Setelah putus asa karena tidak mendapatkan ikan dengan cara memancing, dua anak SD yang sedang menangkap ikan itu melempar bom ke laut. Aneka satwa laut pun langsung keluar termasuk ikan, kuda laut, dan cumi-cumi. Laut bergejolak.
Dewa Baruna marah. Dewa Laut dalam kepercayaan umat Hindu Bali itu mengirimkan ombak ke dua anak yang melempar bom hingga mereka tergulung-gulung.
Kedua anak berpakaian adat Bali itu pun bersujud meminta ampun. Mereka berjanji tidak akan merusak laut, termasuk membuang sampah ke pantai dan mengebom ikan. “Ampuni kami, Sang Hyang Dewa Baruna. Kami berjanji akan menjaga Pertiwi, tidak lagi merusak laut dengan mengebom dan membuang sampah ke laut,” kata salah satu anak sambil duduk bersimpuh di tanah.
baca : Cerita Murkanya Dewa Laut Karena Polusi Plastik
Janji dua anak itu menutup pagelaran Wayang Samudera oleh dalang I Komang Wardana pada Kamis (7/6/2018) lalu di halaman kantor lembaga konservasi kelautan Coral Triangle Center (CTC) di Sanur, Bali. Petang itu, sekitar 30 orang menonton pertunjukan wayang berjudul Samudera Tanpa Plastik tersebut.
Pertunjukan wayang gabungan orang dan kulit itu menjadi bagian dari peringatan Hari Kelautan Dunia (World Ocean Day) pada 8 Juni dan Hari Segitiga Karang (Coral Triangle Day) pada 9 Juni 2018. Peringatan dua hari terkait lingkungan kelautan itu hanya berselang dua hari setelah Hari Lingkungan Dunia tiap 5 Juni.
Direktur CTC Rili Djohani mengutip data bahwa saat ini sekitar 8 juta ton sampah plastik terbuang ke laut setiap tahun. Indonesia bersama lima negara lain yaitu China, Filipina, Thailand, dan Vietnam menyumbang hampir 60% dari jumlah tersebut.
Indonesia di posisi kedua sebagai penghasil sampah plastik, menyumbang 1,29 juta ton plastik ke laut. Di sisi lain, Indonesia juga merupakan negara penghasil ikan dan produk makanan laut terbesar kedua di dunia. Akibatnya, potensi pencemaran sampah plastik tidak hanya berdampak bagi kehidupan laut, tetapi juga bagi kesehatan manusia ketika ikan dan makanan laut lain terkontaminasi plastik mikro dan dikonsumsi manusia.
“Kami bekerja bersama semua pihak untuk meningkatkan kesadaran mengenai dampak sampah plastik bagi laut dan kehidupan di dalamnya,” kata Rili. “Kami memerlukan aksi nyata dari seluruh pihak dan pemangku kepentingan untuk mengatasi sampah plastik karena hal ini telah menjadi masalah lokal, nasional, global,” tambahnya.
baca : Darurat: Penanganan Sampah Plastik
Setelah meresmikan patung raksasa (ogoh-ogoh) dari sampah plastik bernama Baruna Murthi pada puncak peringatan Hari Lingkungan, CTC bersama Balai Pengelolaan Sumber Daya Perikanan dan Laut (BPSPL) Bali pun membuat Komitmen Bersama untuk menangani sampah plastik di lautan.
“Menyadari bahwa sampah plastik membawa dampak buruk bagi laut dan lingkungan hidup, maka pada peringatan World Ocean Day dan Coral Triangle Day tahun 2018, kami berkomitmen dan mewujudkan laut bebas dari sampah plastik,” begitu tulisan di atas kanvas yang kemudian ditandatangani parapihak yang hadir.
Empat pihak di antara para penandatangan komitmen tersebut adalah Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Brahmantya Satyamurti Poerwadi, Staf Ahli Bidang Ekologi dan Sumber Daya Laut Aryo Hanggono, Staf Ahli Bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya Eko Djalmo Asmadi, dan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Bali I Made Gunaja.
Setelah itu pihak lain dari kalangan organisasi non-pemerintah, pelaku usaha, mahasiswa, dan lain-lain juga ikut bertanda tangan.
baca : Menelisik Jejak Plastik di Samudera Kini
Target 75 Persen
Dirjen Pengelolaan Ruang Laut KKP Brahmantya Satyamurti Poerwadi mengatakan komitmen itu sejalan dengan Rencana Aksi Nasional (RAN) Pengelolaan Sampah Laut di Kementerian Koordinator Maritim. Salah satu target RAN itu adalah mengurangi sampah laut hingga 75 persen pada 2025.
Ada empat hal besar dalam RAN Pengelolaan Sampah Laut yaitu peningkatan kesadaran, mengolah sampah di darat karena kebanyakan sampah itu dari darat, pengelolaan sampah laut, dan bagaimana dapat pendanaan berkelanjutan. “Pendanaan tidak boleh hanya dari pemerintah. Perusahaan-perusahaan yang memproduksi plastik juga harus didorong agar memikirkan bagaimana mereka mengelola kembali sampah yang mereka buat,” katanya.
Brahmantya menambahkan, penting bagi perusahaan-perusahaan produsen plastik untuk memikirkan ulang sebelum memproduksi plastik yang mereka jual dan gunakan. “Karena itu rethink, reduce, dan reuse sangatlah penting,” ujarnya.
Pembagian peran antar-aktor dalam pengelolaan sampah juga, menurut Brahmantya, juga perlu dilakukan. “Harus dibagi habis peran kita. Pihak perusahaan seperti apa, kalangan masyarakat perannya di mana, dan negara mengaturnya bagaimana,” tambahnya.
Peran negara antara lain membuat aturan terkait pengelolaan plastik. Di Uni Eropa, misalnya, ada aturan tegas larangan menggunakan plastik saat berbelanja, termasuk membuat kopi agar tidak memakai gelas plastik. Uni Eropa juga berencana membuat larangan penggunaan sedotan plastik.
“Harusnya negara kita dan negara lain saling mengoreksi dan mengawal. Mungkin ada beberapa hal yang tidak dipikirkan Uni Eropa karena laut mereka lebih kecil,” katanya.
baca : Menantang Diri Belanja Tanpa Plastik di Pasar
Perlunya Larangan
Bagi sebagian pelaku usaha, adanya larangan penggunaan plastik oleh pemerintah memang bisa menjadi salah satu solusi penggunaan plastik di tempat mereka. Hal ini setidaknya dialami Tiara Dewata, salah satu tempat belanja tertua dan populer di Denpasar.
Ditemui secara terpisah, Manajer Operasional Tiara Dewata Novie Setyo Utomo mengaku ketika ada aturan pembayaran tas plastik terhadap konsumen pada 2016 lalu, penggunaan tas plastik di tempatnya bisa berkurang sampai sekitar 40 persen. Hal tersebut karena sebagian konsumen merasa keberatan membayar sehingga membawa tas belanja sendiri.
“Kebijakan itu sangat berpengaruh untuk mengurangi penggunaan plastik. Eh, tiba-tiba dibatalkan. Konsumen pun santai saja lagi untuk memakai tas plastik,” kata Novie.
Menurut Novie konsumen juga berperan penting untuk mengurangi sampah plastik. “Harus kita paksakan pada konsumen agar mereka membeli tas plastik atau setidaknya dipersulit untuk menggunakan,” ujarnya.
baca : Gara-gara Sampah, Sebuah Mall di Bali Jadi Ramai. Ada Apa?
Tiara Dewata sendiri pernah menjadi salah satu dari lima swalayan di Bali yang mulai menerapkan aturan tas plastik berbayar pada 2016. Namun, aturan itu kemudian dibatalkan pemerintah pada tahun yang sama tanpa alasan jelas.
Salah satu konsumen Tiara Dewata Harry Andayanta mengaku mendukung kebijakan untuk membeli tas plastik. Harry yang pernah tinggal di Jerman itu bercerita bahwa konsumen di Eropa keberatan kalau harus membayar tas plastik yang harganya bisa sampai 2 Euro, sekitar Rp28.000.
“Daripada bayar tambahan 2 Euro, ya, lebih baik bawa tas belanja sendiri. Kalau di sini kan belanja sedikit saja sudah dikasih plastik,” katanya.
Ketegasan pemerintah menerapkan aturan, menurut Harry, bisa menjadi salah satu jalan keluar untuk menangani sampah plastik.