Persoalan energi kotor dari pembangkit listrik batubara menarik perhatian seniman muda Sandrayati Fay. Minggu lalu Sandra berbagi cerita usai mengunjungi PLTU Celukan Bawang, Bali, kepada sejumlah anak muda di Jakarta. Di kafe di Kebayoran Baru, Jakarta, musisi berdarah Filipina-Amerika ini mengungkapkan kegelisahan atas rencana ekspansi pembangunan PLTU Celukan Bawang II.
“Akhir pekan kemarin aku mengunjungi warga yang masih mempertahankan tanah. Mendengar langsung cerita mereka. Bagaimana dampak PLTU pertama. Bagaimana itu dibangun di tanah pribadi milik warga dengan jalan tak baik,” katanya malam itu didampingi bandnya, Nostress.
Dengan ahasa Indonesia lancar, bercampur logat Inggris dan Bali, Sandra menyatakan kegelisahan polusi PLTU yang mungkin dirasakan generasi mendatang.
Polusi pembangkit ini tak hanya melukai manusia yang hirup udara pembakaran batubara, juga ‘menyakiti’ tanah dan tumbuhan.
“Ini (perubahan iklim) masalah serius di seluruh dunia. Kita semua ada hubungan dengan yang lain. Interconnected. Dengan tumbuhan, dengan tanah. Udara, tidak ada batasan. Di sini, di Eropa.”
Di usia sangat muda, 22 tahun, dia menulis lagu tentang alam, cinta dan identitas. Beberapa lagu terinspirasi dari berbagai perjuangan mempertahanakan alam dari serbuan tambang dan industri ekstraktif lain, misal, lagu “Suara Dunia” dirilis Oktober tahun lalu, terinspirasi dari kisah masyarakat adat Mollo yang berjuang melawan tambang marmer selama 13 tahun.
Mama Aleta Baun, tokoh adat perempuan Mollo yang memimpin perjuangan melawan tambang, jadi inspirasi Sandra.
Bersama Rara Sekar dari Bandaneira dan Danilla Riyadi, Sandra membentuk proyek bertajuk Dara Muda. Bergiliran mereka merekam dan merilis lagu yang direkam secara live di alam terbuka.
“Ini (menjaga alam) masalah serius demi anak cucu kita. Perlu ada solidaritas. Ini bukan cuma masalah Bali, masalah tourism tapi untuk kita semua.”

Pada kesempatan sama, Peneliti Spesialis Polusi Udara Greenpeace, Lauri Myllivirta mengatakan, PLTU Celukan Bawang dibangun dengan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) tak sesuai standar.
Hasil penelitian Greenpeace, PLTU Celukan Bawang baik yang beroperasi maupun akan dibangun menghasilkan limbah yang tak hanya berbahaya bagi manusia, juga satwa laut dan industri wisata di Bali Utara.
Salah satu satwa yang terdampak adalah lumba-lumba di Pantai Lovina, daya tarik wisatawan ke Bali Utara.
Lumba-lumba terdampak karena pulutan PM 2.5 dan merkuri yang lepas ke udara bersamaan dengan asap pembakaran batubara.
PM2.5, materi berukuran lebih kecil dari helai rambut manusia, dilepaskan dalam setiap pembakaran termasuk PLTU. Partikel ini bertahan di udara dalam jangka lama dan bisa terbang ratusan kilometer. Paparan jangka panjang polutan ini bisa menyebabkan asma, infeksi saluran pernapasan akut, kanker paru-paru dan memperpendek harapan hidup manusia.
Kadar merkuri di atas 1 ppm dapat menyebabkan kerusakan otak, penurunan IQ, dan kerusakan ginjal serta jantung. Kerusakan neurologis pada janin bisa dimulai pada kadar merkuri diatas 0,58 ppm.
Catatan BaliFokus, lembaga yang fokus isu manajemen lingkungan urban, deposisi merkuri dari PLTU Celukan Bawang akan tersebar di ekosistem sensitif antara lain lumba-lumba dan batu karang di Pantai Lovina hingga jalak Bali di Taman Nasional Bali Barat. Sekitar 650.000 jiwa berada dalam risiko polusi.
“Jika dilihat emisi global merkuri, sekitar 24% dari emisi pembakaran batubara. Sekitar 471,57 ton per tahun,” kata Sonia Buftheim dari BaliFokus Asia.
Mengutip data Basel Convention Regional Center (BCRC) for South East Asia per November 2017, dari 21 gigawatt PLTU terpasang di Indonesia melepaskan emisi merkuri empat ton per tahun. Namun, katanya, perlu digarisbawahi angka ini hanya tiga PLTU. PLTU eksisting di Indonesia hingga 2017 jauh lebih banyak.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Minamata pada September 2017, yang mewajibkan mengontrol dan mengurangi emisi merkuri bersumber dari PLTU batubara, pembakaran batubara untuk industri, smelter, fasilitas insinerator sampah, dan fasilitas produksi semen.

Dengan kata lain, Indonesia salah satu negara penandatangan konvensi ini wajib menyusun inventory, menetapkan tujuan dan menetapkan nilai ambang batas, menetapkan strategi kontrol multi polutan, dan menetapkan strategi kontrol lain.
“Selain menghapus perdagangan merkuri, identifikasi dan membersihkan lahan tercemar, solusi lain mengapus PLTU batubara.”
BaliFokus mendampingi korban PLTU Mpanau, Palu. Setidaknya ada 14 orang tinggal di sekitar PLTU menderita sakit parah, mulai dari kanker nosofaring, hingga paru-paru. Sebagian korban sudah meninggal dunia sejak 2015. Sebagian lain masih dirawat di rumah sakit.
Pesannya jelas, kata Sonia, setop energi kotor terutama di pulau kecil dan dukung energi terbarukan, terutama di Bali dengan jadikan pulau ini pulau berkelanjutan (sustainable island).

Pendapat hukum
Sebelumnya, akhir Juni lalu, sembilan organisasi lingkungan hidup Indonesia dan internasional mengajukan pendapat hukum Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) kepada hakim PTUN Denpasar terkait gugatan ekspansi PLTU Celukan Bawang. Proyek ini dianggap tak memenuhi UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) No. 32/2009 dan merongrong komitmen iklim internasional Indonesia.
Pendapat hukum setebal 18 halaman itu menyebutkan, perluasan PLTU Celukan Bawang tak menyertakan analisis komprehensif dampak perubahan iklim dalam pengambilan keputusan penerbitan izin lingkungan.
Padahal, izin lingkungan harusnya berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup dan amdal yang menganalisis komprehensif bagaimana dampak proyek terhadap lingkungan.
“Amicus meyakini, kewajiban hukum dan ketentuan dalam UU PPLH berikut turunannya memberikan alasan bagi majelis membatalkan izin lingkungan PLTU batubara yang tak mempertimbangkan dampak perubahan iklim,” kata Margareta Quina, Kepala Divisi Pencemaran Lingkungan ICEL.
Ekspansi PLTU Celukan Bawang, katanya, akan membakar hampir tiga juta ton batubara per tahun selama 30 tahun beroperasi. Pembangkit ini akan melepaskan lebih dari 200 juta ton CO2.
“Sangat mungkin proyek akan menghambat pencapaian komitmen internasional Indonesia untuk pengurangan emisi gas rumah kaca 29% pada 2030 atau 41% dengan bantuan internasional.”
Sarah Burt dari Earthjustice mengatakan, Indonesia akan kesulitan memenuhi komitmen iklim tanpa perhitungan akurat mengenai pembangunan berbasis bahan bakar fosil seperti PLTU Celukan Bawang.
“Analisis dampak perubahan iklim adalah instrumen penting dalam menstabilkan iklim untuk melindungi terumbu karang, perikanan dan masyarakat pesisir di Bali dan seluru dunia,” kata Sarah.
Keterangan foto utama: Rainbow Warrior Rejecting Coal Power Plant. Foto: Made Nagi, Greenpeace
