Mohammad Adib, Dosen Antropologi FISIP Universitas Airlangga, menulis Opini di Kompas 17 Juni 2018, berjudul “Perhutanan Sosial sebagai Legalisasi Deforestasi.”
Dalam artikel itu, lebih dari separuh tulisan (hanya) berisi data-data dan definisi deforestasi yang dikutip dari sejumlah sumber. Tanpa ada penjelasan memadai, penulis langsung menuliskan pernyataan bahwa, ‘..deforestasi juga dilakukan secara legal oleh negara atas 4,2 juta hektar melalui KLHK untuk program perhutanan sosial.’
Baca juga: Kelompok Tani Timbo Abu: Memanen Hutan, Membentengi dari Serbuan Sawit
Saya mencoba membaca secara cermat artikel ini, sayang sekali sampai akhir tulisan saya tak menemukan sama sekali penjelasan atau argumen bagaimana program perhutanan sosial yang dijalankan Pemerintah Joko Widodo atau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merupakan bentuk deforestasi yang dilegalkan. Begitu juga ketika penulis berusaha, mempersempit kajian terkait pengelolaan hutan dan implementasi perhutanan sosial di Pulau Jawa.
Alih-alih mendapatkan penjelasan program perhutanan sosial sebagai legalisasi deforestasi, saya justru mendapatkan kesan penulis sama sekali tak paham perhutanan sosial baik secara konseptual maupun implementasi di lapangan. Lebih lanjut, tulisan ini mencoba menunjukkan penyesatan atau kesalahan dari tulisan itu.
Baca juga: Nagari Sei Buluh: Kami Bergantung Hidup dari Hutan
Penyesatan pertama, pernyataan yang menyatakan, deforestasi dilakukan legal oleh negara atas 4,2 juta hektar melalui KLHK untuk program perhutanan sosial. Saya dapat katakan, penulis tampak tak cukup mendalami kebijakan maupun implementasi perhutanan sosial di Indonesia.
Sesungguhnya, tidaklah sulit mendapatkan informasi mengenai sejarah kebijakan perhutanan sosial di Indonesia. Banyak pihak sudah menuliskan mengenai topik ini dan tersebar di internet, jurnal juga buku.
Baca juga: Hutan Adat Itu Supermarket Orang Iban, Sungai Utik
Dalam konteks kebijakan pengelolaan hutan di Indonesia, kebijakan kehutanan yang dapat dikaitkan atau dikatakan sebagai model perhutanan sosial setidaknya sudah mulai sejak 1972, dalam bentuk program prosperity approach Perhutani yang makin terlembaga dalam program perhutanan sosial pada 1980-an atas dukungan Ford Foundation.
Sejak saat itu, berbagai peraturan juga dibuat pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan untuk memperkuat perhutanan sosial. Beberapa antara lain, seperti ditulis Diah Suradiredja dkk (2017) adalah Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmenhut) No 622/1995 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan, pada 1997 diperbaiki melalui Kepmenhut dan Perkebunan No 677/1997 tentang Hutan Kemasyarakatan. Setelah pemerintah menetapkan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, kebijakan ini disesuaikan dan kembali diperbaiki melalui Kepmenhut dan Perkebunan No 865/1999. Pada tahun-tahun berikutnya, kebijakan terkait perhutanan sosial terus mengalami perubahan.
Baca juga: Menjaga Hutan Memanen Madu Sumbawa
Untuk hutan di luar Jawa dan di luar wilayah kerja Perum Perhutani pada 2001, terbit Kepmenhut No 31/2001 tentang Penyelenggaraan HKm (Kepmen 31/2001). Khusus hutan di wilayah kerja Perum Perhutani terbit SK Dewan Pengawas Perum Perhutani No. 136/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat.
Berbagai kebijakan ini intinya mengakomodir partisipasi masyarakat dalam mengelola hutan sesuai fungsinya pada hutan produksi dan hutan lindung. Hutan Kemasyarakatan, salah satu model dari perhutanan sosial masuk dalam program rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) hingga diarahkan pada kawasan hutan dengan fungsi produksi dan lindung yang telah rusak. Pemungutan atau pemanfaatan hasil hutan kayu oleh masyarakat hanya dapat dilakukan pada hutan produksi. Di hutan lindung, masyarakat hanya dapat mengambil hasil hutan bukan kayu. Demikian juga dengan pelaksanaan program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) di wilayah Perhutani yang dilatarbelakangi kerusakan dan kegagalan pengelolaan hutan. Tujuannya, meningkatkan tanggung jawab perusahaan (Perhutani), masyarakat, dan pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan.
Hal senada masih tercermin dari sejumlah kebijakan yang mengatur tentang perhutanan sosial pada tahun-tahun berikutnya, misal, Permenhut No. 37/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan. Selain mengatur proses perizinan dan penetapan areal hutan kemasyarakatan yang tampak sekali kehati-hatian pemerintah dalam menjalan program perhutanan sosial, peraturan itu juga menempatkan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) sebagai penanggung jawab dalam verifikasi serta penerbitan izin hutan kemasyarakatan.
Pada 2016, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan Peraturan Menteri No. 83 tentang Perhutanan Sosial, yang bertujuan menyelesaikan permasalahan tenurial dan keadilan bagi masyarakat setempat dan masyarakat hukum adat di dalam atau sekitar kawasan hutan. Demikesejahteraan masyarakat dan pelestarian fungsi hutan. Dalam peraturan menteri itu, disebutkan, perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari dalam hutan Negara atau hutan hak (hutan adat) oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama. Bentuk-bentuk perhutanan sosial terdiri dari hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (HKm), hutan tanaman rakyat (HTR), hutan adat (HA), dan kemitraan kehutanan.
Khusus untuk implementasi perhutanan sosial di Pulau Jawa, selain mendorong Kemitraan Kehutanan sebagaimana diatur dalam P.83/2016– dipandang sebagai perbaikan atas program PHBM yang sudah jalan selama 20 tahun– yang banyak sekali mendapat kritik. KLHK juga menerbitkan Permenhut No.39/2017 tentang Izin Pengelolaan Hutan Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani.
Dalam P39 ini, disebutkan, perhutanan sosial di wilayah kerja Perum Perhutani dilaksanakan pada kawasan hutan dengan penutupan hutan kurang dari 10% secara terus menerus dalam kurun waktu lima tahun atau lebih. Baik dalam P83/2016 maupun P39/2017 ditegaskan sejumlah kewajiban pemegang izin perhutanan sosial, antara lain melakukan penanaman dan pemeliharaan hutan di areal kerja; mempertahankan fungsi hutan dan perlindungan hutan.
Dari uraian mengenai sejarah kebijakan perhutanan sosial di atas, terlihat sekali sejatinya program perhutanan sosial tak melulu bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tetapi merehabilitasi kawasan hutan yang rusak karena model pengelolaan hutan sebelumnya.
Hal ini jelas mematahkan pernyataan soal perhutanan sosial sebagai bentuk legalisasi deforestasi sebagaimana disampaikan penulis. Tak ada ketentuan yang memungkinkan terjadi alih fungsi hutan secara permanen melalui skema perhutanan sosial. Yang ada justru penegasan, bahwa, pemberdayaan masyarakat melalui program perhutanan sosial tanpa mengganggu fungsi pokok hutan.
Dalam konteks implementasi, meskipun sudah berumur cukup panjang dan cukup banyak kebijakan perhutanan sosial terbit harus diakui, pergerakan masih sangat lamban. Ada berbagai persoalan yang dihadapi mulai dari birokrasi, kelembagaan dan pendanaan.
Meskipun demikian, dari sejumlah kecil areal perhutanan sosial, sesungguhnya dapat menyaksikan keberhasilan program ini dalam menjaga kelestarian hutan maupun dalam peningkatan kesejahteraan atau pendapatan masyarakat.
Pada tahun-tahun awal, kita bisa menyebutkan keberhasilan pengelolaan hutan Damar oleh masyarakat Krui, Pesisir Barat Lampung. Ada juga keberhasilan masyarakat Adat Ngata Toro menjaga kelestarian hutan adat di Sulawesi Tengah. Begitu juga keberhasilan masyarakat Desa Durian Rambun di Jambi yang berhasil menjaga dan memulihkan kelestarian hutan di desa mereka yang ditinggal perusahaan HPH dalam kondisi rusak.
Ada pula masyarakat Sungai Utik yang diakui lembaga sertifikasi berhasil mengelola hutan secara lestari. Dari sisi ekonomi, kita tentu bisa dengan mudah menemukan keberhasilan perhutanan sosial. Salah satu contoh, keberhasilan masyarakat Pegunungan Menoreh mengelola HkM Kalibiru jadi salah satu tujuan wisata di Yogyakarta dengan pendapatan mencapai lebih Rp1 miliar pertahun.
Dalam konteks perhutanan sosial di Perhutani, meskipun banyak mendapat kritik, Perhutani juga seringkali menyampaikan keberhasilan PHBM dalam menekan pencurian kayu dan perambahan lahan.
Penyesatan kedua, adalah pernyataan yang mengatakan lebih dari separuh (51,87%) lahan di kawasan hutan Jawa dibagi-bagi kepada petani dalam program perhutanan sosial.
Sayang sekali, penulis tidak menyebutkan darimana sumber data itu. Juga tak menyebutkan program perhutanan sosial yang mana, apakah dalam bentuk IPHPS, hutan desa, HKm, atau Kemitraan Kehutanan.
Saya menduga, penulis justru salah mengambil data, karena bisa jadi yang dimaksud adalah data luasan program PHBM yang sudah dijalankan Perhutani sejak 2001.
Sejauh pengetahuan saya, dalam rapat kerja percepatan perhutanan sosial pada 31 Mei 2018 oleh KLHK diikuti para pihak terkait, untuk seluruh Region Jawa, Bali dan Nusatenggara, kementerian ini hanya menetapkan target perhutanan sosial sampai akhir 2018 seluas 176.069 hektar. Artinya, hanya 7,16% dari luas hutan kelola Perhutani. Dari target itu, sampai akhir April 2018, baru terealisasi 10.833 hektar.
Penyesatan ketiga, pernyataan soal program perhutanan sosial adalah pembagian lahan secara legal melalui SK dalam bentuk ‘sertifikat tanah’ dengan jangka pengelolaan sampai 35 tahun yang dapat diperpanjang. Benar, menurut P.39/2017 masyarakat pemegang izin IPHPS berhak mengelola hutan selama 35 tahun dan dapat diperpanjang. Namun izin bukanlah dalam bentuk ‘sertifikat tanah’ melainkan surat izin pemanfaatan perhutanan sosial yang diberikan kepada kelompok tani (kolektif) bukan kepada individu atau perorangan. Dalam salah satu surat izin IPHPS yang saya dapatkan, di dalam dokumen tegas disebutkan, tidak boleh ubah fungsi, tak boleh diperjualbelikan, dan tak boleh diagunkan. Ia sangat berbeda dengan sertifikat tanah.
Saya , sampai saat ini pelaksanaan program perhutanan sosial masih jauh dari sempurna. Masih ada banyak kendala baik bersumber dari pemerintah, kesiapan masyarakat, kapasitas aktor pendukung, prosedur kurang mantap dan lain-lain. Namun, mengatakan, perhutanan sosial sebagai bentuk legalisasi deforestasi adalah pernyataan tak berdasar dan ahistoris.
Yang benar, program perhutanan sosial adalah upaya legal reforestasi dengan jadikan masyarakat sebagai pelaku utama.
Penulis: aktivis Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam dan Koordinator Koalisi Pemulihan Hutan Jawa