Ratusan masyarakat adat Batak dari keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Kamis siang di penghung Juni 2018, berkumpul. Di atas bukit, mereka bersiap menggelar acara adat Manganjab. Ritual tahunan tolak bala yang dilakukan di awal penanaman bibit pertanian, usai panen raya dilangsungkan.
Ompu Mamontang Laut adalah raja pemilik tanah adat Sihaporas, Simalungun. Para keturunannya sudah 275 tahun menempati wilayah adat ini.
“Ritual Manganjab kami lakukan turun temurun. Dahulu, kegiatan ini dilakukan untuk menghalau hewan pengganggu tanaman. Sekarang, untuk keselamatan kami semua dan makhluk hidup yang ada,” jelas Mangintua Ambarita, Wakil Ketua Lembaga Adat, Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita, Sihaporas (Lamtoras).
Dia menjelaskan, setelah hadirnya PT. Indirayon yang berganti nama menjadi PT. TPL, berbagai masalah timbul. Hutan berganti pohon eukaliptus, air bersih pun berkurang.
“Dulu, kami tanam jahe bisa mencapai satu ton pada kebun ukuran satu rante atau empat ratus meter persegi. Sekarang, sering gagal panen. Setelah hutan berganti eukaliptus, penyakit tanaman sering muncul. Kami lakukan perlawanan sejak 1995, menuntut pengembalian tanah adat. Saya dipenjara dua tahun bersama Parulian dan seorang warga adat Sihaporas karena melawan pengrusakan hutan,” jelas Mangintua.
Baca: Masyarakat Adat Sekitar Danau Toba Tuntut TPL Kembalikan Hutan Adat
Hal senada disampaikan Domuara Damianus Ambarita, sekretaris panitia pengembalian tanah adat warisan Ompu Mamontang Laut Ambarita, Sihaporas. Domuara adalah pemuda kelahiran Desa Sihaporas, generasi ke delapan.
“Dahulu saya malas dan gak mau sekolah karena gampang dapat duit dari panen jahe. Air sungai jernih bisa kami minum langsung. Sekarang semua berubah. Gersang, hutan adat kami hancur, air keruh, kicau burung jarang terdengar. Kami dikelilingi ribuan hektar pohon eukaliptus,” jelasnya.
Domuara menjelaskan, warisan leluhur yang terus dijaga adalah melestarikan lingkungan. Desa Sihaporas menurutnya, sudah berdiri jauh sebelum Indonesia ada. Ayahnya bernama Jahiya Ambarita adalah pejuang kemerdekaan Indonesia, pejuang veteran Republik Indonesia, berdasarkan piagam penghargaan yang diterima.
“Dalam peta Enclave Belanda 1916, tanah Sihaporas sudah diakui Belanda. Mengapa Indonesia tidak? Pemerintah Simalungun juga tidak mengakui tanah adat kami ” jelasnya.
Pada 1913, Belanda meminjam tanah adat Sihaporas untuk ditanami pinus. Namun belum panen, Belanda kalah dan menyusul penjajahan Jepang, lalu Indonesia merdeka tahun 1945. Ketika timbul nasionalisasi tanah diambil pemerintah.
“Kami menuntut pengembalian tanah adat Sihaporas, namun pemerintah bertanya bukti tanah itu milik masyarakat adat Sihaporas. Ini yang kami perjuangkan, total tanah seluas 1.948 hektar.”
Secara historis, menurut Domuara, wilayah adat Sihaporas dekat ke adat Toba ketimbang Simalungun. Dia senang ketika tanah adat di Pandumaan Sipituhuta, Humbang Hasundutan (Humbahas) seluas 5.172 hektar, diakui pemerintah sekarang.
“Masyarakat adat kami ada tiga orang yang dipenjara karena melawan tanah adatnya diambil paksa korporasi. Kami tidak ingin menjual ke konglomerat,” jelasnya.
Baca juga: Berkonflik Lahan dengan Toba Pulp Lestari, Ketua Adat Tungko Ni Solu Terjerat Hukum
Saurlin Siagian, Peneliti Hutan Rakyat Institute (HaRI) kepada Mongabay Indonesia mengatakan, ini momentum penting bagi masyarakat adat, ketika Pemerintahan Jokowi mulai mengakui masyarakat adat.
Menurutnya, perjuangan 20 tahun masyarakat adat Sihaporas mulai mendapat titik terang. Proses yang dibutuhkan adalah legalisasi yang tentunya harus mendapat dukungan berbagai pihak. Ini merupakan potret masyarakat adat di Sumatera Utara, khususnya pantai barat hamparan Tapanuli, terhadap wilayah masyarakat adat yang belum mendapat legalisasi pemerintah.
“Masyarakat adat memiliki bukti, sejarah, dan histori kuat soal hutan adatnya. Tradisi masyarakat Sihaporas sudah berjalan ratusan tahun. Saat ini, sekitar 40 ribu hektar lahan mereka berkonflik akibat HTI dan konsesi milik PT. Toba Pulp Lestari (PT.TPL),” jelasnya.
Saurlin mengatakan saat ini dari 40-an ribu hektar yang teridentifiksi sebagai hutan adat di pantai barat Tapanuli, hampir 50 persennya hancur karena dikonversi menjadi eukaliptus. “Ini tidak mudah direvitalisasi, butuh waktu lama menjadikannya seperti semula. Sehingga wilayah hutan adat harus segera dikeluarkan dari konsesi PT. TPL. Jangan hancurkan masyarakat adat secara sistematis,” tandasnya.