Pada bulan Juli 2018, 25 ilmuwan dari berbagai negara mengirimkan surat kepada Presiden Indonesia Joko Widodo, meminta agar proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) oleh PT North Sumatra Hydro Energy (NSHE) di Tapanuli Selatan dihentikan.
Pernyataan ini merupakan tanggapan atas pernyataan dari pihak konsultan NSHE, yang sebelumnya menyebut bahwa proyek PLTA Batang Toru telah memenuhi aspek-aspek kelestarian ekosistem di dalam dan di sekitar lahan proyek.
Berkebalikan dengan pernyataan konsultan NSHE, dalam isi suratnya para ilmuwan menyebut rencana Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang akan dibangun di ekosistem Batang Toru, dapat dipastikan akan mengancam keberadaan orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis), spesies kera besar paling langka yang masih ada di dunia.
Dalam cuplikan pernyataanya, tertulis ”Unsur proyek PLTA Batang Toru yang menghasilkan ancaman besar bagi habitat terakhir orangutan tapanuli termasuk sebuah terowongan besar (diameter 10 meter) yang akan membelah hutan primer sepanjang 13 km, dan penggalian terowongan akan menghasilkan jutaan meter kubik limbah tanah dan batuan. Jalan inspeksi untuk terowongan di sepanjang hutan primer dan saluran listrik tegangan tinggi akan membelah hutan primer. Dan Pembangunan PLTA berada di atas episentrum gempa bumi di Sumatera Utara, yang sangat dekat dengan patahan tektonik utama”
Baca juga: Para Ilmuwan Dunia Kirim Surat ke Jokowi Khawatirkan Pembangunan PLTA Batang Toru
Salah satu ilmuwan tersebut, William Laurence dari James Cook University Australia, menyebut proyek PLTA Batang Toru berada tepat di tengah habitat terakhir orangutan tapanuli. Proyek ini dapat dipastikan akan membelah hutan dengan jalan, jaringan listrik, terowongan dan membanjiri habitat kritis dengan air.
Adapun proyek senilai sekitar USD 1,6 miliar ini, rencana finansialnya akan didukung oleh Bank of China dan Sinohydro asal China, setelah sebelumnya batal didanai oleh Bank Dunia karena dianggap memberikan efek yang buruk bagi lingkungan.
Dampak Pembangunan Bagi Masyarakat Hilir Sungai Batangtoru
Tidak saja kepada keberlangsungan habitat orangutan, proyek PLTA juga akan berdampak sosial dan ekonomi kepada masyarakat yang tinggal di wilayah hilir bendungan. Pasalnya untuk menghasilkan tenaga listrik, sungai Batang Toru harus dibendung dan dilepaskan dalam waktu tertentu.
Melihat letaknya di sungai Batang Toru, dapat dipastikan PLTA akan berdampak pada masyarakat di Kabupaten Tapanuli Selatan, khususnya yang hidup di beberapa Kecamatan seperti Batang Toru, Angkola Sangkunur, dan Muara Batang Toru. Masyarakat ini umumnya tergantung hidupnya dari sungai untuk mendukung kegiatan sehari-harinya baik transportasi, perikanan, hingga pertanian.
Sektor perikanan sudah menjadi kegiatan ekonomi prioritas untuk masyarakat yang bermukim di hilir sungai. Hal ini terbukti dengan wilayah hilir sungai Batang Toru yang sudah terkenal sebagai penghasil ikan limbat atau ikan sale (ikan yang sudah diasapi sebagai masakan khas daerah Tapanuli Selatan).
Baca juga: Marak Kontroversi Pendirian PLTA di Habitat Orangutan Tapanuli
Pengasapan ikan menjadi industri rumahan yang tumbuh menjamur, amat mudah ditemui di hilir sungai Batang Toru. Industri pengasapan ikan sale ini telah ditekuni secara turun-temurun dan menjadi penopang ekonomi masyarakat di hilir sungai.
Jenis ikan yang dapat ditemukan di Sungai Batang Toru pun beragam. Salah satunya yang paling terkenal adalah jurung merah yang merupakan ikan endemik yang mendiami perairan Sungai Batang Toru dan Danau Siais. Menurut Kottelat et al (1993), jenis-jenis ikan sungai, termasuk jurung merah, yang masuk dalam genus Tor saat ini kondisinya sudah terancam punah.
Menurut hikayatnya, ikan jurung dulunya menjadi hidangan para raja dan amat berperan dalam tatanan adat di daerah Tapanuli Selatan. Untuk alasan menjaga kelestariannya, ikan jurung pun dilindungi lewat kearifan lokal oleh masyarakat. Diantaranya lewat praktik lubuk larangan yang dapat dijumpai di wilayah hilir Sungai Batang Toru. Bahkan di Desa Rianiate, yang berada di dekat Sungai Batang Toru, ikan jurung ini telah dikeramatkan oleh masyarakat.
Jika PLTA Batang Toru bakal beroperasi, maka dapat dipastikan migrasi jenis-jenis ikan, -termasuk ikan jurung, ke wilayah hulu Sungai Batang Toru dan Parsariran pun akan terhambat.
Selain perikanan, sungai Batang Toru juga menjadi media transportasi masyarakat dari hulu menuju ke muara. Jika berkunjung ke wilayah hilir dapat dijumpai perahu di sepanjang sungai, baik yang mengangkut orang maupun mengangkat barang seperti barang pertanian maupun perikanan. Banyaknya perahu menjadi indikasi betapa pentingnya sungai ini untuk kehidupan sehari-hari bagi masyarakat hilir.
Pertanian pun Terancam
Di hilir sungai Batang Toru, pertanian adalah kegiatan yang paling mudah dijumpai. Di kiri dan kanan sungai terhampar lahan-lahan pertanian yang diusahakan oleh masyarakat maupun perusahaan seperti PTPN III Batang Toru. Bahkan, sebagian besar masyarakat memiliki lahan yang jaraknya tepat dipinggir sungai hingga sejarak satu km dari sungai.
Dikhawatirkan pembangunan bendungan akan menambah rusaknya fluktuasi debit aliran air sungai, yang dapat berakibat terdampaknya tanaman pertanian ekonomi produktif masyarakat seperti area persawahan. Sebelumnya, hasil telaah Walhi Sumut yang disampaikan oleh Direkturnya, Dana Tarigan menyebut sekitar 1.200 hektar lahan pertanian produktif di hilir Sungai Batang Toru dan kehidupan para petaninya akan terancam akibat pembangunan proyek PLTA.
Sebelum ada rencana PLTA pun sungai Batang Toru sudah sering meluap sehingga menyebabkan sawah tergenang. Kondisi sungai yang sering meluap dan menyebabkan bencana banjir, akan lebih beresiko lebih tinggi jika rencana pembangunan PLTA dilanjutkan.
Kejadian meluapnya sungai yang terakhir terjadi pada November 2017 yang menerpa lebih dari 200 hektar sawah siap panen dan kejadian terendamnya rumah-rumah warga akibat meluap dan naiknya debit Sungai Batangtoru
Dengan memperhatikan akibat dampak terhadap ekosistem, habitat orangutan dan dampak sosial ekonomi masyarakat, pembangunan PLTA Batangtoru perlu dipertimbangkan kembali. Sudahkah kita siap kehilangan dan mengorbankan semuanya hanya untuk energi yang masih bisa diperoleh dari sumber energi lain seperti panas bumi dan digunakan hanya pada waktu beban puncak saja?
Jika tidak, maka lokasi dan proyek PLTA sangat tidak sesuai untuk diterapkan di Batangtoru.
* Hamid Ar Rum Harahap, penulis adalah pengurus di Youth for Climate Change Sumatera Utara. Tulisan ini merupakan opini penulis.
Foto utama: Orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis), spesies baru yang berada di Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Foto: Maxime Aliaga/Batangtoru.org