Misteri keberadaan enam orang nelayan tradisional yang ditangkap aparat hukum Malaysia pada awal tahun ini, hingga saat ini masih belum jelas nasibnya. Padahal, keenam orang tersebut sudah mengikuti proses hukum di negeri Jiran sejak Januari lalu setelah ditangkap Agensi Penguatan Perairan Malaysia (APPM). Untuk itu, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mendesak Pemerintah Indonesia untuk mempercepat pembebasan keenam nelayan tersebut.
Ketua Harian DPP KNTI Marthin Hadiwinata di Jakarta belum lama ini mengatakan, keenam orang nelayan yang ditangkap di Malaysia, lima orang di antaranya adalah anak buah kapal (ABK) dan seorang nakhoda kapal bernama M Fahrol Razi yang berusia 20 tahun. Untuk mempercepat proses hukum, KNTI sudah mengirimkan surat desakan kepada Presiden RI dan Menteri Luar Negeri RI.
“Kita mendesak Menteri Luar Negeri untuk memastikan perlindungan nelayan yang ditangkap di Malaysia,” ucapnya.
baca : Nasib Kru Kapal Nelayan Tradisional dari Langkat Masih Misterius di Malaysia
Martin mengatakan, memberi perlindungan kepada warga negara yang sedang ada di luar negeri adalah kewajiban Pemerintah yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Selain itu, pemerintah juga berkewajiban memberikan bantuan kepada warga negara Indonesia yang sedang memiliki masalah di luar negeri.
Di dalam UU tersebut, menurut Martin, ditegaskan dalam Pasal 21 bahwa apabila Warga Negara terancam bahaya nyata, perwakilan Republik Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan serta mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia atas biaya negara. Kemudian, penegasan juga ada dalam UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan di dalam pasal 42.
“Memandatkan Pemerintah untuk memberikan bantuan hukum dan perlindungan bagi nelayan yang mengalami permasalahan penangkapan ikan di wilayah negara lain,” tegasnya menyebutkan isi dari Pasal 42.
Disisi lain, Martin menyebutkan, kedua negara, baik Indonesia atau Malaysia sama-sama tunduk kepada ketentuan hukum internasional yang melindungi hak nelayan tradisional untuk menangkap ikan di perairan lintas batas. Berdasarkan UNCLOS 1982, setiap nelayan tradisional memiliki hak untuk menangkap ikan yang melintasi batas antar negara yang berdampingan.
Martin menambahkan, selain keputusan UNCLOS, ada juga Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) yang melibatkan kedua negara berkaitan dengan kegiatan nelayan tradisional yang melintasi batas kedua negara. MoU tersebut ditandatangani oleh kedua negara pada 27 Januasi 2012 lalu dan mengikat keduanya dalam kegiatan perikanan lintas batas negara.
“Setiap negara jika terjadi pelintas batas oleh nelayan maka wajib untuk melakukan inspeksi dan permintaan untuk meninggalkan wilayah perairan tersebut,” paparnya.
baca : Polisi Air Tangkap Kapal Nelayan Berdokumen Malaysia yang Asik Mencuri Ikan
Akan tetapi, Martin mengingatkan, status MoU di atas seharusnya tidak berlaku bagi keenam orang nelayan yang ditangkap tersebut. Hal itu, karena kapal yang digunakan enam nelayan tersebut diketahui tidak menggunakan alat tangkap yang ilegal ataupun dilarang oleh Pemerintah Federal Malaysia. Sementara, MoU tersebut berlaku penuh bagi pelanggar yang menggunakan alat tangkap ilegal seperti bahan peledak, alat penangkapan ikan listrik, dan bahan kimia.
Untuk itu, Martin mendesak kepada Pemerintah Republik Indonesia, khususnya kepada Kementerian Luar Negeri beserta jajarannya untuk memastikan keberadaan M Fahrol Razi dan kawan-kawan dengan berkoordinasi dengan Kedutaan Besar Indonesia dan Konsulat Jendral Indonesia di Malaysia. Kemudian, mempercepat upaya pembebasan nelayan tradisional Indonesia yang telah ditahan sejak 18 Januari 2018.
Selanjutnya, Martin menyebutkan, Pemerintah harus memastikan pemenuhan hak asasi khususnya hak ekonomi dari keluarga korban yang hingga saat ini tidak mendapatkan nafkah ekonomi setelah ditangkap Agensi Penguatan Perairan Malaysia. Berikutnya, menyelesaikan masalah perbatasan wilayah laut antara Indonesia dengan Malaysia.
“Terakhir memperkuat pengawasan perbatasan untuk memastikan perlindungan nelayan tradisional Indonesia di batas laut dengan Malaysia,” tandasnya.
baca : Indonesia Pulangkan Nelayan Muna yang Ditangkap di Australia
Masih Misterius
Diketahui, kapal beserta krunya tersebut, diketahui ditangkap di perbatasan Malaysia dan Indonesia. Adapun, keenam kru kapal tersebut, diketahui adalah penduduk Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Informasi tersebut didapat dari salah seorang anggota keluarga kru kapal, Yusnani. Dia mendapat pendampingan dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) untuk mengusut kasus tersebut.
Marthin Hadiwinata mengatakan, nakhoda kapal yang ikut ditangkap diketahui bernama M Fahrol Razi dan berusia 20 tahun. Sementara, kelima ABK yang juga ikut ditangkap, hingga saat ini belum diketahui identitasnya secara rinci. Keenam orang tersebut, statusnya hingga saat ini masih misteri.
Agar misteri keberadaan enam nelayan tersebut bisa diungkap, Marthin mendesak kepada Pemerintah Indonesia untuk segera menangani langsung kasus tersebut dan memberikan pendampingan kepada keluarga korban. Kehadiran Negara, dinilainya menjadi sangat penting karena kasus tersebut terjadi di Malaysia.
Marthin menjelaskan, nakhoda kapal diketahui berasal dari Babalan Gang Sampan, Kelurahan Berantan Timur, Kecamatan Babalan, Kabupaten Langkat. Dia bersama lima anak buahnya ditangkap oleh APPM karena diketahui sudah melakukan aktivitas penangkapan ikan di Selat Malaka yang menjadi wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) sekaligus perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia.
baca : Catatan 2015 : Perlindungan Nelayan Masih Lemah
Dari informasi yang didapatkan dari sumber terpercaya, Marthin menyebutkan, keenam kru kapal yang ditangkap mendapat hukuman antara empat hingga lima bulan di Malaysia. Tetapi, hingga sekarang yang sudah memasuki bulan kelima, belum ada informasi apapun atau kejelasan terkait status hukum keenam orang tersebut.
“Bahkan sampai hari ke-5 hari di bulan Ramadhan mereka belum dipulangkan ke keluarga mereka masing-masing. Menurut keterangan keluarga korban, mereka masih berada di tempat penampungan ‘Cam Zero’ dan menunggu untuk dipulangkan dengan waktu yang belum jelas adanya,” paparnya.
Ketua DPD KNTI Kabupaten Langkat Tajruddin Hasibuan menambahkan, pihaknya sebelum ini sudah mengirimkan surat kepada Presiden RI Joko Widodo. Surat bernomor: 008K/KNTI-LKT-UT/012018 itu berisi tentang Laporan Tertangkap Dan Minta Di Pulangkan Segera pada 19 Januari 2018. Di dalam surat tersebut, dijelaskan laporan dari keluarga nelayan tradisional di perbatasan yang menjadi korban penangkapan aparat Malaysia.
“Namun hingga surat ini kembali kami teruskan tidak ada kejelasan atas penanganan kasus tersebut sehingga kemudian ternyata telah dikenakan hukum terhadap enam pelaku nelayan tradisional,” tuturnya.
Tajruddin menambahkan, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri, Negara wajib memberikan perlindungan kepada warga negara yang sedang bermasalah. Selain itu, Negara juga wajib memberikan bantuan kepada warga negara bersangkutan.
Dalam UU tersebut, ditegaskan juga, jika ada warga negara yang sedang menghadapi ancaman bahaya, perwakilan Republik Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan serta mengusahakan untuk memulangkan mereka ke Indonesia atas biaya negara. Kemudian, di dalam UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, ditegaskan lagi tentang kewajiban tersebut.
“Nelayan tradisional skala kecil wajib diberikan bantuan hukum dan perlindungan bagi nelayan yang mengalami permasalahan penangkapan ikan di wilayah negara lain,” tandasnya.