Latar belakang pendidikan I Made Agus Wesnawa, 37 tahun, sebenarnya seni rupa dan kajian budaya. Namun, dia justru menjadi bagian dari Rainbow Warrior, kapal legendaris pembela lingkungan milik Greenpeace.
Gus West, panggilan akrabnya, adalah lulusan Jurusan Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar. Pada tahun 2001, ketika masih mahasiswa, dia bersama teman-temannya di Keluarga Mahasiswa Seni Rupa ISI Denpasar (Kamasra) melaksanakan pameran seni rupa bertajuk Mendobrak Hegemoni.
Kala itu anggota Kamasra membuat pameran di Lapangan Puputan Badung, Denpasar dengan media-media merakyat semacam baliho dan kertas karton. Bagi para mahasiswa ISI Denpasar saat itu Mendobrak Hegemoni adalah upaya melawan kemapanan kelompok perupa senior di Bali, seperti Sanggar Dewata Indonesia.
Sekitar 17 tahun berselang, Mendobrak Hegemoni tetap menjadi salah satu riwayat perdebatan wacana seni rupa di Bali. Meskipun para mahasiswa yang berpameran kala itu sudah tidak lagi tergabung dalam komunitas khusus, mereka masih aktif berpameran di komunitas masing-masing.
Tak sedikit pula yang memilih jalan aktivisme, sebagaimana halnya Gus West. Sejak 2002, bapak satu anak kelahiran Jembrana, Bali ini menjadi relawan Rainbow Warrior. Waktu itu kapal tersebut ke Bali karena ada Konferensi Tingkat Tinggi Pembangunan Berkelanjutan.
Setahun kemudian Gus West, yang juga anggota Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali, kemudian bergabung dalam aksi bersama Rainbow Warrior saat ada pertemuan internasional tentang bisnis batubara.
baca : Kunjungi Kapal Rainbow Warrior, Menteri Susi Ajak Masyarakat Papua Jaga Lautnya
Kejahatan Tanpa Batas
Dari Bali, Gus West mengembangkan pengalaman aktivismenya bersama Rainbow Warrior ke negara-negara tetangga, terutama Thailand. Dia antara lain belajar investigasi masalah lingkungan, pada saat itu tentang pepaya genetic modified organism (GMO).
Pengalaman mengikuti pelatihan dan aksi lingkungan di negara-negara sekitarnya, termasuk Myanmar dan Hong Kong menambah pengetahuan dan kemampuannya di isu lingkungan. “Salah satunya memahami kerja advokasi lingkungan menggunakan seni dan budaya,” kata alumni S2 Kajian Budaya Universitas Udayana, Bali ini.
Setelah setahun menjadi relawan di Rainbow Warrior, Gus West mulai bekerja resmi di Greenpeace Asia Tenggara yang pada saat itu baru memulai kantornya. Kerjanya masih serabutan, seperti penerjemah, pengurus logistik, asisten untuk tim aksi, sampai riset. Pekerjaan resminya sebagai anggota tim pemantauan lapangan.
“Dari sana, saya mulai mendalami isu hutan dan aktif berhubungan dengan teman-teman Walhi dan Telapak,” kata Gus West. Telapak adalah organisasi lingkungan berkantor di Bogor, Jawa Barat yang bekerja antara lain di isu kehutanan, pertanian, ekowisata, dan energi terbarukan.
Ketika bekerja di isu kehutanan itu, Gus West bertugas melacak penebangan kayu secara ilegal (illegal logging) di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Tugasnya melacak dari mana kayu-kayu ilegal berasal dan berakhir. Saat itulah dia melihat para perusahaan kayu menebang kayu di bagian hulu lalu menghanyutkannya di sungai saat banjir.
baca : Bersama Rainbow Warrior: Mereka Usir Tongkang Batubara dari Taman Nasional Karimun Jawa
Kayu ilegal kemudian dikirim ke perusahaan-perusahaan pengolahan di negara tetangga dan diberi label baru seolah-olah kayu legal. Praktik timber laundry ini menghasilkan produk-produk kayu mahal yang dijual ke pasar Eropa atau Amerika Serikat, seperti tongkat biliar, korden kayu, atau rak dapur.
“Itu bukti bahwa kejahatan lingkungan itu borderless, tanpa batas. Produk kayu ilegal dari hutan-hutan Indonesia bisa diolah di Malaysia atau Vietnam oleh perusahaan dari Singapura yang produk akhirnya dijual ke Amerika atau Eropa,” ujar Gus West.
“Karena itulah, aktivis lingkungan juga perlu pemahaman tentang estetika kejahatan lingkungan agar bisa menjawab isu tersebut,” tambahnya.
Satu-satunya dari Indonesia
Sejak 2004, Gus West mulai mengikuti perjalanan Rainbow Warrior. Dia memulainya dari Singapura, di mana kapal tersebut menjalani perawatan. Perjalanan pertamanya setelah itu mengambil jalur melewati Australia–Selandia Baru–Fiji–Vanuatu–Papua Nugini dan berakhir di Bali.
Ketika itu dia menjadi satu-satunya orang Indonesia yang menjadi anak buah kapal (ABK) dari 16 hingga 22 kru tiap kapal. Greenpeace sendiri memiliki tiga kapal. Selain Rainbow Warrior, dua kapal lain adalah Arctic Sunrise dan Esperanza. Di tiap kapal ada 28-30 orang, termasuk ABK. Saat ini hanya ada dua orang Indonesia yang menjadi ABK dari total 120 kru Greenpeace.
Tugas utama Gus West di bagian logistik, seperti mengurus surat-surat kapal. Namun, sebagai ABK dengan kegiatan utama kampanye lingkungan, dia juga harus paham dan mengikuti aksi-aksi lingkungan.
“Sebagai ABK, kami bertanggung jawab dalam perawatan kapal sehari-hari, termasuk bersih-bersih, tetapi pada saat kampanye atau aksi, kami harus jadi aktivis,” katanya.
Salah satu aksi awal yang dia ikuti adalah ketika mereka memblokade kapal pengangkut batubara di Newcastle, Australia. Mereka juga memblokade kapal pengangkut kedelai GMO dari Argentina ke negara Kanguru itu.
Berbagai aksi bersama Sang Laskar Pelangi kemudian dia ikuti di berbagai negara. Aksi kampanye tentang perikanan berkelanjutan di Selandia Baru, kampanye penyelamatan laut di Fiji, hingga kolaborasi bersama seniman lokal di Meksiko dan Kuba.
Dari aksi-aksi itu, Gus west menyadari pentingnya memadukan seni dengan advokasi. “Kadang-kadang ide-ide aksi bisa liar dan tidak mudah dipahami. Karena itulah kami perlu kemampuan seni untuk menyampaikannya agar mudah dipahami publik, seperti kartun dan poster,” katanya.
baca : Solidaritas dan Semangat Komunitas Pada Kedatangan Kapal Rainbow Warrior
Berada di kapal yang terus menjelajah berbagai belahan dunia membuat Gus west juga berkelana ke mana-mana. Dalam tiga bulan satu kali perjalanan (trip) dia mengunjungi setidaknya 6-7 negara. “Berlayar mengelilingi dunia mungkin sudah empat kali,” ujar Gus west.
Selama perjalanan itu, Rainbow Warrior selalu melakukan kerja-kerja penyelamatan lingkungan yaitu kampanye, aksi, riset, dan kerja kemanusiaan. Hal terakhir selalu menjadi prioritas. Dia mencontohkan ketika terjadi bencana tsunami di Aceh atau topan di Filipina, mereka segera menuju lokasi tersebut meskipun sedang melakukan kegiatan lain di dekat tempat tersebut.
Lukisan Protes
Setelah empat kali berkeliling dunia, April hingga Juni lalu, Gus west kembali ke tanah kelahirannya, Bali. Bapak satu anak ini mengambil cuti ketika Rainbow Warrior mampir ke Papua dan kemudian Bali dalam rangkaian ekspedisi bertema Jelajah Harmoni.
Selama cuti di Bali, Gus west melanjutkan lagi hasratnya untuk melukis. Pada 24 Juni – 1 Juli lalu, dia bahkan menggelar pameran lukisan bertema Pulang Kampung di Kulidan Kitchen, Gianyar. Ada sepuluh lukisan bertema lingkungan yang dia buat dua tahun terakhir.
Seperti halnya aktivisme yang dia lakukan, tema-tema itu pun sarat dengan protes-protes terhadap kondisi lingkungan saat ini, terutama di tanah kelahirannya sendiri. “Semua dari pengalaman pribadi selama ini,” katanya.
Bali Climate Activist, misalnya, menggambarkan seorang figur pekerja mengecat warna putih pada asap hitam yang keluar dari cerobong Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan batu bara. Bagi Gus West, lukisan itu adalah simbol para aktivis dan warga di Celukan Bawang, Buleleng, Bali yang berjuang mendapatkan udara bersih dan mulai menghapus penggunaan energi kotor
“Saya dedikasikan lukisan ini karya ini untuk masyarakat yang menolak PLTU Celukan Bawang,” tegasnya.
baca : Greenpeace: PLTU di Celukan Bawang Meracuni Bali
Karya-karya Gus West yang lain, seperti Shark Boat, Sisi Gelap Penebangan Hutan, dan Climate Criminal, menceritakan hal serupa. Tentang pembantaian hiu, orangutan yang tergusur akibat penebangan hutan, hingga penjahat di balik isu perubahan iklim.
Karya-karya itu memberikan pesan kuat bagaimana perjuangan membela lingkungan bisa dilakukan bisa dilakukan dengan jalan apa saja, seperti aksi maupun karya seni.