Mangrove yang Memberi Harapan Nelayan Sembilang

 

Bentang alam Sembilang yang terletak di pesisir timur Sumatera Selatan, yang masuk dalam Taman Nasional Berbak Sembilang, merupakan lahan basah yang memiliki hutan mangrove cukup baik. Luasan Sembilang 202.896,31 hektar, sekitar 45 persennya adalah hutan mangrove bersama 70 sungai yang mengalir di dalamnya, besar maupun kecil.

Selama tiga hari, 13-15 Juli 2018, Mongabay Indonesia melakukan pemantauan kondisi mangrove di wilayah ini. Di beberapa lokasi, terlihat tahapan rehabilitasi atau suksesi mangrove berlangsung. Beragam jenis burung dan tanaman terlihat di sepanjang hutan ini. Bahkan, ada anggrek, masyarakat lokal menyebutnya “anggrek ratu” yang hanya berbunga setahun sekali. Biasanya Juni dan Juli.

Bentang alam Sembilang dibagi beberapa zona. Selain zona inti dan rimba, terdapat zona pemanfaatan, zona tradisional, zona rehabilitasi atau restorasi, zona khusus, zona pemanfaatan khusus, serta zona perlindungan aquatik. Penetapan zonasi itu berdasarkan sejumlah kriteria. Misalnya zona inti, pertama memiliki keanekaragaman hayati tinggi serta mewakili biota atau komunitas yang khas.

Selama menyusuri sungai, nelayan yang memancing atau menjala paling sering terlihat. “Kami bersyukur adanya hutan mangrove ini, sebab kata orang tua saya mangrove itu tempat bertelur dan sumber makanan ikan. Jadi, harus dijaga, bahkan kami melarang orang yang merusak mangrove” kata Mahdi (22), nelayan Desa Tanah Pilih, Kabupaten Banyuasin, Jumat (13/7/2018).

Baca: Apa Kabar Harimau Sumatera di Lanskap Sembilang?

 

Nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya mencari ikan dengan peralatan sederhana. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dijelaskan Mahdi, sebagian besar nelayan yang mencari ikan di Sembilang masih menggunakan trol. Biasanya April-Agustus, sebab tidak banyak ikan yang muncul ke permukaan. Selebihnya, September hingga Februari, tidak digunakan.

“Kalau memakai jala, biaya minyak (BBM) hanya Rp400 ribu per sekali jalan. Jika menggunakan trol mencapai Rp1 juta, sebab mesinnya hidup sepanjang waktu,” kata Mahdi yang mengaku lebih banyak mencari ikan di laut ketimbang perairan Sembilang.

Bukan hanya nelayan di Desa Tanah Pilih yang mencari ikan di perairan Sembilang, seperti di kawasan Teluk Terusan, Sungai Terusan, Teluk Sekanak dan sungai-sungainya yang masuk zona inti. Nelayan dari Desa Sungsang juga mencari ikan di perairan zona inti di Teluk Benawang yang mangrove di muaranya dalam tahap rehabilitasi.

“Kami hanya mencari ikan di permukaan, dapatnya bilis yang dijadikan ikan asin,” kata Johan, nelayan asal Kampung I, Desa Sungsang, Sabtu (14/7/2018).

Kami tidak pernah merusak hutan, misalnya menebang pohon untuk membangun bagan. Kayu kami bawa dari Sungsang. “Kami mengerti, mangrove tempat ikan bertelur dan mencari makan. Kalau rusak, kami juga sulit mencari ikan,” lanjutnya.

 

Ikan merupakan sumber kehidupan utama nelayan tradisional. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Johan bersama lima saudaranya adalah nelayan. Mereka memiliki sebuah bagan di muara Sungai Sembilang atau di seberang Dusun Sembilang yang dijadikan tempat khusus untuk permukiman dan infrastruktur pariwisata. Bagan merupakan rumah atau tempat mengumpulkan ikan yang diolah menjadi ikan asin untuk dijual.

Pada Juli-Agustus, mereka mencari ikan di perairan dalam Sungai Sembilang, menggunakan jaring. Ikan yang diambil adalah bilis. September-Desember mereka mencari udang dan ikan di laut. “Bulan Januari-Februari kami istirahat, saat itu laut lagi ganasnya. Ombak setinggi tiga meter,” jelasnya.

Prasetyo Widodo dari Hutan Kita Institute (HaKI), yang sering melakukan penelitian mangrove di Sembilang mengatakan, ancaman hutan mangrove saat ini tidak seperti masa lalu. Dulu banyak nelayan membuka hutan mangrove untuk diambil kayunya sebagai bangunan bagan atau bahan bakar dalam proses pembuatan ikan asin. “Ikan direbus dengan garam sebelum dijemur menjadi ikan asin.”

Menurut Prasetyo, dengan ditetapkannya Sembilang sebagai cagar biosfer, yang perlu dilakukan pemerintah adalah menjaga kelestarian bentang alamnya. “Bukan hanya memberikan informasi dan pendidikan kepada masyarakat di sekitar Sembilang, tetapi juga genarasi muda di Banyuasin, Palembang untuk menjaga kelestariannya.”

Dijelaskan Prasetyo, ada 20 jenis tanaman di Sembilang, selain pedada dan bakau, juga caselaris, aegiceras, floridum, tagal, pisang-pisangan, ceriops decandra, dan lainnya. Juga, ada 112 spesies burung di Sembilang, termasuk burung migran dari Siberia. Sekitar 44 spesies menggunakan hutan mangrove sebagai habitat utamanya.

 

Mangrove di Semenanjung Banyuasin yang terjaga baik. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Sulitnya mendapatkan ikan sembilang besar

Ikan sembilang yang menjadi andalan nelayan di Sembilang saat ini mulai sulit didapat, terutama yang beratnya di atas satu kilogram. “Rata-rata, dua ekor seberat 1,5 kilogram,” kata Mahfud, nelayan asal Sungsang yang mencari ikan di Sungai Bungin dan muara Sungai Banyuasin, tepatnya di pesisir Semenanjung Banyuasin. “Dua tahun lalu masih banyak ikan sembilang hingga beratnya lima kilogram,” lanjutnya.

Hutan mangrove di Semenanjung Banyuasin memang tak luput dari kerusakan. Bahkan, ada kawasan di semenanjung ini, yang disebut Solok Buntu atau Sungai Barong, yang beberapa ratus meter dari pantai, dijadikan pertambakan ikan oleh masyarakat. Sebagian besar mereka, pendatang dari Lampung. Wilayah Solok Buntu ini dijadikan zona tradisional. Beberapa waktu lalu terjadi konflik manusia dengan harimau sumatera di sini.

 

Anggrek Ratu yang ditemukan di hutan mangrove Sembilang. Foto: Bayu

 

Di seberang Semenanjung Banyuasin adalah Tanjung Api-Api yang kondisi mangrovenya sebagian hilang untuk pembangunan infrastruktur pelabuhan dan pembukaan lahan untuk perkebunan dan tambak.

Para nelayan di Sungai Sembilang juga mengalami kesulitan mencari ikan sembilang di atas satu kilogram. “Sekarang ini sudah sulit. Setiap hari mungkin hanya satu-dua ekor yang beratnya sekitar satu kilogram,” kata Zaini, nelayan yang memasang jaring di muara Sungai Sembilang.

Rudi, seorang pemancing dari Palembang, juga merasakan sulitnya mendapatkan ikan sembilang yang ukurannya di atas satu kilogram. “Mancing di muara ini dari kemarin, saya hanya dapat ikan sembilang yang beratnya sekitar setengah kilogram. Ikan lainnya jarang yang besar, seperti dukang, baung, kakap, atau belanak,” tandasnya.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,