Hari itu Kamis (15/6/2018), menjadi hari yang istimewa bagi masyarakat adat Kaluppini yang berada di kawasan pegunungan di Kecamatan Enrekang, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Mereka merayakan lebaran sehari lebih awal dibanding lebaran yang ditetapkan pemerintah, dengan sejumlah pertimbangan, terkait penanggalan dan kebiasaan adat setempat.
Rangkaian lebaran dimulai dengan salat Ied dimulai setelah sholat subuh berjamaah. Dilanjutkan takbiran yang secara bergilir dikumandangkan pemangku adat secara bergantian, yang berpakaian putih-putih dan duduk di saf terdepan, membedakan mereka dengan masyarakat biasa.
Selesai salat Ied, sekitar sejam berselang, mereka melakukan ritual selanjutnya, yaitu berziarah kubur. Sebagai rangkaian ziarah kubur ini, semua warga berkumpul mengelilingi bahan ritual berupa pisang, nangka dan songkolo (nasi ketan hitam).
baca : Begini Indahnya Hutan Baringin Enrekang yang Dirawat Hukum Adat
Selepas ritual ziarah kubur ini dilanjutkan dengan ritual makan bersama, sebagai pernyataan syukur dan sekaligus doa untuk keluarga yang sudah meninggal. Pada acara ini dimulai dengan pemotongan hewan berupa ayam, kambing atau sapi.
Untuk mereka dengan kemampuan terbatas biasanya dilakukan acara makan bersama di rumah imam. mereka menyumbang ayam, kelapa, beras, layu bakar dan lainnya. ada juga yang menyumbang uang, yang nantinya akan dibagi rata ke seluruh orang yang hadir dalam acara tersebut.
Pada perayaan kali ini seratusan ayam dipotong, yang dimasak dengan bumbu sederhana. Nantinya akan disajikan bersama nasi dan songkolo beralas daun jati.
baca : Menjaga Hutan, Menjaga Masyarakat Adat Kaluppini Enrekang
Perayaan lebaran bagi masyarakat Kaluppini memang bukanlah perayaan yang sederhana. Ritual sudah dimulai sejak memasuki bulan puasa. Bagi mereka, puasa dan lebaran adalah momentum menyucikan diri dan bersilaturahmi, sekaligus mendoakan keluarga yang telah meninggal.
Perihal lebaran yang lebih dahulu dari versi pemerintah di hari Jumat, ini terkait kepercayaan mereka yang pantang berlebaran di hari Jumat. “Pantang ada dua kutbah di hari yang sama,” ungkap Abdul Halim, pemangku adat Imam, salah satu posisi adat tertinggi di Kaluppini.
Menurut Halim, pernah di masa Orde Baru ada kasus yang sama, lebaran di hari Jumat. Karena berbeda dengan versi pemerintah maka dianggap sebagai pembangkangan. Pemangku adatnya pun dipanggil oleh pemerintah daerah setempat dan dipaksa berlebaran serentak dengan versi pemerintah. Di bawah tekanan yang besar mereka pun menuruti. Namun setelah itu terjadi banyak bencana dan masalah.
“Dalam setahun itu banyak warga yang meninggal. Panen gagal. Pokoknya ada saja masalah di kampung. Orang-orang kemudian mengaitkannya dengan salat Ied di hari Jumat itu.”
Sejak saat itu, mereka pun tak akan tunduk lagi pada keinginan penguasa menyeragamkan pelaksanaan lebaran. Jika kebetulan lebaran versi pemerintah dilaksanakan di hari Jumat maka mereka akan memajukan di hari Kamis atau mundur di hari Sabtu.
baca : Berikut Ini Temuan Riset Nilai Ekonomi di Wilayah Adat…
Kearifan lokal
Menarik dalam pelaksanaan acara makan bersama yang dilakukan di setiap ritual, selalu disajikan di atas daun jati dengan porsi nasi dan ayam yang bisa empat kali lipat. Makanan ini biasanya tak dihabiskan di saat itu juga. Sisa makanan (nanre sesa) dibungkus dengan daun jati untuk dibawa pulang.
Menurut Nurbaya, peneliti gizi dari Politekes Mamuju, nanre sesa ini bisa jadi merupakan salah satu bentuk ketahanan pangan pada masyarakat adat. Nasi dan daging yang dibawa pulang ke rumah bisa diolah kembali dan dimakan hingga berhari-hari.
“Bagi masyarakat dengan penghasilan rendah akan sangat membantu mereka dalam rangka pemenuhan protein. Apalagi pada hari biasa protein dalam bentuk ikan sulit dipenuhi karena akses pasar yang agak jauh.”
Menurut Halim, bagi masyarakat Kaluppini, adat dan agama adalah hal yang sulit dipisahkan. Keduanya saling terkait. Ritual hampir setiap saat dilaksanakan. Dalam setahun mereka mengenal 13 ritual yang terkait pengelolaan sumber daya alam. Ada juga 13 ritual kehidupan yang terkait dengan individu, mulai dari saat kelahiran hingga menikah kelak. Ada pula ritual 8 tahunan yang disebut maccera manurung atau pangewarang. Lalu ada juga ritual Isra Miraj, Maulid, puasa, Idul Fitri dan Idul Adha, kematian, masuk rumah baru.
Dalam masyarakat Kaluppini dikenal juga 13 Tana Ongko atau kawasan penting yang harus dijaga dan tak boleh ada aktivitas selain ritual di dalamnya. termasuk sejumlah kawasan hutan yang dilindungi dan dikeramatkan.
“Di kawasan hutan ini bahkan mengambil madu pun tak dibolehkan. Ke-13 Tana Ongko ini menjadi identitas adat yang harus selalu dijaga.”
Wilayah adat Kaluppini sendiri mencakup lima desa, yaitu Desa Kaluppini, Lembang, Tobalu, Rossoan, dan Tokkonan. Desa Kaluppini adalah pusat adat dan ritual.