
Bhima Yudhistira, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyebutkan, selama ini nilai masyarakat adat secara ekonomi belum jadi rujukan pengambil kebijakan baik pemerintah maupun pelaku usaha.
”Harapannya dengan valuasi potensi ekonomi berdasarkan pada local wisdom dan dampak lingkungan di wilayah masyarakat adat bisa jadi paradigma model ekonomi baru yang mewarnai diskursus perekonomian nasional,” katanya.
Dari hasil studi ini menunjukkan, nilai ekonomi dari pengelolaan alam masyarakat adat harus menjadi perhatian pemerintah. Keenam wilayah yang jadi penghitungan studi ini, katanya, memiliki basis perlindungan dan pengakuan dari pemerintah, memiliki tata guna lahan yang terpetakan, baik atas pemetaan partisipatif maupun atas dasar SK otoritas kehutanan maupun pemerintah setempat. Juga memiliki keragaman produk kekayaan alam dan jasa lingkungan, serta serangkaian budaya dan kearifan lokal.
Secara spesifik, dari enam wilayah penelitian ini, manfaat langsung dari produk alam, memiliki rentang Rp26,12 miliar per tahun (Kajang) sampai Rp35,28 miliar per tahun (Kalluppini). Nilai jasa lingkungan berkisar Rp0,31 miliar per tahun (Kalluppini) sampai Rp148,43 miliar per tahun (Moi Kelim).
”Nilai ekonomi mendekati ideal ditunjukkan Moi Kelim mencapai Rp159,93 miliar per tahun, termasuk nilai non manfaat Rp3,54 miliar per tahun,” kata Alin Halimatussadiah, peneliti dari LPEM UI.
Dari angka itu, nilai ekonomi pengelolaan sumber alam memiliki rentang angka dari Rp28,93 miliar per tahun (Kajang) hingga Rp159 miliar per tahun (Moi Kelim). Hasil Moi Kelim, memperlihatkan, nilai ekonomi lebih kecil dibandingkan produk domestik regional bruto (PDRB) Sorong dengan migas, namun lebih besar bila tanpa migas.
Nilai ekonomi masyarakat adat Rp3,44 juta perkapita perbulan dibandingkan PDRB Kabupaten Sorong dengan migas Rp7,77 juta perkapita perbulan, dan tanpa migas Rp2,82 juta perkapita perbulan.
Komunitas Kajang Rp540.000 perkapita perbulan dan Kalluppini Rp420.000 perkapita perbulan, katanya, menunjukkan fenomena sebaliknya, yakni nilai ekonomi lebih kecil baik dari PDRB Bulukumpa maupun upah minimum provinsi Sulawesi Selatan Rp2,6 juta perkapita perbulan.
Meski demikian, katanya, valuasi ekonomi dapat dianggap kecil dan tak signifikan karena angka itu dari estimasi sangat konservatif karena beberapa alasan. Pertama, belum semua nilai manfaat diperhitungkan, terlebih nilai non manfaat seperti keragaman hayati, fungsi polinasi, fungsi pendukung iklim lokal dari hutan dan lain-lain.
Kedua, dalam nilai manfaat langsung sekalipun, pendapatan natura (non cash revenue) dan curahan waktu bekerja masyarakat adat dalam pemanfaatan sumber alam belum masuk kalkulasi.
Ketiga, nilai budaya, kearifan lokal yang melekat pada keseluruhan interaksi dengan lanskap wilayah masyarakat adat yang jadi faktor kelenturan (resilience) juga belum masuk hitungan.
Masyarakat adat, katanya, bergantung hidup dari produk dan jasa lingkungan dari ekosistem wilayah mereka. Pemberian hak wilayah dan pengakuan kepada masyarakat adat akan dapat meningkatkan kesejahteraan karena pemanfaatan alam lebih optimal, dan membuat perencanaan pembangunan bisa sinkron dengan nilai dan budaya adat,” kata Alin.
Bhima optimistis, kalau kearifan lokan dan konservasi lingkungan masuk dalam penghitungan angka bisa berkali-kali lipat. ”Banyak intangible asset (aset tak berwujud) belum masuk kajian, AMAN harus mencontoh bagaimana valuasi pada start up di Indonesia (yang memasukkan kearifan lokal dalam valuasi, seperti Gojek),” katanya.
Dia contohkan, kalau satu masyarakat adat sudah memiliki valuasi Rp1 miliar per tahun, investor masuk untuk menambah valuasi.
”Investor bisa masuk tapi jangan sampai masyarakat adat jadi pengangguran, tapi cara kolaborasi dan tetap memegang kearifan lokal dan perlindungan lingkungan.”

UU Masyarakat Adat penting
Pemberian hak dan wewenang masyarakat adat merupakan amanat konstitusi, tertuang dalam UUD 1945 dan dipertegas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012.
”Kajian ini bisa menjawab keraguan pemerintah terutama Kementerian Dalam Negeri, yang menyebutkan RUU Masyarakat Adat membebani APBN,” kata Abdi.
Beberapa bulan lalu, sempat muncul pendapat dari Kementerian Dalam Negeri, bahwa pembahasan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (selanjutnya dibaca RUU Masyarakat Adat), tak perlu lanjut, salah satu alasan membebani anggaran.
Dengan kajian ini, katanya, memberikan jawaban, pengakuan hak masyarakat adat dapat mensejahterakan mereka hingga pekerjaan pemerintah lebih ringan. “Hanya fokus penyediaan prasarana dan sarana.”
RUU Masyarakat Adat, katanya, memiliki kekuatan melindungi hak–hak dan wilayah masyarakat adat.
Hasil kajian ini juga membuktikan, masyarakat adat bisa jadi penggerak ekonomi, namun seringkali terabaikan.
Luthfi A Mutty, anggota Komisi IV DPR mengatakan, masyarakat adat punya peran strategis memajukan pemerintah. RUU Masyarakat Adat, katanya, sangat penting dalam menjaga posisi masyarakat adat yang seringkali jadi korban dan wilayah terampas ‘pembangunan.’
“Keuntungan bidang ekonomi harus sejalan dengan kearifan lokal. Kalau itu diberikan celah kepada investor, akan merusak keaslian wilayah adat. Maka itu RUU Masyarakat Adat harus segera disahkan.”
Kajian ini, katanya, jadi sangat penting karena selama ini pemerintah lengah melihat potensi masyarakat adat. “Bukan hanya soal menjaga nilai-nilai kearifan lokal tetapi wilayah adat punya potensi dalam mengangkat pendapatan daerah.”

