Beberapa warga tampak meratakan tanah di tempat terbuka pinggir pantai. Tanah tersebut harus dijemur sebelum dimasukkan ke tempat penampungan, untuk selanjutnya disiram air asin yang merupakan bahan baku garam. Inilah proses pembuatan garam tradisional yang dilakukan petani garam di Aceh.
“Tanah ini harus dijemur dua hari dua malam, setelah itu dimasukkan ke tempat penampungan dari kayu yang selanjutnya disiram air laut. Air ini kemudian dimasak yang selanjutnya menjadi garam,” sebut Umar, petani garam di Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie, baru-baru ini.
Umar mengatakan, harga garam yang dibuat secara tradisional oleh ratusan masyarakat di Kabupaten Pidie dan beberapa daerah lainnya di Aceh memang kalah bersaing dengan garam impor. Namun, karena tidak ada pekerjaan lain, mereka terpaksa mempertahankan keahlian turun-temurun itu.
“Katanya garam yang kami buat kurang yodium, saya tidak tahu apa itu. Belum ada yang mengajari kami cara memperbanyak yodium,” ungkapnya sembari meratakan tanah dengan alat khusus terbuat dari kayu.
Umar telah 25 tahun menjalani profesi ini. Gubuk tempat dia memasak dan menyimpan garam pernah tiga kali hancur diterpa badai. Termasuk, sekali diterjang tsunami pada 26 Desember 2004 silam.
“Harga jual garam kami juga sangat murah jika dibandingkan garam impor. Kami jual ke agen sekitar Rp5.000 sampai Rp6.000 per kilogram,” ujarnya.
Proses pembuatan garam dengan cara memasak diakui Umar sangat sulit dan membutuhkan waktu lama. Harus dijemur dulu, lalu diangkut ke penampungan, setelah itu dimasukkan ke wadah kayu. Berikutnya, air laut dituang ke dalam wadah tersebut.
“Setelah itu, air yang telah disaring dimasak selama enam jam. Setelah air kering, baru muncul kristal putih. Saat garam dimasak, pastinya harus ada yang menjaga karena kalau api padam, akan butuh waktu lebih lama lagi,” jelasnya.
Rukaiyah, petani garam lain di Kecamatan Simpang Tiga menyebutkan, selain butuh waktu panjang, proses pembuatan garam dengan cara memasak juga perlu biaya tidak sedikit.
“Saat ini, kami kesulitan mendapatkan kayu. Jika ada, harganya sangat mahal, satu dump truk bisa Rp1,5 juta hingga Rp2 juta. Ini sangat membebani kami,” jelasnya.
Rukaiyah mengatakan, garam impor yang masuk, termasuk ke Aceh, membuat produknya susah dijual. Jika laku, harganya sangat murah. Keuntungannya hanya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan harian.
“Jika gubuk atau tempat memasak rusak, sudah tidak ada lagi biaya perbaikan, karena memang tidak ada lagi keuangannya,” ujar ibu empat anak ini.
“Keuntung dari membuat garam tradisional yang tipis, membuat banyak petani garam beralih mata pencaharian. Kebanyakan mereka menjadi nelayan atau buruh bangunan,” tandasnya.