Skema Perhutanan Sosial (PS) di beberapa wilayah di Kalimantan Tengah telah berjalan memasuki tahun kedua, namun sampai sekarang masih dijumpai pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang belum berjalan secara ideal. Meski begitu, warga masih berharap HKm dapat menjadi gantungan kesejahteraan warga masyarakat kedepannya.
Hasil penelusuran Mongabay Indonesia tentang hal ini dapat dijumpai di HKm Miar Hayak dan HKm Batu Bulan yang keduanya berada di bawah Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Unit XV Kahayan Hulu, Kabupaten Gunung Mas dan HKm Hapakat Atei bersebelahan dengan KPHP Katingan Hilir Unit XXX di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah.
Seperti yang terjadi di HKm Miar Hayak di Desa Mangkuwuk misalnya. Di HKm yang luasnya 1.322 hektar ini warga masih berkutat dengan ancaman terhadap keberadaan HKm. Ancaman meliputi penambangan emas ilegal, overlapping tata batas HKm dengan konsesi HPH maupun perkebunan, hingga pembalakan liar. Untuk logging, warga mengaku tak paham apakah pengambilan kayu tersebut ilegal ataupun telah mengikuti aturan pemerintah.
Diperkiran sekitar 100 truk keluar masuk hutan mengangkut kayu per bulannya. Hal ini telah teramati sejak tahun 2015. Meski demikian, masyarakat mengaku tak tahu apakah kayu yang dibawa dari hutan itu telah memiliki izin dari aparat berwenang.
“Tidak pernah mereka beritahukan kegiatan mereka kepada (aparat) desa. Kalau mereka bawa truk yang bawa kayu, itu juga tidak pernah ada laporanya,” jelas Nirson, Kepala Desa Mangkuwuk yang juka Ketua HKm Miar Hayak menjelaskan.
Sebagai Kepala Desa Nirson khawatir dituduh terlibat dalam aktivitas pengambilan, pemotongan dan pengangkutan kayu dari hutan. Padahal sejatinya dia tak tahu menahu.
Kondisi HKm Miar Hayak sendiri dikelilingi oleh sejumlah bandsaw dan kamp pekerja kayu. Para pekerja sebagian besar berasal dari luar daerah. Hanya beberapa buruh angkut yang berasal dari desa.
Dahulunya HKm ini adalah eks lahan HPH PT East Point. Akibat pembukaan lahan banyak warga yang mempergunakan bekas lahan yang ditebang oleh HPH. Kebun dan hutan yang tersisa itu yang lalu diajukan menjadi kawasan HKm.
Bagi warga, skema Perhutanan Sosial adalah pilihan terbaik, HKm diyakini bakal menjamin hak mereka dalam mengelola lahan. Warga khawatir tanpa adanya kepastian, lahan mereka bakal tergusur dan dijadikan kebun sawit oleh perusahaan.
Warga ujarnya, trauma dengan perlakuan yang lalu dari perusahaan sawit. Lahan hilang dengan dibeli dengan harga murah, warga pun hanya bekerja sebagai buruh.
“Kita di Desa Mangkawuk tidak terima kalau sawit. Masalahnya warga Mangkawuk ini ada sebagian kerja di sawit, tapi hanya jadi buruh,” kata Nirson.
Jelasnya, alih-alih menjual lahan kepada perkebunan, warga lebih memilih untuk menanami lahan dengan tanaman buah dan tanaman hutan.
“Nanti akan ditanami sengon, kakao serta beberapa tanaman lain yang sesuai struktur tanah. Mudah-mudahan lewat HKm nanti masyarakat diajarkan bagaimana bertani yang bisa mendapatkan hasil,” katanya.
Berdampingan dengan HKm Miar Hayak dan HPH PT East Point terdapat HKm Batu Bulan. Izin HKm telah terbit dari KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) pada tahun 2017, setelah diajukan oleh warga sejak 2015. Luasnya 2.925 hektar, berupa kebun, lahan tidur dan hutan. Potensi HKm ini diantaranya tanaman obat-obatan, anggrek, ginseng, sayuran, madu hutan dan lainnya.
Suterman, Kepala Desa Tusang Raya yang juga Ketua HKm saat dijumpai menyebut 50 persen dari jumlah areal akan dikelola atau digarap oleh kelompok tani dan mitra. Tanaman yang akan ditanam diantaranya sengon, jabon, dan tumpang sari seperti tanaman jahe dan kacang. Hasilnya bisa dimanfaatkan oleh anggota HKM.
“Yang 50 persen lagi, masih tetap hutan, sebagian lagi jadi tempat ekowisata. Itu rencana kami,” katanya.
Diakui Suterman, beberapa tantangan yang dihadapi pengelola HKm adalah mencari kemitraan. Akunya, secara finansial pengelola HKm tidak mempunyai modal kerja. Untuk itu seperti di HKm Miar Hayak dan HKm Batu Bulan, pengelola HKm bekerjasama dengan mitra perusahaan ventura, Fairventura World Wide. Jelasnya modelnya akan bagi hasil, 15-20 persen adalah untuk masyarakat.
Ancaman Bagi Keberadaan HKm
Di Kabupaten Katingan, bersebelahan dengan KPHP Katingan Hilir Unit XXX juga terdapat satu HKm, Hapakat Atei, yang terdiri dari lima desa anggota, masing-masing Tumbang Runen, Jahanjang, Karuing, Parupuk dan Talaga. Kawasan HKm Hapakat Atei luasnya 4.556 hektar yang terletak di kawasan Hutan Produksi dan wilayah moratorium gambut.
Andi Liany, Ketua Hapakat Atei, menyebut alasan warga kelima desa mengajukan HKm adalah untuk mempertahankan wilayah hutan mereka yang hampir habis. Dia mengaku di awal tak begitu paham tentang masalah perhutanan sosial.
“Kawasan hutan yang tersisa hanya di depan dan di belakang kampung kami saja. Kami sudah susun RKU (Rencana Kerja Usaha), yang disesuaikan dengan ketentuan dan potensi kawasan hutan,” ungkapnya.
Warga sekitar hutan, jelasnya amat tergantung pada sumberdaya hutan. Seperti Desa Talaga amat tergantung kepada hutan untuk penyedia aliran Sungai Jahan yang mengalir di desa itu. Masyarakat juga tergantung dari hasil obat-obatan hutan dan hasil hutan non kayu lainnya.
Hutan Hapakat Atei pun menjadi habitat dari berbagai satwa endemik Kalimantan.
“Di kawasan HKm kami memasang kamera perangkap untuk pengamatan satwa. Hasil pantauan 6-8 bulan, hampir tiap malam ada satwa yang tertangkap kamera. Belum lagi yang berjumpa seperti beruang madu dan orangutan. Orangutan juga tak bisa pergi dari situ, karena sudah dikelilingi sawit,” jelas Andi.
Meski demikian, ancaman di HKm Hapakat Atei pun terus berjalan. Pembalakan kayu terus terjadi, ditambah tumpah tindih kawasan HKm dengan perkebunan sawit yang terus melakukan pembukaan lahan (land clearing). Kondisi aliran sungai pun mengarah pada kerusakan. Ini terlihat jelas pada anak sungai yang memisahkan antara Desa Tusang Raya dengan wilayah HKm.
“Kita sudah laporkan ke Gakkum, unit reaksi cepat SPORC. Bahkan pihak KPHP Katingan Hilir sudah turun ke lokasi melakukan pengecekan. Puluhan kubik kayu kita temukan di lokasi dekat lahan yang di land clearing,” ungkapnya.
“Kawasan yang sudah dibuka itu belum ditanami sawit, mungkin mereka tahu kalau tanah itu sudah diluar batas kawasan mereka, cuma hutannya sudah habis di-land clearing,” sesalnya.
Tanggapan Pengelola
Menanggapi ancaman maraknya pembalakan liar yang terjadi di kawasan KPHP Kahayan Hulu unit XV dan XVI, Kepala KPHP Nazar mengaku mengalami sejumlah kendala. Menurutnya, tim KPH yang sedikit, yaitu hanya sebanyak 38 orang (PNS) dan delapan orang tenaga tambahan mengalami kesulitan untuk melakukan pengawaan dan kontrol di lapangan.
“Soal illegal logging yang terjadi susah dilacak atau dijangkau karena keterbatasan sarana dan dana yang dimiliki unit XV & XVI. Namun usaha maksimal tetap dilakukan agar tidak bertambah banyak praktek ilegal logging yang terjadi,” ujarnya.
Rasio petugas dan pengamanan wilayah memang menjadi kendala. Untuk satu Kecamatan Tewah di Kabupaten Gunung Mas yang menjadi wilayah kerja KPHP Kahayan Hulu luas unitnya adalah 2,9 juta hektar ber-RPHJP (Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang), sedang 208 ribu hektar belum ber- RPHJP.
Nazar pun mengaku, keberadaan KPHP sebagai institusi yang dibebani mandat pengelola hutan lestari masih banyak terkendala. Sebutnya, selain masih baru maka program kerja di sejumlah KPH belum berjalan dengan sempurna. Jelasnya, tak hanya di tempatnya, persoalan tersebut pun terjadi di sejumlah KPH lainnya di Kalteng.