Satu individu paus sperma kembali ditemukan mati di perairan Aceh. Bangkai mamalia laut yang telah membusuk tersebut, telah mati di laut sebelum terdampar ke bibir pantai Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh.
Seorang warga Kecamatan Nurussalam, Kabupaten Aceh Timur, Hasballah mengatakan, paus yang beratnya sekitar empat belas ton tersebut, awalnya ditemukan nelayan pada 17 Juni 2018 siang. Lokasinya di pantai Baroh Bugeng, Kecamatan Nurussalam, perairan yang masuk Selat Malaka.
“Saat ditemukan, kondisinya mati dan mengeluarkan bau busuk. Paus ini telah mati sebelum terdampar,” ujar Hasballah.
Hasballah yang merupakan nelayan menambahkan, nelayan Aceh tidak pernah menangkap atau memburu paus. Paus tidak pernah mengganggu nelayan.
“Saat ini bangkainya masih tergeletak di pinggir pantai. Warga juga tidak berani mendekat karena baunya menyengat,” ungkapnya.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo membenarkan satu individu paus terdampar di pantai Kabupaten Aceh Timur. Tim BKSDA sedang mengukur dan memastikan beratnya.
“Paus yang terdampar itu paus sperma. Namun, tidak bisa dilakukan nekropsi untuk memastikan penyebab kematiannya karena sudah busuk,” ujarnya.
Amank Raga, Field Assistant and Research Dolphin Project mengatakan, banyak kemungkinan paus terdampar hingga mati di bibir pantai. Bisa karena ulah manusia atau faktor lingkungan.
“Paus bisa terdampar karena adanya luka atau penyakit. Dalam kondisi ini, kelaparan dapat memperparah stres dan berimplikasi pada proses penyembuhan luka atau penyakit,” ungkapnya.
Untuk penyakit yang bisa menyebabkan paus terdampar antara lain karena parasit atau virus dalam syaraf. Selain itu, paus juga bisa terdampar karena cuaca ekstrim seperti gelombang tinggi.
“Karena cuaca ekstrim, paus terpisah dari rombongan atau kelompok dan mengalami kelelahan. Faktor ini memicu disorientasi sonar pada sistem navigasi paus,” jelasnya.
Yang paling parah adalah tingginya aktivitas manusia di perairan Aceh yang berkaitan dengan survei pengeboran minyak dan gas dengan menggunakan seismik atau sonar. Hal tersebut biasa dilakukan untuk menentukan titik atau lokasi pengeboran lepas pantai.
“Informasi atau data yang kami dapat, survei belasan kapal tersebut akan berlangsung hingga Agustus 2018. Kegiatan berlangsung di Selat Malaka hingga perairan Natuna,” ungkapnya.
Amang mengatakan, pegiat lingkungan yang selama ini bekerja di isu mamalia laut telah protes, karena kegiatan itu tidak menyertakan ahli biologi kelautan. Kami juga telah meminta data aktivitas survei tersebut, namun belum diberikan.
“Aktivitas di bawah laut bisa memicu disorientasi sonar pada paus. Aktivitas pengeboran atau penembakan gelombang di titik pengeboran, atau kegiatan lainnya yang menggunakan gelombang dalam jarak 100 mil, berpengaruh terhadap paus yang menyebabkan terdampar,” jelasnya.
Bukan yang pertama
Dua tahun terakhir, tercatat paus sperma ini terdampar di Aceh. Bahkan ada yang berkelompok.
Pada 13 November 2017, sembilan individu terdampar di pantai Ujong Kareng, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Pemerintah bersama LSM lingkungan berhasil mengevakuasi enam individu mamalia tersebut ke laut.
Sebelumnya, 4 Agustus 2016, satu individu paus sperma ditemukan mati terdampar di Pantai Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh. Paus yang panjangnya tujuh meter lebih itu diperkirakan mati karena sakit atau kelelahan.
Paus sperma atau paus kepala kotak (Physeter macrocephalus) adalah makhluk terbesar dalam kelompok paus bergigi sekaligus hewan bergigi terbesar di dunia. Paus ini dinamakan paus sperma karena bahan putih susu spermaceti yang terdapat pada kepalanya, dan pada awalnya diduga sebagai sperma. Ukuran kepalanya ini diperkirakan sekitar 40 persen dari panjang badannya.