Selama ini kita sering mendengar berita tentang deforestasi yang terus meningkat. Faktor penyebab yang sering disebut diantaranya perluasan lahan pertanian, penebangan kayu ilegal, kebakaran gambut dan tingkat kemiskinan masyarakat sekitar hutan. Dalam hal ini, masyarakat setempatlah yang paling sering dituding sebagai aktor perusakan hutan, -semisal perambahan, namun sebaliknya mereka kurang dilibatkan dalam proses pemulihan hutan.
Sebagai bentuk koreksi kebijakan, paradigma baru pengelolaan hutan pun mulai diperkenalkan. Tujuannya menunjukkan masyarakat dapat menjadi aktor dalam program pemulihan ekosistem. Sebagai dampak, masyarakat yang awalnya merambah dan merusak kawasan hutan mulai berubah dan turut melestarikan hutan.
Sebagai contoh inisiati tersebut adalah kemitraan antara Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), kegiatan restorasi lahan berhasil menghutankan kembali sekitar 1.187 hektar lahan dari total sekitar 4.100 hektar zona rehabilitasi hingga tahun 2016.
Sebelum menjadi kawasan TNGGP, kawasan ini adalah bagian hutan lindung dan hutan produksi yang dikelola Perum Perhutani yang dikelola oleh masyarakat lewat program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Dalam PHBM, masyarakat dipersilakan memperoleh akses ke dalam hutan untuk pemanfaatan hutan. Contohnya, masyarakat diperbolehkan menanam tanaman kopi di bawah tajuk pohon hutan, ataupun menanam tanaman hortikultura di sela-sela pohon hutan sebelum tajuk pohon hutan menutupi seluruh areal hutan.
Perubahan status kawasan hutan, dari hutan lindung dan hutan produksi menjadi taman nasional tahun 1980 memberikan dampak bagi masyarakat. Kawasan hutan yang dulunya dapat dimanfaatkan hasil hutan non kayunya, kini sudah tidak diperbolehkan lagi. Tantangan besarnya, bagaimana memulihkan hutan dapat dilakukan, saat sebagian besar masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan taman nasional memiliki lahan pertanian garapan di dalam kawasan hutan.
Program yang dipilih adalah pola adopsi pohon lewat Pengelolaan Konservasi Bersama Masyarakat, yang berlaku selama 5 tahun (2011-2016). Kegiatan ini merupakan hasil kerjasama BBTNGP dengan organisasi sosial kemasyarakatan OISCA Sukabumi Training Centre yang fokus dalam memberikan pelatihan pada masyarakat untuk pemulihan ekosistem hutan.
Dalam implementasinya, kegiatan ini dilakukan dengan berbagai kalangan, seperti masyarakat, organisasi, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, perusahaan lokal maupun asing.
Ada tiga pelaku utama dalam program ini yakni: pelaksana kegiatan, adopter, dan operator. Pelaksana kegiatan adalah masyarakat yang berada disekitar taman nasional. Adopter adalah pihak penyandang dana, dan operator adalah OISCA Sukabumi TC yang merupakan organisasi sosial kemasyarakatan.
Biaya yang dikenakan untuk penanaman adalah Rp 108.000,-/pohon dalam jangka waktu tiga tahun. Dana yang diperoleh lalu diserahkan pada kelompok tani dalam bentuk ternak, pertanian organik dan pembinaan wisata alam.
Gerakan rehabilitasi lahan dilakukan di lahan yang kritis berupa semak belukar yang ditinggalkan para perambah hutan. Jenis tanaman yang ditanam adalah tanaman asli dan pohon buah-buahan, tujuannya agar hasil panen buahan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Selain itu, dilakukan pula kegiatan diluar kawasan hutan berupa budidaya jamur, tanaman hias, pembuatan kompos, dan pupuk organik yang prosesnya didampingi oleh BBTNGGP.
Hasil adopsi pohon dan rehabilitas lahan kritis ini terbilang cukup sukses dalam upaya pemulihan ekosistem hutan. Terlihat dari hasil peningkatan tutupan hutan tiap tahunnya. Satwa-satwa asli yang sudah lama tidak pernah terlihat dapat dijumpai di kawasan rehabilitasi.
Selain itu terjadi peningkatan jumlah pengunjung wisata di taman nasional tiap tahunnya, baik dari luar maupun dalam negeri.
Rehabilitasi di Taman Nasional Gunung Ciremai
Cerita sukses serupa berasal dari Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Program menargetkan pemulihan ekosistem seluas 7.728 hektar lahan yang seluruhnya telah terdegradasi. Untuk tahun 2009-2016, program pemulihan ekosistem ini telah mencapai target 67 persen.
Sebagian kawasan TNGC dulunya merupakan hutan lindung dan hutan produksi yang dikelola Perhutani. Sejak perubahan status menjadi taman nasional tahun 2004, pola pengelolaan yang sebelumnya bertujuan produksi, diubah menjadi tujuan perlindungan, konservasi, serta pengembangan jasa lingkungan dan pariwisata alam.
Konstituen program restorasi hutan ini diantaranya masyarakat sekitar hutan, pengunjung TNGC, dan mitra kerjasama TNGC yakni: Japan International Cooperation Agency (JICA), Japan International System (JICS) dan Yamaha Motor Indonesia. Pemulihan ekosistem TNGC dapat dibilang berjalan sukses, yang dapat dilihat dari hasil peningkatan tutupan hutan di beberapa lokasi didalam kawasan TNGC.
Dampak pemulihan ekosistem pun dapat langsung ditemukenali. Diantaranya telah kembali terindentifikasinya 99 titik mata air didalam taman nasional. Adanya mata air ini memberikan nilai ekonomi dalam konteks valuasi ekonomi dari jasa ekosistem air. Kedepannya sumberdaya air ini dapat digunakan oleh pemanfaat air, seperti PDAM dan perusahaan lain yang memberikan insentif bagi pemeliharaan jasa ekosistem kawasan hutan.
Bagi masyarakat sekitar, Balai TNGC pun melakukan program pendampingan pengelolaan ekowisata dan pemahaman nilai dan fungsi penting hutan. Secara perlahan, aktivitas ekowisata dapat berjalan dan memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat. Dalam prosesnya, pihak pengelola taman nasional memfasilitasi perpindahan profesi bagi masyarakat, -yang semula penggarap lahan di dalam kawasan, menjadi pelaku jasa ekowisata.
Pembelajaran yang Dapat Ditarik
Dalam skala nasional, masih tercatat sekitar 24,3 juta hektar lahan kritis yang 60 persen didalamnya merupakan kawasan hutan, baik hutan produksi maupun hutan konservasi. Saat ini pemerintah menargetkan sekitar 5,5 juta ha lahan kritis untuk direhabilitai sampai tahun 2019.
Dua cerita diangkat di atas, tentu tak seberapa jika dibandingkan dari luasan lahan hutan yang terdegradasi. Tantangan yang dihadapi pun beragam. Mulai dari kekurangan dana rehabilitasi, kekurangan alat-alat dan fasilitas dan kemampuan teknis hingga kekurangan mitra.
Meskipun demikian, dalam upaya pemulihan kawasan hutan, aspek-aspek yang menjadi kunci kesuksesan pemulihan ekosistem dapat direkam dan dijadikan bahan pembelajaran kedepan untuk dikembangkan, atau diinovasikan sebagai suatu model pemulihan alam dan ekosistem.
Referensi:
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (2016) Statistik Lingkungan Hidup dan KehutananTahun 2016. Jakarta.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (2018) Laporan Kinerja 2017. Jakarta.
Ministry of Environment and Forestry Republic of Indonesia (2018) The State of Indonesia’s Forests 2018. Edited by S. Nurbaya. Jakarta: Ministry of Environment and Forestry Republic of Indonesia
Sawitri, R. and Bismark, M. (2013) ‘Persepsi Masyarakat Terhadap Restorasi Zona Rehabilitasi Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango’, Forest Rehabilitation Journal, 1(1), pp. 91–111.
Susmianto, A. et al. (2017) ‘Belajar dari Lapangan’ Kisah Keberhasilan Pemulihan Ekosistem di Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam secara Partisipatif. Edited by W. Rudianto et al. Jakarta: FORDA Press.
Foto tampak muka: menanam bibit pohon, melestarikan masa depan. Foto: Ridzki R. Sigit/Mongabay Indonesia
* Ratna Tondang, penulis adalah lulusan Program Studi Rekayasa Kehutanan, Institut Teknologi Bandung. Artikel ini merupakan opini penulis.