Kepemilikan dan pemeliharaan satwa yang bukan asli Indonesia, kini tidak luput dari perhatian pemerintah. Kerja sama antarlembaga penegak hukum dan otoritas lainnya terus digiatkan guna memberantas kasus-kasus serupa. Salah satunya, dengan menerapkan Undang-undang Karantina untuk memidanakan para pelaku yang memiliki satwa-satwa impor ilegal.
Hal ini yang diberlakukan pada DR, terdakwa kasus kepemilikan dan pemeliharaan kura-kura endemik Madagaskar. Penangkapan DR merupakan hasil inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan Unit Tipidter Bareskrim Mabes Polri di rumahnya di Jalan Cililitan Kecil, Kramat Jati, Jakarta Timur, pada Agustus 2017. Dalam sidak itu, terdakwa terbukti memelihara dua individu kura-kura endemik Madagaskar jenis Astrochelys radiata tanpa memiliki surat atau sertifikat pendukung lainnya.
Berdasarkan hasil penyelidikan, DR terbukti menyimpan kura-kura endemik itu di kediaman pribadinya. Kini, terdakwa DR alias Daniel Rooseno, dituntut pidana kurungan penjara dan denda di persidangannya di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (30/7/2018).
“Terdakwa terbukti memiliki dua individu kura-kura di halaman rumahnya dengan tidak memiliki dokumen atau sertifikat resmi dari negara asal yaitu Madagaskar,” ungkap Didit Prastowo, Jaksa Penuntut Umum terdakwa DR di PN Jakarta Timur.
Dalam persidangan, Didit menuntut terdakwa 6 bulan kurungan penjara dengan masa percobaan 1 tahun. Selain itu, terdakwa juga diminta membayar denda Rp50 juta atau subsider 6 bulan kurungan. “Tuntutan ini diberikan karena terdakwa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang telah ditetapkan dalam Pasal 5 Undang-undang RI No. 16 Tahun 1992 Tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan,” tegasnya.
Dia menjelaskan, Undang-undang No.16 Tahun 1992 mengatur kepemilikan satwa jenis apapun dari luar negeri harus memenuhi persyaratan seperti Health Certificate (HC) dari negara asalnya. Di samping itu, pemilik juga harus melalui tempat pemasukan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia, serta dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina untuk keperluan tindakan karantina.
“Namun, ia tidak melakukan prosedur sebagaimana yang telah disebutkan di atas,” jelas Didik.
Tantyo Bangun, Ketua Yayasan IAR Indonesia mengatakan, kura-kura jenis Astrochelys radiata ini merupakan salah satu jenis kura-kura yang paling banyak diperdagangkan secara ilegal di seluruh dunia. Padahal, jenis itu berstatus terancam punah dan masuk ke dalam kategori Kritis (Critically Endangered) di daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN) serta terdaftar dalam Lampiran I CITES. Itu artinya, satwa ini tidak boleh dimanfaatkan ataupun diperdagangkan dalam bentuk apapun.
Untuk itu, Tantyo mengapresiasi upaya pemerintah yang serius memproses kasus kepemilikan dan pemeliharaan kura-kura tersebut. Karena menurutnya, perdagangan ilegal satwa liar merupakan bentuk kejahatan lintas-negara yang harus ditangangi secara khusus dengan kerja sama antarnegara.
“Kami melihat tanggapan baik dari penegak hukum di Indonesia yang semakin menunjukkan komitmennya. Hukum harus berjalan tanpa memandang asal negara satwa tersebut, sepanjang tidak legal dapat ditindak,” jelasnya baru-baru ini.
Terus meningkat
Perdagangan kura-kura dilindungi dari luar negeri tanpa surat keterangan dan sertifikat masih banyak terjadi di Indonesia. Di jejarang sosial media Facebook misalnya, masih dapat ditemukan forum jual beli kura-kura yang berasal dari luar negeri tanpa surat keterangan dan dihargai sangat tinggi. Sebagian besar merupakan jenis kura-kura yang dilindungi secara internasional yang perdagangannya dilarang.
Laporan terbaru TRAFFIC edisi Maret 2018, menyebutkan sekitar 4.985 individu kura-kura darat dan air tawar yang terdiri dari 65 spesies diperjualbelikan bebas di tujuh lokasi pasar di Jakarta dalam kurun waktu 5 bulan. Temuan itu bahkan menunjukan hampir setengah dari spesies-spesies tersebut terancam punah berdasarkan informasi IUCN Red List.
Dalam publikasi ilmiah yang berjudul Slow and Steady: The Global Footprint of Jakarta’s Tortoise and Freshwater Turtle Trade itu mengungkapkan bahwa sedikitnya delapan spesies yang teramati bukan asli Indonesia, melainkan spesies yang dilarang untuk diperdagangkan secara internasional berdasarkan The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Besar kemungkinan, kura-kura itu diimpor secara ilegal.
Penelitian itu mengungkapkan temuan yang mengejutkan. Survei yang dilakukan pada 2015 itu menemukan peningkatan jumlah kura-kura darat dan air tawar yang diperdagangkan di Jakarta, dibandingkan hasil survei 2004 dan 2010. Antara 92 hingga 983 individu teramati setiap minggunya.
“Jika pihak berwajib tidak menindak perdagangan ini dan pasar-pasar terbuka yang memperdagangkan spesies tersebut secara ilegal sebagai prioritas aksi penegakan hukum tetap ada, maka banyak spesies yang saat ini terancam akan makin terdesak menuju kepunahan,” jelas Kanitha Krishnasamy, Acting Regional Director untuk TRAFFIC di Asia Tenggara.
Penelitian itu juga menemukan indikasi adanya situasi buruk dibandingkan temuan sebelumnya, yaitu jumlah yang lebih besar pada spesies-spesies yang bukan asli Indonesia, terdaftar dalam CITES dan terancam. Tercatat antara lain adalah kura-kura Yniphora; Astrochelys yniphora dan kura-kura Radiata; Astrochelys radiata yang keduanya adalah spesies endemik Madagaskar dan terdaftar dalam Lampiran I CITES yang dilarang untuk diperdagangkan internasional dalam segala bentuk sejak 1975.
Riset ini juga meningkatkan dua kekhawatiran yang sudah lama dirasakan oleh para peneliti bahwa tingkat perdagangan kura-kura ilegal yang terjadi di Indonesia cukup tinggi. Sementara, hukum nasional untuk terus mengurangi efektivitas perlindungan spesies kura-kura lokal maupun jenis asing masih ada celahnya.
“Agar kesepakatan internasional seperti CITES bisa efektif, Indonesia harus bergerak untuk melindungi bukan hanya spesies asli, tapi juga dari luar. Terutama yang berulang kali diselundupkan,” pungkas Krishnasamy.